Mohon tunggu...
Farid Solana
Farid Solana Mohon Tunggu... Wiraswasta - I work alone. And I don't do anything random.

I work alone. And I don't do anything random.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kuta Mandalika dan Rejeki "Freelance" (Bagian 1)

28 November 2017   03:33 Diperbarui: 28 November 2017   05:57 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berada di sebuah pulau yang sarat destinasi wisata indah, tapi tiada daya untuk menikmatinya. Apalagi ungkapan yang tepat untuk itu selain 'bagai ayam mati di lumbung padi'? Derita batin yang amat sangat itu kian terasa saat keperluan saya berada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat hampir kelar. 

Salah satu yang terlintas di benak saya adalah mengunjungi Kuta Mandalika sebelum meninggalkan Pulau Lombok. Berulang kali saya tergiur saat melihat penampakan air Pantai Kuta. Tapi, apa daya, keuangan terbatas dan baru sepenuhnya pulih setelah hajat dan urusan saya di pulau di timur Bali ini rampung. Andaikata penantian hajat tersebut tidak dibarengi imaji visual Pantai Kuta Mandalika tentu situasi yang tak menyenangkan ini akan mudah sirna.

Di tengah harapan yang tak pernah padam itu, di suatu hari yang cerah (entah hari itu benar-benar cerah, atau hanya imajinasi syukur dari batin saya), tiba-tiba salah seorang teman menghubungi seraya menawarkan proyek yang menurut mekanismenya bakal diberikan lewat sebuah situs freelancing. Bukan dia yang memberi proyek, melainkan salah seorang koleganya. Apa yang perlu saya lakukan, kata dia, adalah membuat akun di situs tersebut dan menyerahkan username saya untuk kemudian diundang dalam proses penawaran nilai proyek alias nge-bid. Usai menunaikan shalat Dhuhur di Masjid Raya At Taqwa yang terletak di kawasan Jl. Langko, saya pun menuju warnet terdekat di Jl. Airlangga -- yang lebih dikenal dengan kawasan Gomong -- guna membuat akun di situs freelancing yang diminta.

Saya memutuskan balik pasca pembuatan akun. Tentu saya tidak lupa meneruskan username ke teman saya itu. Tak dinyana, sewaktu tengah asyik mengerjakan proyek buku, ada notifikasi SMS yang menyatakan undangan untuk melakukan penawaran proyek. Saya merespon pemberitahuan tersebut dengan membuka situs tadi di ponsel; dan mencoba nge-bid. Ternyata bisa. Saya menawar dengan harga sewajarnya sesuai kualifikasi yang saya miliki. Ternyata sang pemberi proyek menawarkan nilai yang sangat kecil -- jauh di bawah standar seorang pemula sekalipun. Saya berupaya melakukan negosiasi, tapi tetap saja keputusan berakhir pada nilai rupiah yang sangat menghinakan siapapun.

"Mungkin ini semua karena saya masih baru, terlihat belum pernah menggarap satu proyek apapun di situs ini," batin saya. "Atau, mungkin begini lah dunia freelancing di Indonesia, yang cenderung tidak menghargai kemampuan sesama." Sekilas muncul pertanyaan di benak saya tentang apa kira-kira yang dikatakan teman saya pada koleganya itu sehingga keluar nilai rupiah yang sedemikian kecil.

Adalah 'Jer Basuki Mawa Beya' yang membuat saya menerima tawaran proyek tersebut. Untuk sukses dibutuhkan pengorbanan, dan dalam hal ini pengorbanan yang dimaksud adalah menerima proyek dengan imbalan jauh di bawah layak. Toh, pekerjaan yang diminta tergolong mudah. Di sisi lain, hasrat saya untuk mengunjungi Pantai Kuta Mandalika dan berbagai tempat wisata di sekitarnya begitu kuat sehingga mematikan ego yang terluka barang sejenak.

