Mohon tunggu...
sofiya nida
sofiya nida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiwa

don't be blind.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Analisis Kasus Ibu Rica Marya Menggunakan Cara Pandang Mazhab Filsafat Hukum Positivisme

24 September 2024   23:05 Diperbarui: 24 September 2024   23:17 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Analisis Kasus Ibu Rica Marya Menggunakan Cara Pandang Mazhab Filsafat Hukum Positivisme

Nama : Sofiya Nida Khoirunnisa

NIM : 222111252

Kelas : HES 5E

Kasus Ibu Rica Marya Prespektif Filsafat Hukum Positivisme

Kasus ibu Rica Marya terjadi pada 31 Mei 2020 di Rokan Hulu, Riau, ketika dia mencuri tiga tandan buah sawit senilai Rp 76.500 dari perkebunan milik PTPN V. Rica mengaku nekat mencuri sawit karena ketiga anaknya kelaparan dan dia tidak memiliki uang untuk membeli beras. Rica divonis bersalah melanggar Pasal 354 KUHP dan dijatuhi pidana penjara tujuh hari. Namun, dia tidak perlu menjalani masa tahanan dan hanya menjalani masa percobaan selama dua bulan.

Dalam perspektif filsafat hukum positivisme, hukum dipandang sebagai seperangkat aturan yang harus ditegakkan tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau moralitas. Rica dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 354 KUHP, meskipun ia mencuri untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang kelaparan. Dalam konteks ini, positivisme menolak intervensi nilai moral atau sosial dalam penegakan hukum, sehingga keputusan hakim berfokus pada kepastian hukum dan penerapan undang-undang yang berlaku, tanpa mempertimbangkan alasan di balik tindakan Rica. Hal ini mencerminkan bahwa hukum dipandang sebagai norma yang harus ditegakkan tanpa pengecualian, terlepas dari konteks kemanusiaan. Berbeda dengan cara pandang masyarakat yang memandang keadilan dalam kasus Ibu Rica Marya dengan lebih holistik, mempertimbangkan konteks sosial dan moralitas.

Mazhab Positivisme Hukum

Mazhab positivisme hukum adalah aliran dalam filsafat hukum yang memisahkan hukum dari moralitas dan etika. Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang sah adalah yang ditetapkan oleh otoritas berwenang, tanpa mempertimbangkan aspek moral atau nilai-nilai etika. Positivisme menegaskan bahwa tidak ada hubungan mutlak antara hukum yang berlaku dan norma moral. Menurut Hans Kelsen, hukum harus bebas dari elemen non-yuridis seperti sosiologis dan historis, berfokus pada norma dasar sebagai sumber keabsahan. Hukum hanya diakui jika ditetapkan melalui prosedur formal oleh otoritas yang sah, menolak hukum alam atau hukum yang berasal dari masyarakat. Positivisme mengutamakan data empiris dan realitas, menolak spekulasi. Aliran ini memiliki tujuan untuk menciptakan kepastian hukum melalui norma-norma positif yang tertulis.

Argumen terhadap Mazhab Hukum Positivisme  dalam Hukum di Indonesia

Mazhab hukum positivisme di Indonesia menekankan pemisahan tegas antara hukum dan moral, serta mengagungkan hukum tertulis sebagai satu-satunya norma yang sah. Aliran ini berakar dari pemikiran filsafat positivisme dan berpengaruh pada sistem perundang-undangan, di mana hukum dianggap sebagai perintah dari penguasa tanpa keterkaitan dengan keadilan atau etika. 

Adanya Undang-Undang yang tertulis dalam positivisme hukum di Indonesia sebenarnya dapat memberikan kejelasan dan memastikan bahwa hukum dapat diterapkan dengan konsisten dan adil bagi semua warga negara. Namun terlepas dari itu, positivisme di Indonesia memiliki kelemahan yang perlu dipertimbangkan, diantaranya:

Pertama, positivisme dianggap menghambat pencarian keadilan yang substansial, dikarenakana hanya berfokus pada kepastian hukum dan prosedur formal, tanpa mempertimbangkan nilai moral dan etika.

Kedua, positivisme hukum sering kali mencederai rasa keadilan masyarakat, karena keputusan hukum hanya berdasarkan pada teks undang-undang, yang mungkin tidak mencerminkan realitas sosial. Akibatnya, penegakan hukum menjadi terlalu legalistik dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga gagal menciptakan keadilan yang sesungguhnya.

Positivisme hukum di Indonesia dapat menjadi lebih efektif dan mencapai keadilan yang lebih substansial apabila hukum tidak hanya berfokus pada peraturan-peraturan tertulis, tetapi juga mempertimbangkan kondisi sosial dan lingkungan sekitar. Penegakan hukum yang progresif haruslah menempatkan sisi keadilan dan kebenaran di atas peraturan atau Undang-Undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun