Beberapa bulan belakangan santer berhembus isu panas mutasi jabatan di lingkungan Pemerintah Daerah Kab. Bolaang Mongondow. Isu ini sebenarnya kalau direnungkan dalam-dalam kurang menarik dibahas karena masih kalah pamor dengan kasus pemenggalan leher di bilangan kelurahan Mongkonai beberapa bulan silam. Mengapa kurang menarik ? mutasi itu faktanya sudah merupakan rutinitas di kalangan pegawai negeri sipil yang mudah kita jumpai mulai dari tingkatan pemerintah pusat sampai ke level pemerintah daerah.
Awal kisah, berita mutasi jabatan itu dihembuskan dari mulut ke mulut dilingkup internal pegawai Pemerintah Kab. Bolaang Mongondow, namun 1 bulan belakangan terakhir berita mutasi ini gencar disebarluaskan secara massive media massa. Tak menunggu selang waktu lama, informasi itu pun langsung dimamahbiak komunitas pegawai negeri yang ada.
Mereka mulai berkonsentrasi memasang telinga, mencari tahu segala informasi tentang apa dan siapa yang akan terkena mutasi. Kasak-kusuk itu pun bermula. Jika ditelisik kebelakang, isu mutasi yang berkesiuran itu tak disyak membuat sejumlah pejabat mulai was-was (tidak semuanya), ujungnya adalah “kasak-kusuk” mencari kebenaran isu itu. Bila benar, kasak-kusuk akan dilanjutkan pada tahap lobi-lobi kepada orang-orang yang diduga dekat dengan “pusaran kekuasaan”.
Adanya gelagat kasak-kusuk ini sampai juga ke telinga komplotan bandit spesialis mutasi jabatan. Pada saat yang sama mereka menggagas skenario aksi tipu-tipu meminta uang pelicin kepada yang terpantau sangat ngiler dan ngotot mendapatkan jabatan publik. Sebagaimana yang sudah banyak diberitakan media, para bandit itu kerap mengaku dapat memuluskan niat mereka yang tergiur dengan suatu jabatan karena masih kerabat dekat kepala daerah atau pejabat tertentu yang dipandang bernilai jual tinggi.
Alhasil, dari peristiwa ini mematik reaksi keras orang nomor 1 Bolaang Mongondow, tak mau meradang dan tidak berlebihan, Bupati tegas menyatakan “bahwa jika ada oknum yang meminta uang terkait mutasi jabatan mengatasnamakan dirinya maka itu penipuan” Pada konteks pernyataan itu saya sependapat. Pasalnya, tidak bisa dikunyah akal sehat jika di tengah padatnya agenda kerja, Bupati Bolaang Mongondow sempat menggagas ide mengumpulkan uang receh untuk mutasi pejabat.
Apalagi jika menilik tajam pada predikat papa da’a selama ini yang dikenal sebagai pengusaha sukses sebelum di daulat menjadi Bupati, maka ini sudah cukup membuktikan kekeliruan opini negatif yang dihembuskan para bajingan itu. Lebih dari itu mustahil seorang Bupati akan rela menguras energinya untuk pekerjaan yang imbal hasilnya tidak seberapa dibanding hasil usaha yang dimilikinya.
Stigma ini memperteguh keyakinan, bahwa para bandit dan bajingan itu hanyalah cecungguk berotak tumpul bin biongo yang tak dinafikan telah keliru mengusung alasan dalam praktek biadabnya. Sialnya lagi, yang di tipu tak kalah tumpul otaknya dari yang menipu karena bisanya menelan bulat-bulat konstruksi logika centang perenang yang dibangun para bajingan. Ini membuktikan, ibarat sebuah makam yang lama tak dikunjungi dengan segala kesemerawutannya, maka isi otak mereka berdua tak jauh berbeda. Kurang padat berisi dengan pengetahuan yang baik, sehingga terasa begitu pendek langit dijunjung, dan berakhir dengan memilih cara yang menyimpang.
Terlepas akan cara menyimpang itu, mutasi sebenarnya hal biasa bagi pegawai untuk berpindah dari satu jabatan ke jabatan lain, dari pegawai biasa menjadi pejabat struktural atau fungsional dan sebaliknya. Tujuan dilakukannya mutasi itu sendiri adalah untuk menyegarkan organisasi dalam konteks peningkatan kinerja, begitu pernyataan yang selalu muncul dari lingkaran “pusat kekuasaan”.
SISTEM KARIR PNS
Karier seorang pegawai sebenarnya telah dirancang oleh mesin birokrasi dalam sebuah sistem aturan bersifat baku. Adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai induk yang mengatur semua tetek bengek kepegawaian termasuk untuk soal promosi dan mutasi jabatan. Undang-undang ini memuat 141 pasal, dan sekilas jika dicermati lembar per lembar isinya, mulai bab ketentuan umum sampai pada lampiran penjelasan pasal per pasal, substansinya tidak banyak jauh berubah dengan undang-undang kepegawaian sebelumnya.
Sebagai contoh dalam hal tata cara promosi pejabat eselon III setingkat jabatan administrasi (baca : jabatan administrator, jabatan pengawas dan jabatan pelaksana) tetap dilakukan mengikuti pola sebelumnya yakni setelah sebelumnya dilakukannya penilaian oleh tim penilai kinerja PNS (Baca : Baperjakat). Sedangkan untuk promosi ke Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama atau setingkat eselon II sebetulnya undang-undang ini tidak secara spesifik mengatur cukup tegas tata caranya. Tata cara seleksi terbuka yang dipraktekkan selama ini dalam promosi pejabat ke eselon II merujuk Permenpan 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Tinggi Secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah.
intinya, cara pandang Undang-Undang No 5 tersebut sesungguhnya hanya memperkuat benteng karier PNS di undang-undang sebelumnya yakni merit system. Substansi utama system ini adalah untuk menghargai prestasi yang telah ditorehkan oleh pegawai dengan imbalan kariernya bisa menanjak dan berkembang (promosi). Kebalikannya dapat di maknai pejabat yang kurang berprestasi harus ditendang, kurang lebih begitu tafsirnya. Amboii..karir PNS sudah pasti tersumbat jika mengikuti pokok pikiran merit system ini. Patut diakui memang praktek sistem ini selalu saja memakan korban, punya prestasi bagus namun belum tentu punya karir bagus. Bak kisah Romeo dan Juliet karya William Shakespeare dari negeri spaghetti Italia, manis di awalnya namun ditutup diakhir kisah dengan adegan tragis yang mengharubirukan.
Mutasi pejabat berdasar kinerja
Terlepas dari kisah romantisme itu, Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah merilis data bahwa 40 persen dari 4,7 juta Pegawai Negeri Sipil di Indonesia memiliki hasil kerja buruk dan akan diminta menjalani pensiun dini. Terpisah, Asisten deputi Koordinasi Kebijakan, Penyusunan, Evaluasi Program, dan Pembinaan SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Bambang Dayanto Sumarsono menyatakan bahwa, "Sesuai road map yang telah kami susun, pensiun dini bagi PNS tahap pertama mulai tahun 2016 adalah PNS yang berkompetensi rendah”.
Diluar pernyataan tersebut, point penting menjadi catatan disini bahwa pelaksanaan mutasi jabatan tidak serta merta terjadi karena ternyata tetap beralaskan pada hasil pendeteksian kinerja oleh tim penilai yang dibentuk oleh kepala daerah, tak terkecuali untuk mutasi kepala sekolah. Untuk terakhir yang disebutkan, perlu saya sentil sedikit, Kepala sekolah itu sebenarnya bukan jabatan, hanya tugas tambahan dalam posisinya sebagai guru sebagaimana di atur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan guru sebagai kepala sekolah/madrasah. Jadi dalam tulisan ini tidak akan dikupas secara menjelimet dan dalam.
MUTASI DAN PROMOSI JABATAN
Pasal 7 A Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktutal telah memberikan rambu-rambu bahwa Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural dapat diangkat dalam jabatan struktural setingkat lebih tinggi apabila yang bersangkutan sekurang-kurangnya telah 2 (dua) tahun dalam jabatan struktural yang pernah dan/atau masih didudukinya kecuali pengangkatan dalam jabatan struktural yang menjadi wewenang Presiden. Enak didengar seolah olah identik dengan kenyataannya.
Harus digarisbawahi, kriteria 2 tahun dalam jabatan hanya salah satu bahan pertimbangan tim penilai kinerja PNS untuk mengusulkan seorang pegawai mendapat promosi jabatan. Kriteria lainnya yang tak kalah pentingnya adalah apa saja yang telah dilakukannya dalam dua tahun tersebut (penilaian kinerja). Jika hasil penilaian ditemukan bahwa mereka masih bekerja hanya mengikuti trend rutinitas tanpa ada ikhtiar inovasi atau bahkan tergelincir ke pusaran masalah serius terkait jabatannya semisal mengantongi TGR, maka rasa-rasanya pas benar mereka tidak direkomendasikan tim penilai untuk mengantongi tiket promosi jabatan.
Ini senada dengan rumusan penilaian kinerja yang diutarakan Tri Widodo dalam bukunya manajemen personalia dan sumber daya manusia adalah sebuah proses untuk mengukur prestasi kerja pegawai berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan. Stempel Tuntutan Ganti Rugi (TGR) yang melekat pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tertentu merupakan sebuah genre dan penanda adanya ketidakberesan dalam tata kelolah kas keuangan diluar koridor aturan main yang telah ditetapkan.
Lebih luas lagi, segala hal yang telah memiliki standar, norma, kaidah-kaidah serta etika bersifat mengikat yang tertuang dalam sebuah peraturan kemudian terendus dilanggar maka dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mutasi dan promosi jabatan. Inilah dosis tepat sebagai takaran dalam mengusulkan siapa calon kuat yang dapat digadang-gadang mendapat promosi jabatan.
Untuk itu, sejatinya tidak perlu diperdebatkan secara sengit, jika dalam mutasi nanti ada pejabat untuk sementara mendapat promosi ke jabatan staf khusus. Anggaplah itu sebagai sebuah kesempatan dan ujian yang diberikan kepala daerah untuk lebih mempertajam kemampuan diri agar nantinya mampu bekerja lebih baik lagi. Akhirnya, dipenghujung tulisan ini, saya cuma berharap semoga drama mutasi jabatan dilingkup Pemerintah Daerah Kab. Bolaang Mongondow tidak berakhir anti klimaks, berisi pejabat-pejabat yang piawai dalam membuat perangkap sehingga membuat bupati dan wakil bupati terpilih mati kutu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H