YANG NYARIS TERLUPAKAN: Siswa Rentan Putus Sekolah
Dr. Sofyan
Dosen FKIP Universitas JambiÂ
Mengapa Terjadi?
Memasuki era pandemi Covid-19 dan masa transisi ke new normal seperti saat ini, pendidikan di Indonesia merupakan salah satu yang terdampak paling besar. Sejak pertengahan Maret 2020, Indonesia meningkatkan status bahaya pandemi, sehingga semua harus melakukan pembatasan yang disebut dengan lockdown selama kurang lebih dua minggu lamanya. Pembatasan yang dilakukan selama dua minggu diharapkan bisa mengurangi resiko tingkat persebaran virus Covid-19, ternyata tidak berjalan seperti yang direncanakan. Persebaran Covid-19 semakin besar sehingga sekolah yang awalnya diliburkan selama dua minggu, mengalami perubahan strategi pembelajaran dengan menerapkan Work from Home (WFH) selama waktu yang belum bisa di tentukan. Strategi ini mengakibatkan seluruh sekolah di Indonesia, mulai dari jenjang Taman Kanak-kanak sampai Universitas meliburkan peserta didiknya, karena dikhawatirkan tingkat kerumunan yang tinggi, bisa menjadi cluster baru persebaran Covid-19. Â
Dampak akibat dari krisis pandemi Covid-19 sangat besar dan dalam jangka panjang salah satunya adalah meningkatnya jumlah siswa rentan putus sekolah putus sekolah, bahkan sampai putus sekolah atau drop out (DO). Sejumlah anak yang masih sekolah pun berisiko putus sekolah sehingga diperlukan sinergi antarpemangku kepentingan termasuk keluarga untuk mengatasi masalah ini karena pendidikan merupakan salah satu di antara sekian banyak pilar kesuksesan sebuah negara dalam upaya meningkatkan taraf hidup rakyatnya.
Pendidikan yang berkualitas merupakan harapan dan tuntutan seluruh stakeholder pendidikan, agar pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang dicapai setiap penduduk usia sekolah. Tolok ukur atau parameter untuk mengukur kemajuan pembangunan di bidang pendidikan dengan cara melihat keterjangkauan pendidikan maupun pemerataan pendidikan pada masing-masing kelompok umur. Proporsi penduduk menurut kelompok usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk yang pernah/sedang bersekolah pada kelompok usia sekolah disebut putus sekolah/drop out (DO). Semakin tinggi angka drop out (DO) menggambarkan kondisi pendidikan yang tidak baik dan tidak merata atau adanya indikasi rendahnya produktivitas pendidikan. Drop out (DO) adalah keluar dari sekolah sebelum waktunya, atau sebelum lulus.
Anak Tidak Sekolah merupakan anak usia 7-18 tahun yang: 1) Tidak pernah bersekolah; 2) Putus sekolah tanpa menyelesaikan jenjang pendidikannya (putus sekolah di tengah-tengah jenjang SD, SMP, atau SMA/SMK); dan 3) Telah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan tetapi tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya (SD/sederajat ke SMP/sederajat atau SMP ke SMA/SMK sederajat).
Peningkatan kualitas pendidikan memiliki urgensi tersendiri untuk mendukung pembangunan nasional. Pembangunan nasional ini dapat membentuk SDM yang semakin berkualitas. Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, pemerintah melakukan upaya-upaya pencegahan agar siswa tetap mendapatkan pendidikan yang layak. Namun tidak bisa dipungkiri masih banyak siswa yang belum beruntung untuk bersekolah atau bahkan mengalami drop out (DO). Angka anak putus sekolah khususnya untuk kelompok umur 16-18 tahun (jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA)) masih relatif tinggi sehingga permasalahan tersebut perlu menjadi perhatian bersama.
Oleh karena itu, Direktorat SMA memberikan konsep strategi pencegahan anak putus sekolah agar menekan angka putus sekolah di jenjang SMA. Konsep strategis yang diberikan oleh Direktorat SMA diadopsi oleh Provinsi Jambi dan diterapkan di 112 SMA pilot project (implementasi terbatas). Hal ini dilakukan untuk menangani permasalahan siswa rentan putus sekolah di Provinsi Jambi.
FAKTA EMPIRIS
Dari data 112 SMA sasaran yang masuk di Tim Fasilitator SRPS Dit. SMA terdapat 91 (81,25%) Rencana Tindak Lanjut (RTL) dan 102 (91,07%) Kertas Kerja (KK) yang masuk. Data siswa rentan putus sekolah yang diidentifikasi oleh Tim Satgas Sekolah melalui Kertas Kerja sampai dengan tanggal 22 Juli 2002 terdapat 951 orang.