Deskripsi proyek dan penugasan pun datang setelah mendapat pemberitahuan bahwa bid saya diterima. Namun sistem di situs freelancing tersebut melarang saya untuk mengerjakan proyek kecuali pemberi kerja -- disebut owner -- sudah melakukan deposit untuk pembayaran dana pada pekerja (alias worker). Baru jam setengah 9 waktu setempat saya memperoleh info bahwa pembayaran telah dilakukan. Segera saya menuju ke warnet di Gomong guna menggarap proyek dimaksud. Hanya dibutuhkan waktu selama 3 (tiga) jam bagi saya untuk menuntaskan proyek tersebut, dan langsung saya kirim dini hari itu juga. Saya memutuskan balik sembari menunggu Subuh tiba dan kabar kalau garapan saya diterima.

Masjid Hubbul Wathan di lingkungan Islamic Center NTB menjadi tempat menanti setelah shalat Subuh dan ceramah harian rutin. Ternyata masjid tersebut merupakan tempat yang tepat. Usai menunaikan shalat Isyraq saya mendapat kabar bahwa pekerjaan saya diterima dan imbalan proyek telah diberikan -- dan sudah bisa di-redeem -- di akun freelancing tersebut. Tak lama setelah menjalankan shalat Dhuha, sekitar jam 9 pagi waktu setempat, saya mendapat notifikasi untuk melakukan tender proyek kedua via ponsel. Tender tersebut hanya formalitas belaka karena tawaran saya langsung diterima dan assignment telah dikirim ke akun saya.

Kembali saya menuju warnet yang sama di kawasan Gomong. Semua pekerjaan kelar dan terkirim tak lama setelah waktu Dhuhur tiba. Lagi, Masjid Hubbul Wathan menjadi favorit saya untuk menunggu hingga Ashar datang. Pasca shalat Ashar, hal yang sama berulang: Saya mendapat informasi kalau pekerjaan saya telah diterima dan fee project telah dikirimkan. Sekitar jam setengah 6 petang saya mendapat undangan untuk melakukan bid proyek ketiga. Formalitas yang sama pun berulang, dan assignment proyek ketiga datang tak lama kemudian. Kurang lebih 4 jam berikutnya, usai mengirim hasil pekerjaan saya pun memutuskan balik untuk beristirahat.

Sebelum jatuh terlelap, saya redeem fee dua proyek pertama. Normalnya dibutuhkan waktu 3 (tiga) hari kerja setelah proses redeem agar uang tersebut benar-benar masuk ke rekening. "Jika tidak dicoba redeem sekarang, bisa-bisa saya mati penasaran dengan Pantai Kuta Mandalika," batin saya. Setelah itu, saya tidak ingat apapun dan baru tersadar setelah alunan shalawat dan pujian terdengar dari Masjid Hubbul Wathan; memancing mereka yang mendengarnya untuk menunaikan shalat Subuh di sana.

Bayangan saya pagi itu tidak akan hal istimewa yang terjadi. Seperti biasa, setelah mengerjakan shalat Isyraq saya memilih berdiam diri di masjid termegah di Kota Mataram itu. Sembari rebahan menanti Pasar Dasan Agung -- yang terletak 5 meter di utara Islamic Center -- buka, saya iseng membuka ponsel dan mengakses situs freelancing tersebut. Ternyata, uang, yang seharusnya baru bisa diambil 3 (tiga) hari kerja setelah redeem, sudah bisa saya ambil!

"Kuta Mandalika, I'm coming!" kata saya sambil meninggalkan masjid dan menuju ATM BNI.

Nilai yang saya redeem sebesar 225 ribu rupiah. Akankah itu mencukupi untuk pergi menuju Pantai Kuta Mandalika, Bukit Merese, Pantai Tanjung Aan dan berbagai tempat wisata di sekitarnya yang terletak di Kabupaten Lombok Tengah itu? Tidak ada yang tahu. Di atas kertas, nilai tersebut sangat mepet. "Sungguh hil yang mustahal," sahut saya menirukan ucapan khas mendiang Asmuni. "Bagaimanapun juga, 200 ribu rupiah adalah awalan yang baik ketimbang tidak ada sama sekali," kata saya dalam hati ketika dalam perjalanan ke Pasar Dasan Agung aka Pasar Muhajirin.

 Dari Pasar Dasan Agung lah perhitungan matematis menuju kawasan Pantai Kuta Mandalika dimulai. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun