Analisis Kasus Ibu Rica Marya Menggunakan Cara Pandang Mazhab Filsafat Hukum Positivisme
Nama : Sofiya Nida Khoirunnisa
NIM : 222111252
Kelas : HES 5E
Kasus Ibu Rica Marya Prespektif Filsafat Hukum Positivisme
Kasus ibu Rica Marya terjadi pada 31 Mei 2020 di Rokan Hulu, Riau, ketika dia mencuri tiga tandan buah sawit senilai Rp 76.500 dari perkebunan milik PTPN V. Rica mengaku nekat mencuri sawit karena ketiga anaknya kelaparan dan dia tidak memiliki uang untuk membeli beras. Rica divonis bersalah melanggar Pasal 354 KUHP dan dijatuhi pidana penjara tujuh hari. Namun, dia tidak perlu menjalani masa tahanan dan hanya menjalani masa percobaan selama dua bulan.
Dalam perspektif filsafat hukum positivisme, hukum dipandang sebagai seperangkat aturan yang harus ditegakkan tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau moralitas. Rica dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 354 KUHP, meskipun ia mencuri untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang kelaparan. Dalam konteks ini, positivisme menolak intervensi nilai moral atau sosial dalam penegakan hukum, sehingga keputusan hakim berfokus pada kepastian hukum dan penerapan undang-undang yang berlaku, tanpa mempertimbangkan alasan di balik tindakan Rica. Hal ini mencerminkan bahwa hukum dipandang sebagai norma yang harus ditegakkan tanpa pengecualian, terlepas dari konteks kemanusiaan. Berbeda dengan cara pandang masyarakat yang memandang keadilan dalam kasus Ibu Rica Marya dengan lebih holistik, mempertimbangkan konteks sosial dan moralitas.
Mazhab Positivisme Hukum
Mazhab positivisme hukum adalah aliran dalam filsafat hukum yang memisahkan hukum dari moralitas dan etika. Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang sah adalah yang ditetapkan oleh otoritas berwenang, tanpa mempertimbangkan aspek moral atau nilai-nilai etika. Positivisme menegaskan bahwa tidak ada hubungan mutlak antara hukum yang berlaku dan norma moral. Menurut Hans Kelsen, hukum harus bebas dari elemen non-yuridis seperti sosiologis dan historis, berfokus pada norma dasar sebagai sumber keabsahan. Hukum hanya diakui jika ditetapkan melalui prosedur formal oleh otoritas yang sah, menolak hukum alam atau hukum yang berasal dari masyarakat. Positivisme mengutamakan data empiris dan realitas, menolak spekulasi. Aliran ini memiliki tujuan untuk menciptakan kepastian hukum melalui norma-norma positif yang tertulis.
Argumen terhadap Mazhab Hukum Positivisme  dalam Hukum di Indonesia
Mazhab hukum positivisme di Indonesia menekankan pemisahan tegas antara hukum dan moral, serta mengagungkan hukum tertulis sebagai satu-satunya norma yang sah. Aliran ini berakar dari pemikiran filsafat positivisme dan berpengaruh pada sistem perundang-undangan, di mana hukum dianggap sebagai perintah dari penguasa tanpa keterkaitan dengan keadilan atau etika.Â