Â
aku gagal menuntun jari untuk memilih
antara sesak-padat kerumunan kata
seperti melukis pada angin yang runtuh
atau menangkap asap yang melayang di udara
Â
berhari-hari bahkan purnama telah berganti
kata yang tepat tak kunjung kutemui
agar hadir dalam bait puisi
mengisi ruang yang masih sunyi
Â
malam ini purnama muram dan pendiam
awan hitam merayap naik lalu berkelebat , lenyap
aku tak mampu merawat kata yang berserak
di bawah meja atau pada asbak yang terbakar
Â
aku tak lelah menulis puisi
hanya gagal merajut kata yang terkoyak
menumpuk di benak
mewujud mantra-mantra kramat
Â
di lorong,
angin jarang berbisik
pagi selalu mengendap dan lenyap
menjelma terik yang bising
Â
aku belum rampung menyusun serpihan kata
tiba-tiba angin mulai menyapa
kami berbincang tentang hujan yang tak lekas turun
meski mendung sering bergelayut di kepalaku
                                                             Â
di beranda,
kami duduk memuja waktu
tanganmu mengusap peluh di leherku
menirisnya di sebatang bunga yang layu
Â
percakapan itu terus mengalir deras
hingga menembus pekat malam
kami berharap esok matahari tak mengendap
hening.
Metro, 29 Juli 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H