Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Â konsisten menempati urutan terbawah kedua lembaga yang dipercayai masyarakat. Sementara itu, partai politik menempati posisi ke-10 dari 10 lembaga dengan tingkat kepercayaan publik sebesar 61,8 persen. Sedaangkan DPR hanya berada satu tingkat diatasnya dengan persentase sebesar 63,4 persen. Fakta tersebut memprihatinkan ketika DPR dan partai politik yang seharusnya menjadi garda terdepan demokrasi dalam menyalurkan lidah rakyat malah tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat yang kepentingannya mereka wakilkan.
Hasil survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia pada April 2023 menunjukkan bahwaRendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap DPR bukanlah tanpa alasan. DPR baru hasil pemilu 2019 selama hampir 5 tahun menjabat semakin vulgar mempertontonkan tindakan inkonstitusional lewat produk perundang-undangan yang minim partisipasi publik, tidak ada urgensi, dan beberapa cacat formil. Salah satu produk undang-undang yang dikeluarkan DPR menjadi penolakan besar dari kalangan masyarakat dan akademisi adalah UU KPK. Perubahan kedudukan KPK menjadi rumpun lembaga eksekutif berdampak pada hilangnya independensi KPK dalam menangani kasus pemberantasan korupsi yang banyak menyangkut tokoh-tokoh penting negara (high profile).
 Zainal Arifin Mochtar, ahli hukum tata negara dari UGM dalam jurnalnya menyampaikan bahwa tanpa independensi lembaga pemberantas korupsi, pemberantasan korupsi di negara yang tingkat korupsinya masih tinggi sulit dilakukan secara efektif dan efisien. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa banyak dilakukan oleh elit politik dan para pemegang kekuasaan yang memiliki pengaruh besar, termasuk aparat penegak hukum. Maka tidak heran apabila disahkannya revisi UU KPK menimbulkan kekecewaan besar bagi masyarakat serta memantik demo besar-besaran di berbagai daerah.
Selain itu, tindakan inkonstitusional secara kasat mata dapat dilihat publik ketika draft UU Ciptakerja berubah-ubah setelah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 November 2020. Satu hari setelah disahkannya peraturan ini, viral di jagat maya bahwa adanya salah ketik pada pasal 6 Â UU Ciptakerja yang berbunyi :
'Peningkatan ekosistem sistem investasi dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi....'
Masalahnya, dalam pasal tersebut pasal 5 ayat (1) huruf a yang dijadikan rujukan peraturan eksistensinya tidak ada. Hal tersebut membingungkan masyarakat sekaligus menunjukkan ketidak profesionalisme DPR dalam membuat undang-udang. Arsul Sani, anggota komisi III DPR RI Â memberi tanggapan bahwa kesalahan salah ketik tersebut wajar sebagai manusia (human eror) Â serta akan melakukan perbaikan dengan cara menambah dan menghapus kata dalam pasal-pasal yang dianggap bermasalah.Â
Tindakan DPR menyalahi aturan karena ketika UU sudah disahkan, hal yang boleh diubah hanyalah perihal perbaikan salah ketik  dan/atau perbaikan susunan draft agar sesuai aturan kitab perundang-undangan Indonesia. Sedangkan, substansi dan isi undang-undang tidak boleh diubah-ubah karena dikhawatirkan membenarkan praktik penyelundupan hukum yang terjadi dalam pembentukan UU.Â
Lolosnya produk DPR lain yang bermasalah seperti UU MK, UU Minerba, UU SDA menambah daftar panjang produk UU yang  disahkan secara ugal-ugalan, dan minim partisipasi publik.
Problem lama lembaga DPR ialah didalamnya sarat akan konflik kepentingan yang menjerat anggota-anggotanya. Anggota DPR merupakan perwakilan dari berbagai partai politik. Sebagai anggota  partai politik, mereka yang mendapat jatah kursi di parlemen tentunya  membawa kepentingan partai mereka masing-masing. Dualisme kepentingan DPR ini membuat kepentingan-kepentingan yang dibutuhkan masyarakat malah tersungkur. Fakta tersebut mengakibatkan produk-produk di DPR berputar hanya sebatas keinginan partai politik, bukan keinginan rakyat. Misalnya dalam kasus korupsi e-KTP yang menjerat ketua DPR sekaligus ketum partai Golkar, Setya Novanto.Â
Dalam Surat Dakwaan Komisi asi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) bernomor DAK-15/24/02/2017, disebutkan ada aliran dana hasil korupsi  ke Partai Golongan Karya sebesar Rp 150 miliar; Partai Demokrat (Rp 150 miliar); Partai Demokrasi  Indonesia Perjuangan (Rp 80 miliar); dan partai-partai lainnya (Rp 80 miliar).Â
Meskipun disebutkan  dalam Surat Dakwaan KPK, tetapi hingga saat ini belum ada satupun partai politik yang diajukan maka ke persidangan tindak pidana korupsi atas dugaan aliran dana hasil korupsi tersebut. Dalam kasus tersebut,  Setya Novanto memiliki dua jabatan penting yaitu ketua Partai Golongan Karya sekaligus ketua DPR RI. Dalam keadaan dualisme jabatan tersebut, Setya Novanto justru menunjukkan keberpihakannya kepada partai politik dan menepiskan kepentingan rakyat seakan-akan mencerminkan problem lama anggota-anggotanya.
Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa masyarakat semakin terpinggirkan oleh kepentingan-kepentingan elit yang menyudutkan. DPR yang seharusnya memperjuangkan kepentingan masyarakat malah sibuk dengan partai  dan kepentingan pribadinya. Dalam hal ini, konsep melayani dan dilayani sangat tepat untuk didefinisikan kembali. Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga yang tugasnya melayani publik dengan cara menyampaikan dan mengusahakan kepentingan masyarakat ke dalam pemerintahan.
Sebagai pihak yang melayani, DPR memiliki adab dan etika ketika melayani pihak yang dilayani. Anggota DPR sebagai pelayan publik harus mendengarkan kemauan-kemauan publik dan tidak boleh bertindak semena-mena kepada publik sebagai pihak yang mereka layani. Â Â Andaikan DPR menerapkan konsep ''melayani'' masyarakat dalam menjalankan jabatannya, produk UU yang dikeluarkan oleh DPR akan berorientasi pada urgensi publik serta fenomena korupsi dan tindakan apatisme anggota DPR tidak perlu dikhawatirkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H