Mama tak bergeming. Suasana sunyi hingga 2 jam.
"Mama dulu bodoh ketika percaya padamu. Kamu ingat ketika Mama menemukan buku terkutuk yang kamu bilang milik temanmu. Harusnya Mama curiga, usiamu saat itu 16 tahun. Ketika Mama 16 tahun, Mama asik bercerita tentang Papamu ke Oma. Tapi kamu tak pernah sekalipun menceritakan siapa pria yang menarik perhatianmu. Seharusnya buku itu menjadi signal bagi Mama. Harusnya Mama juga curiga sama Aruna, kamu tak pernah menghabiskan waktu sesering itu dengan orang lain, selain dengan Aruna, temanmu. Dan kemarin Mama ingat, kamu pernah memberikan Mama kunci apartemenmu. Dua minggu lagi kamu ulang tahun, Mama ingin tahu apa yang kamu butuhkan. Mama ke apartemenmu, dan menemukan foto-foto mesramu dengan........." tangisnya pun kembali pecah.
Aku diam, air mataku tak berhenti mengalir.
"Ternyata Aruna itu tinggal disitu ya? Ada begitu banyak notes mesra darinya di kulkasmu . Itu kenapa kamu pindah. Kamu lebih memilih hidup dengan perempuan itu dari pada dengan Ibu yang melahirrr..... kan... mu..."
Dengan cepat aku tersimpu, sujud di kaki Mama, tanpa berkata apapun. Tangis kami berdua pecah. Malam menjadi begitu dingin, sangat dingin. pilu. Begitu pilu.
Ponselku tak berhenti bergetar, dan selalu dari nama yang sama. My Lovely Aruna. Aku merindukannya. Sangat merindukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H