Mohon tunggu...
Sofyan Utiarahman
Sofyan Utiarahman Mohon Tunggu... Guru - Master Trainer MGPBE, Fasilitator, Narasumber Kependidikan, Motivator, Instruktur Nasional, Penulis Pemula

Sofyan Utiarahman. Pecinta aksara. Peselancar Media. Menulis dan belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Empat Penggal Tahu dan Segelas Teh

3 Februari 2023   03:49 Diperbarui: 3 Februari 2023   03:50 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat, 3 Februari 2023, pria bertubuh jangkung itu terbangun dari tidur. Melihat jam pada ponselnya. Pukul 03.05. Segera ia ke kamar kecil di kos tempat tinggalnya. Tak berselang dua puluh tarikan nafas, ia keluar dari kamar kecil, dengan mendahulukan kaki kanan. Merebahkan tubuh pada kasur setebal sepuluh sentimeter.

Lima, sepuluh, lima belas menit, matanya tak mau dipejamkan. Berusaha fokus. Menghayati setiap tarikan dan hembusan nafas, sambil berdzikir. Berkali-kali ikhtiar tersebut dilaksanakan. Tetap saja, matanya tidak mau menghargai tubuhnya yang capai selepas kerja. Ia baru pulang dari kerja pukul 01.30.

Pria yang biasa disapa Ka One itu mulai tak nyaman. Ditambah lagi dengan perutnya yang  berirama tak bernada. Bunyi aneh. Menusuk hingga lambung. Ia bangun,melihat isi dapur di kamar berukuran lima kali enam meter. Kosong. Lalu ke meja makan dekat tempat tidurnya, nihil. Seolah orang yang stres menghadapi hidup, ia memutar otak agar perutnya tidak lagi menggerutu.

Dibukanya tas jinjing berwarna ungu, Alhamdulillah, batinnya. Ia menemukan selembar uang lima ribuan. Segera ke luar kos, menyusuri  Kota Tilamuta. sepajang perjalanannya sepi. Semoga aku tidak dianggap maling, kata hatinya. Lampu di sepanjang jalan menerangi bias embun. Tampak dedaunan mengkilap basah. Ia terus berjalan menabrak embun itu. Mungkin juga jatuh di kepalanya yang hampir botak. Namun ia tak merasakan keadaan itu. Lilitan perutnya mengalahkan embun. he..he..

Semoga masih ada lapak yang buka, batinnya berbicara. Aku yakin, ia berkata kepada hatinya. Belajar dari kisah Siti Maryam, isteri Nabi Ibrahim yang mendapatkan air di padang tandus tak berpohon, apalagi berawan pekat. Melalui ikhtiar, berlari dari Bukit Safa ke Bukit Marwah. Tujuh kali. Lalu kembali ke tempat anaknya, Ismail dan menemukan air yang keluar berpencar. Itu yang membuat Ka One yakin.

Melewati Pasar Minggu Tilamuta, keadaang lengang alias sepi tanpa orang. Semua lapak tertutup. Ia terus berjalan dengan keyakinan tinggi. Allah sedang menilaiku, apakah usahaku bersungguh-sungguh. Sepanjang jalan, ia berbicara dengan dirinya sendiri, karena tak ada teman berjalan bersamanya.

Di Kompleks Tugu Jagung, masih ada satu lapak yang terbuka. Alhamdulillah. Ka One tersenyum. "Terima kasih, Tuhan."

Seorang gadis belia, berambut lurus sehingga bahu. Hitam berkilau. Alisnya menggaris rapi di atas kulit wajahnya yang bersih. Gadis itu menebar senyum, menyambut Ka One. Lesung pipitnya tampak sedalam setengah sentimeter. Ka One sempat menatapnya. Terkesima, selama satu menit, tak mengedipkan mata. Astagfirullah, ia tersadar, bahwa yang di hadapannya bukan muhrim. 

"Beli tahu, Nou."

"Belum ada isinya, Pak"

Lapak di Gorontalo, biasanya menjual tahu yang berisi sayuran. Penduduk lebih mengenalnya dengan tahu isi.

"Tidak apa-apa."

"Harga berapa, Pak?"

"Lima ribu," sahut ka One sambil merogoh sakunya.

Dari arah dapur lapak tersebut, muncul seorang perempuan setengah baya. Wajahnya mirip pelayan belia berlesung pipit.

"Pak!"

"Ya, Bunda," Ka One terkejut. Memandang dalam. Ia mengenal perempuan itu. Seorang guru sekolah dasar. Kawan Ka One. Oh, jadi lapak ini miliknya, ya? Lagi-lagi Ka One berbicara kepada dirinya sendiri.

"Bapak tidak pulang kampung?"

"Tidak, saya tinggal di kos" jawab Ka One singkat.

"Ooh!" seloroh perempuan paruh baya tersebut. Sambil tangan kanannya menyeka peluh. Tampak ia baru saja bekerja di dapur.

"Mari, Bun!" Ka One membalikkan tubuh seratus delapan puluh derajat. Melangkah menyusuri malam sepi. Mempercepat langkahnya. Seolah perutnya berkata, cepat kembali ke kos. Aku ingin diisi.

Perjalanan ke kos. Ia menatap bulan. Bulanpun menatapnya dari balik awan. Bentuknya bulat utuh. Cahayanya meredup, tak seperti saat purnama.  Ka One teringat, malam ini tanggal 12 rajab.

Melewati jembatan, ia melihat kayu balok menghalangi jalan. Balok ini mengganggu pengguna jalan, suara batinnya selalu mengingatkan. Dengan cekatan ia mengangkat balok tersebut dan meletakkannya di sisi jalan. Pekerjaan yang selalu  dilakukannya apabila menemukan hal serupa. Bukan sekali ini, tetapi berkali-kali. Di manapun ia menemukannya.

"Assalaamu alaikum," Ka One selalu mengucapkan salam setiap masuk kamar kosnya. Meskipun tidak ada orang di dalam. Ia yakin, ada malaikat di kamar kosnya. Dan layak diberi salam.

Segelas teh sosro beserta empat penggal tahu dilahapnya. Sambil ia menulis kisah ini. Ia bersyukur atas nikmat dini hari. Ka One yakin, bahwa ada kekuatan tak tertandingi yang menggerakkannya malam ini ke luar kos. Bukan hanya itu, Sang Pemilik Kekuatan itu mengenalkan pemilik lapak dan menyingkirkan balok yang merintangi jalan umum lewat tangan Ka One.

#Gorontalo, 030223

Karya: Opan Semesta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun