Mohon tunggu...
Solihin Agyl
Solihin Agyl Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan Peneliti Bahasa

Seorang Wordsmith, Reader, Interpreter, Teacher/Trainer, Explorer, dan Researcher di L-Pro Jember, Pembicara Seminar, dan Workshop Nasional-Internasional. Sering diminta melatih Academic Writing, Public Speaking, English Camp, TOEFL/IELTS Instructor, Teaching-Learning, dan PTK. HP. 081-336-4045-18 email : solihinagylemailpenting@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mondok

11 September 2024   15:33 Diperbarui: 11 September 2024   15:37 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ikut melepas anak tetangga yang berangkat mondok (belajar di pondok pesantren), saya jadi semakin yakin dengan satu hal: menuntut ilmu itu sebenarnya menggali pengalaman sebanyak mungkin, bersama teman-teman seperjuangan dan menguji pengalaman-pengalaman itu melalui berbagai masalah yang dialami bersama. Dari sinilah pembelajaran tentang kehidupan (pelajaran paling inti dari semua pelajaran di sekolah, di universitas, di pondok pesantren) didapatkan.

Mengapa demikian? Karena, dalam konteks anak tetangga yang berangkat ke pesantren itu, dari sisi ilmu pengetahuan dan agama sebenarnya dia sudah dikelilingi oleh orang-orang yang terpercaya keilmuannya; di tempat dia tinggal, banyak kerabatnya yang menjadi ustadz di pesantren, di kampungnya pun banyak pondok pesantren berjejer satu sama lain, ibunya adalah seorang kepala sekolah, paman dan bibinya banyak yang menjadi guru dan dosen. Jadi, dari sisi keilmuwan, ia praktis tak perlu belajar jauh di pondok pesantren, karena sebenarnya ia bisa belajar di rumah saja.

Namun, seperti pesan sebuah nasihat bijak dari seorang ulama di Jawa Timur: "Menuntut ilmu itu ibarat padi yang digiling. Padi-padi itu akhirnya menjadi beras bukan hanya karena mereka digencet oleh alat/mesin penggiling, tapi juga karena padi itu 'berbenturan' dengan teman-temannya sesama padi."

Dan, Prof. Rhenald Kasali memperkuat pesan kalimat bijak itu: "Belajar berarti menghadapi realitas, bertemu dengan aneka kesulitan, mengambil keputusan, dan berhitung soal hidup. Belajar itu bukan cuma memindahkan isi buku (kitab) ke kertas, melainkan menguji kebenaran dan menghadapi aneka ketidakpastian." 

Jadi, bagaimana mungkin anak tetangga yang berangkat ke pesantren itu bisa menuntut ilmu dengan cara sehebat itu bila dia hanya belajar di rumah saja, dan belajar pada orang-orang dekatnya saja? Belajar cara begini akan menciptakan sebuah generasi yang hanya "Jago Kandang".

Itulah mengapa keluarga besar tetangga itu lebih setuju anaknya dikirim ke sebuah pesantren yang jauh dari tempatnya tinggal sehingga dia bisa belajar dari dan bersama orang-orang yang belum pernah ia kenal, bersama teman-teman seperjuangan yang semuanya "orang baru" baginya.  

Itu juga mungkin alasan orang tua K.H. Quraisy Shihab mengirim beliau bersama adiknya pak Alwi Shihab, dalam usia yang sangat dini ke sebuah pesantren di Malang, Jawa Timur. Dua bersaudara itu harus pergi merantau jauh dari Sulawesi Selatan daerah asal mereka. Hal yang sama juga terjadi pada Gus Dur dan K.H. Mustofa Bisri saat harus merantau menuntut ilmu sampai ke Mesir. Dan akhirnya, mereka semua menjadi 'orang besar' di negeri ini.

Mengapa belajar saja harus merantau dan jauh dari keluarga? Karena, bila mereka belajar kepada keluarga dekat, mereka tak bisa lepas dari rasa manja. Bagaimana mungkin mereka bisa belajar hidup mandiri bila selamanya mereka dekat dengan orang tua mereka? 

Jay Shetty memberikan pencerahan yang cukup menarik tentang manfaat merantau---berpisah jauh dari keluarga---dalam membangun dan memperkuat jiwa seorang pembelajar.

Pertama, menuntut ilmu dengan cara merantau bisa membuat seseorang menjadi pembelajar yang lebih baik, karena dalam pengalamannya, pembelajar seperti ini bisa mempertajam kualitas dirinya dengan potensi alami yang ada dalam diri setiap manusia, yaitu: Curiosity. Rasa ingin tahu (penasaran) yang tinggi. Dengan rasa penasaran itu, ia akan sering bertanya; sering mempertanyakan hal-hal yang terus berputar di kepalanya. Pertanyaan adalah cikal-bakal dari proses pembelajaran.

Kedua, menuntut ilmu dengan cara merantau membuat seseorang menjadi lebih tajam. Karena tidak semua ia tahu di tempat yang baru, pembelajar akan sering mengamati segala hal. Mengamati berarti mengaktifkan semua panca inderanya. Maka, cara berpikir, perasaan, dan kepekaannya akan semakin tajam. Dan, karena jauh dari keluarga, ia belajar mempersiapkan semua kebutuhannya secara matang dan mandiri. Di titik inilah cara berpikir, perasaan, dan kepekaannya yang semakin tajam itu banyak membantunya.

Ketiga, menuntut ilmu dengan cara merantau meningkatkan kepekaan pembelajar terhadap kemanusiaan. Di tempat yang baru, pembelajar akan bertemu dengan banyak orang dari latar belakang yang berbeda-beda. Pertemuan dengan orang-orang yang berbeda itu akan memperdalam pemahaman mereka bahwa betapa rasa saling pengertian, rasa saling menghormati, saling membantu perlu dibangun dan dirawat satu sama lain.

Keempat, menuntut ilmu dengan cara merantau membuat seorang pembelajar menjadi semakin kreatif. Ini berkaitan dengan pola pikir yang terus produktif demi efisiensi dan efektifitas dari segala bentuk kegiatan dan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari di tempat yang baru.

Kelima, menuntut ilmu dengan cara merantau memberikan kesempatan pada pembelajar untuk memiliki perspektif (sudut pandang) yang lebih luas. Karena hidup dengan banyak orang dengan latar belakang yang berbeda, mereka belajar memandang sesuatu tidak hanya dari sudut pandang mereka saja. 

Mereka sadar, ada banyak sudut pandang lain yang berbeda, yang bahkan mungkin bertentangan dengan perspektif yang mereka miliki. Oleh karena itu, dalam melihat sesuatu, pembelajar yang merantau akan melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih luas agar semakin banyak kepentingan terjangkau.

Keenam, menuntut ilmu dengan cara merantau adalah bentuk lain dari berinvestasi melalui pengalaman-pengalaman. Bagi para orang tua yang mengirim putra-putrinya ke pesantren itu sama saja dengan berinvestasi untuk hal yang paling penting bagi pembangunan manusia: pengalaman.

Para pembelajar di pesantren pasti mengalami banyak kejadian; suka dan duka. Mereka belajar berjibaku dengan berbagai realitas hidup, bertemu dengan aneka kesulitan, harus belajar mengambil keputusan, dan berhitung persoalan hidup, menguji kebenaran (teori) ilmu  yang mereka dapatkan dan menghadapi aneka ketidakpastian. Dan, diakui atau tidak, semua itu akan memberikan mereka kebahagiaan di waktu yang tepat. Menurut kalimat bijak lainnya: "Bahkan pengalaman yang buruk pun suatu saat akan kita kisahkan kembali sambil tertawa," (Farid Gaban).

Ketujuh, menuntut ilmu dengan cara merantau akan membuat pembelajar semakin sabar. Karena semua permasalahan yang dihadapi tak bisa langsung diselesaikan dengan cara mereka. Di titik inilah perbedaan-perbedaan itu semakin tajam. Itulah suka-dukanya. Dan dengan cara itulah kesabaran mereka semakin terasah.

Bagaimana menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun