"Kenapa harus tinggal di apartemen sayang?' tanya Ibu sembari mengernyitkan dahinya.
"Terus buat apa aku beli apartemen kalau gak ditempati. Aku gak mau nyewain Ma, aku juga gak mau membangunkan Mama saat aku harus pulang larut malam" jawabku meyakinkan.
Perasaan tidak rela masih menghiasi wajah pucatnya ketika menemaniku menata apartemen baruku. Mataku berkaca-kaca ketika Mama menjelaskan betapa Ia tak pernah berhenti mendoa'kan ku sejak aku berada dalam rahimnya hingga aku se-dewasa ini.
"Mama yakin anak Mama akan selalu membanggakan. Usia 24 tahun aja, anak gadisku sudah bisa beli apartemen sendiri. Kamu hebat sayang. Kamu harus jenguk Mama sering-sering. I Love You" ucap Mama sembari mengecup manis pipiku.
Dan aku tak mampu berkata apapun.
#################################
Dia alasanku membeli apartemen ini, bukan hanya karena dekat kantor. Dia alasanku nekat berdebat dengan Mama setiap pagi, untuk memilih tinggal di apartemen. Dia yang tinggal 2 lantai di atasku. Dia yang baru 8 bulan lalu menjadi bagian dari kantorku, seorang copywriter lulusan Australia.
Lututku melemas ketika senyum manisnya menusuk tatapanku, tangannya begitu halus. Tak hanya sehari, dua hari, tapi setiap hari aku mencoba mengusirnya dari pikiranku, tapi faktanya aku tak mampu untuk tidak memikirkannya, selalu memikirkannya, selalu.
Berhari-hari mencari cara mendapatkan nomer ponselnya. Kumpulan album foto di akun facebooknya, tak menampakan kedekatannya dengan siapapun. Ia single. Itulah kata hatiku. Atau semacam harapanku. Sampai ia meminta nomer ponselku sendiri. Karena terpaksa. Karena kami 1 tim. Pertama menerima smsnya, girangku bukan main. Aku melompat dan berteriak. Mama super kaget dan langsung mengetuk pintu kamar dengan penuh kecemasan. Ini pertama kalinya, aku merasa gila.
Suatu saat, sebuah project mengharuskan kami lembur hingga larut malam. Ia menawarkanku menginap di apartemennya.
"Gak baik, anak gadis pulang selarut ini. I'm worry about you" katanya. Melihat tatapan sayu itu, aku tak berdaya. Aku mengiyakan. Tak terjadi apapun malam itu, selain semua kegilaan-ku hari ini. Semakin hari semakin dekat. Pergi sarapan dan makan siang bersama, sesekali makan malam berdua di tempat yang romantis. Sesekali Ia mengajakku berdansa, mengikuti denting piano restoran, tapi aku menolak. Aku malu. Bukan tak bisa berdansa.