"Ayo cepat Muhammad!"
Dua kalimat diatas terngiang-ngiang dalam telinga saya seperti bersahut-sahutan.
Kalimat pertama baru saja saya dengar dari Muhammad dengan nada rendah penuh ketakutan.
Lalu kalimat kedua adalah yang sering saya dengar dengan nada keras, entah sudah berapa kali, dari mulut sendiri...
Kereta sudah jauh meninggalkan statiun, rasanya tak melaju kencang, getaran di dalam pun biasa saja.
Pedagang berseragam bisa jalan sepanjang lorong menawarkan nasi goreng dan minuman dengan tenangnya.
Tapi mungkin tak begitu saat kita berada di luar kereta. Kereta ini melaju dengan sangat cepat hingga tak menunggu lama dari gerbong kereta hingga menghilang dari pandangan.
Saya pun merasa "biasa dan wajar" saat menyuruh anak untuk melaju cepat terutama di pagi hari menjelang berangkat sekolah.
Tapi bagi Muhammad, mungkin anakku yang lain, itu terlalu cepat. Tak sempat ia "melihat" saya dengan utuh.
Hingga untuk ee pun mesti minta izin takut ditinggal. Dugaan saya, dia berani minta izin karena saya pun tidak memburu-buru bangun dan mandi.
Sedang hari-hari yang lain, saat dia sakit perut, mungkin dia memilih menahan daripada mendengar "nasehat nada keras" lagi.