Usai sholat Ashar, para jamaah belum beranjak dari tempat duduk masing-masing. Runcingnya butir hujan yang mengena bumi, meninggalkan bekas sedalam satu sentimeter pada tanah datar. Genangan air berkumpul ria di halaman. Tiupan angin mampu menarikan pohon kelapa menjulang. Hawa dingin menusuk tubuh terasa hingga tulang.Suasana sore itu, cocok untuk bermunajat. Melengkapi hati para jamaah yang tampak komat-kamit, larut dalam dzikir syahdu.
Tiga puluh menit kemudian.
Aku bergegas menuju rumah mama. Kemeja koko yang ku kenakan, tak kebal air hujan. Terasa di kulitku. Cuaca senja memerintahkan aku untuk mendekapkan kedua tangan.
"Assalamu alaikum."
"Waalaikum salam," terdengar suara serak dari Ibu setengah baya. Sepasang mata tajam menatapku. Setengah detik saja membalas tatapan itu. Lalu Aku menundukkan pandangan. Tak berani menatap mama lebih dari satu hentakan jarum detik. Setelah mencium tangan, kami ngobrol. Tentang banyak hal.
"Mama seduhkan kopi, ya?" Ujar beliau. Mama tau aku senang ngopi.
"Biar saya saja yang menyeduhnya, Ma," Aku menyela. Mama tidak peduli. Pergi ke dapur. Sementara Aku menyusul. Membantu mengambilkan gelas dan sendok. Tidak berapa lama suguhan kopi telah tersaji di meja.
"Mama belikan pisang goreng, ya?" sahut beliau sambil berlalu. Terus berjalan. Tanpa menoleh ke arahku.
"Saya yang beli, Ma. Cuaca dingin. Nanti masuk angin," suaraku setengah teriak. Mama tidak peduli. Laju langkah beliau. Meskipun usia sudah senja, tapi jalannya masih mampu menyeimbangi Hendro Yap atlet jalan cepat Indonesia.
"Ayo, pisang goreng masih panas."
"Alhamdulillah."
Kopi yang nikmat serta pisang goreng yang hangat ditambah dabu-dabu sagela yang berasa pedas.Â
"Bagaimana kondisimu? Sehat? Sudah makan?". Tiga pertanyaan yang stagnan. Selalu Mama tanyakan, setiap Aku silaturahmi ke rumah Beliau.
"Alhamdulillah, Ma."
"Mama, Ada yang akan saya sampaikan."
Mama mengulangi tatapannya. Kali ini lebih tajam dari tatapan sebelumnya. Dipandanginya aku sekujur. Utuh. Seolah Mama sudah tahu apa yang akan Aku sampaikan. Mungkin lewat mimpi, karena Aku belum menyampaikan kepada siapapun.
Mama, seharusnya aku yang membahagiakanmu membuat hatimu senang dan bahagia bukan sebaliknya, seperti suasana ini. Maafkan Aku ya, Ma? yang jarang silaturahmi. Jarang membawakan sesuatu yang membahagiakanmu. Kadang mama meminta Aku untuk datang ke rumah, namun alasan pekerjaan yang membatasi permintaan tersebut. Alasan yang tidak seharusnya menjadi alasan.
Mama, aku mencari rahim, maqom aku selama sembilan bulan, yang kau sapih dengan perjuangan tak berbatasmaqom dimana kasih sayangmu tercurah tak terbalas.
#Ruangsepi
#Medio250121
#Opan Semesta Dalam Rahim Ibu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H