Berdasarkan identifikasi Tim Satgas sekolah, faktor penyebab SRPS adalah Faktor ekonomi rendah (siswa bekerja), ekonomi mapan (siswa merasa tidak perlu bersekolah): 1) Motivasi belajar siswa yang rendah; 2) Pernikahan dini/hamil di luar nikah; 3) Siswa yatim piatu tinggal sendirian; 4) Faktor geografis (jarak rumah ke sekolah); 5) Orangtua bercerai/meninggal diasuh oleh kakek/nenek sehingga tidak ada pengontrolan atas perilaku siswa; 6) Faktor kenakalan siswa/tindak kejahatan; 7) Siswa ngekos atau tinggal sendiri sehingga jauh dari pantauan orangtua; 8) Bullying (Siswa terlibat pornografi, siswa diminta mengirimkan gambar yang tidak senonoh lalu disebar luaskan ataupun kasus lainnya) sehingga berdampak kepada kesehatan jiwa dan kenyamanan siswa; Â dan 9) Lingkungan rumah kurang kondusif.
Kendala dan permasalahan yang dihadapi sekolah adalah: 1) Komunikasi dengan orangtua untuk melakukan home visit sulit karena jarak rumah jauh yang dikunjungi jauh dengan sekolah; 2) Lambatnya respon orang tua terhadap panggilan sekolah; 3) Orangtua kurang kooperatif dalam permasalahan anaknya; 4) Anggaran dana yang kurang mencukupi dalam mengakomodir gerakan pencegahan siswa rentan putus sekolah, dan 5) Sulit mendeteksi siswa RPS karena kurang pengawasan guru dan orang tua.
Atas permasalahan dan kendala yang ditemukan oleh Tim Satgas SRPS di atas, SMA di Jambi mengambil Langkah-langkah pemecahan masalah sebagai berikut: 1) Sosialisasi Gerakan SRPS bagi masyarakat sekolah termasuk komite; 2) Meningkatkan kompetensi guru; 3) Melakukan pembiayaan subsidi silang untuk pembebasan biaya iuran di sekolah; 4) Pendampingan dan pendekatan secara personal dengan orangtua dan siswa; Â 5) Memberikan poin reward untuk siswa berprestasi; 6) Membuat bank data siswa untuk memudahkan mengidentifikasi dan tindak lanjut dalam penanganan siswa; 7) Memberikan fasilitas kos dekat sekolah, ataupun anak bisa tinggal dilingkungan sekolah dengan menjadi marbot sekolah; 8) Infaq untuk membantu permasalahan ekonomi pada siswa rentan putus sekolah; 9) Beasiswa dari komite dan bekerjasama dengan baznas, alumni, maupun lembaga lainnya; Â 10) Kunjungan rumah (home visit); 11) Siswa diizinkan pindah sekolah karena tindakan yang dilakukan siswa diluar toleransi dari aturan sekolah atau untuk melanjutkan ke PKBM (Paket C); dan 12) Guru menjadi orangtua angkat siswa rentan dan ekonomi rendah; Â 13) melakukan parenting bersama wali murid tentang pentingnya pendidikan, dampak pernikahan dini dan pergaulan bebas, dan 14) Mencarikan wali murid/orang tua asuh untuk siswa broken home.
Masukan dan saran yang disampaikan oleh para kepala sekolah dan Tim satgas SPS sekolah atas pelaksanaan Gerakan SRPS agar Tidak Putus sekolah, adalah: 1) Adanya kerjasama antara sekolah dan pemda untuk pemberian bantuan ke siswa untuk pencegahan siswa rentan putus sekolah; 2) Memprogramkan Pencegahan Anak Putus Sekolah di semua jenjang; 3) Memberikan DAK Fisik berupa pembangunan asrama untuk mengakomodir siswa yang jauh dan termasuk kedalam wilayah transmigran; 4) Berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan beasiswa melalui bantuan Gubernur untuk siswa kurang mampu; 5) Siswa rentan putus sekolah yang kesulitan ekonomi dapat difasilitasi Direktorat untuk mendapatkan PIP; 6) Diharapkan program ini menjadi langkah awal untuk mencapai bantuan kongkrit untuk mereka yang terjaring di ARPS, bukan kemudian menggantungkan kembali solusi pendanaan kegiatan kepada anggaran BOS, dan 7) Membuat twitbon tentang Pencegahan Anak Putus Sekolah di media sosial sebagai media kampanye pentingnya pendidikan untuk masa depan (mencegah siswa putus sekolah).
SIMPULANÂ
Dari Gerakan yang sudah dilaksanakan selama lebih kurang empat bulan ini, dapat disimpulkan: 1) Sebagian SMA yang hadir didalam zoom meeting sudah mengirimkan kertas kerja dan rencana tindak lanjut sebagai bentuk komitmen dalam pelaksanaan pencegahan siswa rentan putus sekolah; 2) Sekolah sudah memahami Gerakan SRPS sebagai program prioritas yang harus dilakukan; 3) Komitmen yang diperlihatkan sekolah sudah baik dan gerakan ini sudah berjalan di masing-masing sekolah; 4) Sekolah sudah membentuk tim satuan tugas dalam upaya pencegahan siswa rentan putus sekolah; dan 5) Sekolah membutuhkan dukungan dari orangtua dan masyarakat terkait pelaksanaan pencegahan siswa rentan putus sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H