Bonggo berberdiam sejenak. Tidak menyangka Kude menanyakannya. Ada perasaan malu dan geli dalam hatinya. Ya benar, sudah kelas satu SMP, masih bermain tengge-tengge.
" Tengge-tengge permainan tradisional. Kita harus melestarikannya"
 "Permainan itu sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Kejujuran, kebersamaan, dan kesetiakawanan." Kata-kata Bonggo tegas. Laksana guru mengajarkan muridnya.
Sepeda memasuki halaman rumah kecil berdinding pitate. Beratap rumbia. Mahkota bunga bermekaran meneduhkan pandangan. Taman dipagari dengan bilah bambu. Dicat dengan warna-warni kontras. Halamannya bersih. Rumah kecil, indah dan tertata.
Keduanya turun berurutan. Kude memarkir sepeda dengan tertib. Kebiasaan yang tidak pernah ia lupa. Maklum, sepeda pemberian ayahnya selalu dijaga. Sebagaimana ia menjaga dirinya sendiri.
Di halaman rumah tampak gambar kotak-kotak. Ada lima kotak dan garis setengah lingkaran. Gambar itu simetris. Deni memang suka menggambar. Saat masih sekolah di SD, ia pernah mengikuti lomba menggambar. Dan mendapat juara.
Mereka menggunakan batu berbentuk pipih untuk undian. Siapa yang lebih dulu memulai permainan tradisional itu. Ternyata Bonggo yang mendapat giliran.Â
Dilemparkannya batu pipih itu ke kotak pertama. Kemudian ia melompat-lompat dengan bertumpu satu kaki. Kaki lainnya terangkat ke belakang. Tiba di bagian sentral kotak, kedua kakinya mendarat.Â
Kemudian mengambil batu yang berada di kotak. Sangat hati-hati. Tidak boleh membantu dengan tangan lain. Dan tidak boleh menyentuh garis.Â
Ups, dapat. Batu digenggamnya, lalu melompat-lompat lagi kembali ke tempat semula. Begitu seterusnya. Sangat sederhana permainan itu. Dapat memupuk kejujuran dan kehati-hatian.
"Ayo, berhenti sejenak," sahut Pende Tini, sambil membawa air minum dan gorengan ubi.