Mohon tunggu...
Sohibah Dwi
Sohibah Dwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pendidikan Pancasila penting untuk Bangsa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesatuan Sila-sila Pancasila sebagai Sistem Filsafat

9 Desember 2024   08:15 Diperbarui: 9 Desember 2024   11:23 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kesatuan sila-sila Pancasila bukan hanya sekadar kesatuan yang bersifat logis dan formal, tetapi juga mencakup kesatuan yang berlandaskan dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Kesatuan ini digambarkan dalam bentuk hierarki piramidal, yang menunjukkan hubungan antar sila Pancasila berdasarkan urutan luasnya (kuantitas).

Dalam konteks ini, kesatuan sila-sila Pancasila dipahami secara formal-logis. Selain itu, hierarki tersebut juga mencakup isi dan sifat sila-sila Pancasila, yang berkaitan dengan makna serta hakikatnya. Dengan demikian, kesatuan sila-sila Pancasila meliputi tiga dimensi dasar: ontologis, epistemologis, dan aksiologis. (lihat Notonagoro, 1984: 51 dan 1975: 52- 57).

1. Dasar Ontologis Sila-sila Pancasila
Pancasila sebagai sebuah sistem filsafat tidak hanya mencakup hubungan antar sila-silanya, tetapi juga menyentuh hakikat mendasar dari masing-masing sila, yang secara filosofis melibatkan dasar ontologis. Setiap sila tidak berdiri sendiri, melainkan saling terhubung dalam satu kesatuan dasar ontologis. Hakikat ontologis Pancasila berpusat pada manusia, yang memiliki sifat mutlak monopluralis. Oleh karena itu, dasar ini juga dikenal sebagai dasar antropologis. Manusia adalah subjek utama yang menjadi pendukung sila-sila Pancasila. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa setiap sila---baik ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, maupun keadilan sosial---pada dasarnya berkaitan erat dengan manusia sebagai pusatnya.

Secara ontologis, manusia sebagai pendukung utama sila-sila Pancasila memiliki sifat-sifat mutlak, yaitu tersusun atas raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Secara filosofis, kodrat manusia dipahami sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial, serta sebagai pribadi yang berdiri sendiri dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Karena kodrat manusia ini, sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, secara hierarkis menjadi dasar dan memberikan nilai pada keempat sila Pancasila lainnya (Notonagoro, 1975: 53).
Hubungan antara negara dengan sila-sila Pancasila bersifat sebab-akibat. Tuhan, manusia, persatuan, rakyat, dan keadilan menjadi landasan utama atau sebab, sedangkan negara merupakan akibat dari landasan tersebut. Dengan kata lain, negara berfungsi sebagai wujud konkret hubungan yang melibatkan Tuhan, manusia, persatuan, rakyat, dan keadilan sebagai dasar fundamentalnya.

1) Sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi dasar dan memberikan nilai pada sila-sila lainnya, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini didasarkan pada hakikat bahwa manusia adalah pendukung utama negara. Negara sendiri merupakan wadah kehidupan bersama dan institusi kemanusiaan, sedangkan manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, keberadaan manusia merupakan akibat dari Tuhan Yang Maha Esa sebagai penyebab utama atau causa prima. Tuhan bersifat mutlak, sempurna, berkuasa, tidak berubah, tanpa batas, dan sebagai pengatur keteraturan alam (Notonagoro, 1975: 78). Oleh karena itu, sila pertama mencakup, mendasari, dan memberikan jiwa kepada keempat sila lainnya.

2) Sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, berakar pada dan diberi jiwa oleh sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, sila ini menjadi dasar dan memberikan nilai pada sila Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Negara merupakan institusi kemanusiaan yang dibentuk oleh manusia (Notonagoro, 1975: 55), sehingga manusia adalah subjek utama yang menjadi pendukung pokok negara. Sebagai lembaga dari, oleh, dan untuk manusia, negara memiliki hubungan sebab-akibat yang langsung dengan manusia. Karena manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sila kedua berlandaskan dan dijiwai oleh sila pertama. Selanjutnya, sila kedua juga menjadi dasar dan memberikan jiwa kepada sila ketiga (Persatuan Indonesia), sila keempat (Kerakyatan), dan sila kelima (Keadilan sosial).
Pada dasarnya, rakyat adalah unsur utama dalam negara, yang terdiri dari individu-individu yang bersatu untuk mencapai keadilan dalam kehidupan bersama (keadilan sosial). Oleh karena itu, pembentukan negara pada hakikatnya dilakukan oleh manusia, dan manusia yang bersatu di dalamnya disebut sebagai rakyat, unsur pokok negara. Terwujudnya keadilan bersama mencerminkan keadilan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial.

3) Sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia, berlandaskan dan diberi jiwa oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain itu, sila ini menjadi dasar dan memberikan nilai pada sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hakikat sila ketiga dapat dijelaskan sebagai berikut:
Persatuan didasari dan dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, manusia memiliki kewajiban untuk membangun persatuan dalam suatu persekutuan hidup yang disebut negara. Pada intinya, yang bersatu adalah manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, persatuan merupakan konsekuensi dari keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Hasil dari persatuan individu-individu yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu disebut rakyat, yang menjadi unsur utama dalam pembentukan negara. Persekutuan hidup bersama ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat (keadilan sosial). Oleh karena itu, sila ketiga berperan sebagai dasar dan memberi jiwa pada sila keempat (Kerakyatan) dan sila kelima (Keadilan sosial), sebagaimana dijelaskan oleh Notonagoro.

4) Sila keempat, yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, memiliki inti makna pada kerakyatan, yang sesuai dengan hakikat rakyat. Sila ini berlandaskan dan diberi jiwa oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, serta Persatuan Indonesia. Dalam kerangka kesatuan yang berjenjang, hakikat sila keempat dapat dijelaskan sebagai berikut:
Rakyat merupakan kumpulan seluruh individu atau warga dalam suatu wilayah negara tertentu. Hakikat rakyat ini adalah hasil dari persatuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dalam suatu wilayah negara. Dengan demikian, secara ontologis, keberadaan rakyat ditentukan oleh keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang bersatu dalam suatu wilayah negara tertentu.
Sila keempat juga menjadi dasar dan memberikan nilai pada sila kelima, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini menunjukkan bahwa tujuan negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Dengan kata lain, negara bertujuan menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat (keadilan sosial).

5) Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, berintikan makna keadilan, yaitu keselarasan dengan hakikat adil. Berbeda dengan sila-sila lainnya, sila kelima didasari dan dijiwai oleh keempat sila sebelumnya: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan sosial adalah hasil dari adanya negara kebangsaan yang terdiri atas manusia-manusia yang berketuhanan. Oleh karena itu, sila kelima berfungsi sebagai tujuan akhir dari keempat sila lainnya.
Secara ontologis, hakikat keadilan sosial didasarkan pada konsep keadilan yang terdapat dalam sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab. Menurut Notonagoro, hakikat keadilan ini berakar pada sifat manusia sebagai makhluk monopluralis, yang mencakup keadilan terhadap diri sendiri, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan sebagai causa prima. Keadilan ini kemudian diwujudkan dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup masyarakat, bangsa, negara, maupun antarbangsa. Ini mencerminkan kodrat manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial, yang menghasilkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat atau keadilan sosial (Notonagoro, 1975: 140-141).

2. Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila
Dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dari dasar ontologisnya. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila berakar pada nilai-nilai fundamentalnya, yaitu filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991:50). Oleh sebab itu, dasar epistemologis Pancasila erat kaitannya dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Sebagai basis ontologis, manusia menjadi titik awal yang membentuk kerangka epistemologi Pancasila, yang dibangun di atas filsafat manusia (Pranarka, 1996:32).
Secara mendasar, Pancasila sebagai sistem filsafat juga berfungsi sebagai sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila menjadi pedoman dan dasar bagi bangsa Indonesia untuk memahami realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa, dan negara. Pancasila memberikan makna hidup dan menjadi dasar dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Dalam konteks ini, Pancasila berfungsi sebagai sistem cita-cita atau sistem keyakinan (belief system) yang terintegrasi dengan praktik nyata, menjadi landasan bagi cara hidup individu maupun kelompok masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian, filsafat Pancasila telah bertransformasi menjadi sebuah ideologi (Abdulgani, 1986). 

Sebagai ideologi, Pancasila memiliki tiga unsur pokok yang mampu menarik loyalitas dari pendukungnya, yaitu:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun