intinya, cara pandang Undang-Undang No 5 tersebut sesungguhnya hanya memperkuat benteng karier PNS di undang-undang sebelumnya yakni merit system. Substansi utama system ini adalah untuk menghargai prestasi yang telah ditorehkan oleh pegawai dengan imbalan kariernya bisa menanjak dan berkembang (promosi). Kebalikannya dapat di maknai pejabat yang kurang berprestasi harus ditendang, kurang lebih begitu tafsirnya. Amboii..karir PNS sudah pasti tersumbat jika mengikuti pokok pikiran merit system ini. Patut diakui memang praktek sistem ini selalu saja memakan korban, punya prestasi bagus namun belum tentu punya karir bagus. Bak kisah Romeo dan Juliet karya William Shakespeare dari negeri spaghetti Italia, manis di awalnya namun ditutup diakhir kisah dengan adegan tragis yang mengharubirukan.
Mutasi pejabat berdasar kinerja
Terlepas dari kisah romantisme itu, Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah merilis data bahwa 40 persen dari 4,7 juta Pegawai Negeri Sipil di Indonesia memiliki hasil kerja buruk dan akan diminta menjalani pensiun dini. Terpisah, Asisten deputi Koordinasi Kebijakan, Penyusunan, Evaluasi Program, dan Pembinaan SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Bambang Dayanto Sumarsono menyatakan bahwa, "Sesuai road map yang telah kami susun, pensiun dini bagi PNS tahap pertama mulai tahun 2016 adalah PNS yang berkompetensi rendah”.
Diluar pernyataan tersebut, point penting menjadi catatan disini bahwa pelaksanaan mutasi jabatan tidak serta merta terjadi karena ternyata tetap beralaskan pada hasil pendeteksian kinerja oleh tim penilai yang dibentuk oleh kepala daerah, tak terkecuali untuk mutasi kepala sekolah. Untuk terakhir yang disebutkan, perlu saya sentil sedikit, Kepala sekolah itu sebenarnya bukan jabatan, hanya tugas tambahan dalam posisinya sebagai guru sebagaimana di atur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan guru sebagai kepala sekolah/madrasah. Jadi dalam tulisan ini tidak akan dikupas secara menjelimet dan dalam.
MUTASI DAN PROMOSI JABATAN
Pasal 7 A Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktutal telah memberikan rambu-rambu bahwa Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural dapat diangkat dalam jabatan struktural setingkat lebih tinggi apabila yang bersangkutan sekurang-kurangnya telah 2 (dua) tahun dalam jabatan struktural yang pernah dan/atau masih didudukinya kecuali pengangkatan dalam jabatan struktural yang menjadi wewenang Presiden. Enak didengar seolah olah identik dengan kenyataannya.
Harus digarisbawahi, kriteria 2 tahun dalam jabatan hanya salah satu bahan pertimbangan tim penilai kinerja PNS untuk mengusulkan seorang pegawai mendapat promosi jabatan. Kriteria lainnya yang tak kalah pentingnya adalah apa saja yang telah dilakukannya dalam dua tahun tersebut (penilaian kinerja). Jika hasil penilaian ditemukan bahwa mereka masih bekerja hanya mengikuti trend rutinitas tanpa ada ikhtiar inovasi atau bahkan tergelincir ke pusaran masalah serius terkait jabatannya semisal mengantongi TGR, maka rasa-rasanya pas benar mereka tidak direkomendasikan tim penilai untuk mengantongi tiket promosi jabatan.
Ini senada dengan rumusan penilaian kinerja yang diutarakan Tri Widodo dalam bukunya manajemen personalia dan sumber daya manusia adalah sebuah proses untuk mengukur prestasi kerja pegawai berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan. Stempel Tuntutan Ganti Rugi (TGR) yang melekat pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tertentu merupakan sebuah genre dan penanda adanya ketidakberesan dalam tata kelolah kas keuangan diluar koridor aturan main yang telah ditetapkan.
Lebih luas lagi, segala hal yang telah memiliki standar, norma, kaidah-kaidah serta etika bersifat mengikat yang tertuang dalam sebuah peraturan kemudian terendus dilanggar maka dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mutasi dan promosi jabatan. Inilah dosis tepat sebagai takaran dalam mengusulkan siapa calon kuat yang dapat digadang-gadang mendapat promosi jabatan.
Untuk itu, sejatinya tidak perlu diperdebatkan secara sengit, jika dalam mutasi nanti ada pejabat untuk sementara mendapat promosi ke jabatan staf khusus. Anggaplah itu sebagai sebuah kesempatan dan ujian yang diberikan kepala daerah untuk lebih mempertajam kemampuan diri agar nantinya mampu bekerja lebih baik lagi. Akhirnya, dipenghujung tulisan ini, saya cuma berharap semoga drama mutasi jabatan dilingkup Pemerintah Daerah Kab. Bolaang Mongondow tidak berakhir anti klimaks, berisi pejabat-pejabat yang piawai dalam membuat perangkap sehingga membuat bupati dan wakil bupati terpilih mati kutu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H