Mohon tunggu...
sofyanto MSi
sofyanto MSi Mohon Tunggu... Administrasi - owner

Ketua Lembaga kesejahteraan sosial morobayat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi Itu Halal

14 Mei 2016   18:05 Diperbarui: 14 Mei 2016   18:11 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Mari kita selamatkan uang rakyat untuk kembali ke rakyat", begitu sepenggal kalimat yang terlontar saat Presiden Jokowi  membuka Musrembang RPJMN 2015 (Selasa,26/5/2015) di Kementerian PPN/Bappenas.    Itikad baik Presiden Jokowi  itu patut diapresiasi sebagai sebuah langkah positif yang tak bisa dianggap main-main  dalam melawan korupsi.

Sebagai tindak lanjutnya, tidak kurang 96 rencana aksi presiden memberantas korupsi pun  telah dipaparkan dalam Inpres No 7 Tahun 2015  Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) Tahun 2015. Sebenarnya di era pemerintahan sebelumnya dengan slogan “hukum menjadi panglima”, Inpres sejenis sudah pernah diterbitkan tapi ternyata tidak membawa hasil yang  maksimal.

Data yang di rilis  Transparency International (TI) di situs resminya skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia hanya naik 2 point (34) di tahun 2014 dari  skor tahun 2013 (32). Artinya pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung masih bergerak sangat lambat namun makna  positifnya telah ada ikhtiar dari pemerintah dalam memerangi tindak pidana  korupsi di negeri ini.

Sekilas gurita korupsi  di Indonesia tampaknya tak pernah mereda, hampir tiap saat kita disuguhi informasi oknum pejabat yang tersandung di pusaran korupsi. Menariknya dalam soal pengungkapannya,  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cenderung menonjol dibanding dua lembaga penegak hukum lainnya.  Kendati  didera sejumlah kecaman keras dan ancaman amputasi kewenangan penyadapan yang dimilikinya  namun lembaga  KPK   tetap tegas  menindak oknum-oknum koruptor.  

Membangun system korupsi halal

Di berbagai kesempatan pidato, Presiden Jokowi sering menyebutkan bahwa membangun system sangat efektif untuk mengurangi terjadinya korupsi. Mantan Walikota Solo ini merujuk beberapa system yang telah dibangun saat beliau menjadi Gubernur DKI Jakarta yakni E-Purchasing, E-Katalog, E-Budgeting.

Kalau system dimaksud ditafsirkan sebagai  perangkat lunak (software) maka tidak serta merta disematkan bahwa system itu sudah baik dan efektif mengurangi korupsi. Semisal system Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) merupakan system pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan  secara terbuka namun ternyata  belum efektif mencegah korupsi. Ketua LPSE Kab. Serang salah satu contoh kasus  oknum pemerintah daerah yang tergelincir  kasus korupsi  dalam LPSE, dan masih banyak daerah lain tersandung perkara yang sama.

 Adapun kalau system dimaknai sebagai sebuah proses dari serangkaian kegiatan yang kait mengait maka ini terilustrasi dalam beragam produk hukum  yang diterbitkan  pemerintah baik itu bersifat revisi maupun kebijakan baru.   Persoalan seriusnya berapa banyak dan system yang mana perlu di perbaiki, karena terus terang sejauh ini uji kelayakan  system yang diterapkan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Akibatnya, informasi akurat seputar  sektor, bidang mana saja yang terindikasi lemah dan  bagaimana modus melakukan korupsi tidak terakomodir dalam klausul regulasi yang diterbitkan.

Pengabaian terhadap kelayakan system,  memposisikan pemerintah terjebak dalam kerangkeng bongkar pasang berbagai produk hukum, hari ini diberlakukan dua tiga hari   kemudian dicabut lagi keberlakuannya.  Sangat ironi,  jika peraturan pemerintah harus dilahirkan selalu dalam keadaan  prematur  dan bukan sekali dua  tragedi ketatanegaraan itu  terjadi.

Persepsi Korupsi

Korupsi dan teroris adalah dua hal di bangsa ini yang mendapat tempat dan perlakuan sama sebagai kejahatan luar biasa yang mesti dihancurkan sampai ke akar-akarnya.  Memang tidak mudah berjibaku dalam pusaran korupsi yang berlapis-lapis, karena seiring perkembangan pengetahuan di jagat raya ini maka sejalan itu pula  selalu ditemukan  varian-varian  baru modus   korupsi. Sebagai virus bangsa yang haram hukumnya, tindak korupsi  telah menimbulkan kerusakan permanen pada sendi-sendi kehidupan bangsa. Namun bagaimana proses kerusakan itu terjadi, motif dan modusnya saat dilakukan, jarang terungkap diawal. Saat  terjadi proses penyelidikan/penyidikan barulah diketahui rangkaian proses pidana korupsi terjadi.

Menelisik pengungkapan korupsi di Indonesia maka tak terpisahkan dengan aksi-aksi heroik KPK. Tanpa harus menunggu adanya laporan masyarakat,  berbekal kewenangan penyadapannya maka mudah saja KPK menelusuri jejak-jejak korupsi. Namun  pada 2 lembaga penegak hukum lainnya, menelusuri jejak korupsi membutuhkan hasil audit BPK/BPKP ataupun adanya laporan masyarakat yang masuk.  Pada konteks ini kepolisian dan kejaksaan  bertindak berdasar  delik aduan, kendati korupsi itu sebenarnya bukan delik aduan.

Untuk itulah rekayasa persepsi pemerintah bahwa korupsi barang haram  perlu didudukan dalam perspektif  barang halal berbatas. Argumentasi sederhananya,  bahwa system yang dibangun dan dijalankan pemerintah harus diuji kelayakannya, dimana celah yang berpotensi akan menimbulkan tindak korupsi serta bagaimana modusnya. Katakan sebagai pilot project  pemerintah pada sampel daerah tertentu, bahwa daerah itu diwajibkan menjalankan sebuah system yang telah dirancang pemerintah.  

Hasil uji kelayakan system akan memberikan umpan balik berupa data dan informasi baru yang kemudian menjadi bahan masukan dalam penyusunan sebuah system. Dengan begitu itikad baik presiden mengendalikan korupsi berbasis  system  entah dalam bentuk teknologi informasi maupun produk hukum  benar-benar efektif,  berisi sejumlah menu yang uptodate serta memuat klausul-klausul yang mampu meredam beragam modus koruptor sekalipun ia ber IQ setara Albert Einstein.

Dampak turunan dari study kelayakan ini sudah pasti akan menimbulkan kerugian negara, namun itulah  harga yang harus dibayar atas diperolehnya  pengetahuan baru.  Mungkin saja juga pada survey kuartal ketiga dan seterusnya  popularitas presiden Jokowi akan ikut terjungkal bebas karena mengambil kebijakan  ekstrim ini. Tapi saya berkeyakinan kendati   kebijakan itu  kontroversi namun membawa efek kemaslahatan bagi rakyat Indonesia,  selalu saja akan menjadi pilihan utama dari   Presiden Jokowi.   Semoga itu  terjadi.

sudah di publikasi di blog saya http://www.kabela-kabela.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun