Mohon tunggu...
Sofi Mahfudz
Sofi Mahfudz Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Amatir

Suka Bisnis dan Nulis

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

"Jika Ini Ramadan Terakhirku", Iklan Pertamina 2013

6 Mei 2020   21:54 Diperbarui: 6 Mei 2020   21:52 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Cerita Tentang Bimo

Namanya Bimo. Lelaki Jawa. Kerjanya di Jakarta. Bapak 1 anak yang merupakan tipikal pekerja urban. Berangkat pagi pulangnya malam. Saat anaknya sudah lelap di peraduan.

Bimo tipe orang yang workaholic. Saking fokusnya di pekerjaan, orang tua di kampung jarang dihubungi. Lebih sering absennya dari pada hadirnya saat keluarga ada acara reuni.

Dampak lain dari kesibukannya yang ekstra itu, anaknya jadi kurang mendapat atensi. Sekedar melihat hasil gambar anaknya yang dapat nilai 95 saja seperti tidak ada waktu lagi.

Sampai akhirnya...

Satu pemandangan indah terpampang di depan mata. Saat melihat anaknya yang masih kecil menjadi Imam sholat untuk istrinya.  

Kesadarannya datang. Teringat nasihat Bapaknya saat dia masih kecil dulu:

"Mugo-mugo kowe dadi imam sing sholeh yo, Le"
[Semoga kamu nanti jadi pemimpin yang sholih ya, Nak]

"Injih, Pak" [Iya, Pak]

Di titik ini, dia menyadari ada yang salah dengan prioritas kesehariannya. Bahwa selama ini yang ada dipikirannya hanya kerja, kerja dan kerja.

Selanjutnya, dia mulai melakukan hal-hal yang terlihat remeh tapi sangat bernilai, yakni:
 
- Mendampingi anak istrinya sahur. Sehingga anak istrinya pun dibuat terpana atas hal tidak biasa yang dilakukannya.  

- Keterpanaan anak istrinya berlanjut saat melihat Bimo menelepon orang tuanya. Dia mengirim hadiah lebaran untuk orang tua di kampung

- Begitu pulang dari kerja, Bimo langsung menghampiri anaknya yang sedang belajar mengaji. Duduk bersisian sambil membetulkan pengucapan anaknya yang kurang tepat. Selanjutnya, bersama istri dan anaknya, Bimo menjalani sholat Tarawih bersama.

Cerita itu bergulir sambil Bimo bernarasi:

Jika ini Ramadhan terakhirku,
Kulembutkan hati
Kuringankan berbagi
Kuhidupkan ayat suci

Jika ini Ramadhan terakhirku
Kuhiasi bulan suci-Mu
Dengan ribuan ibadah

Bimo Adalah Kita

Iklan Ramadhan dari Pertamina ini hanya berdurasi 1 menit. Dirilis pada tahun 2013. Disutradarai oleh Ipang Wahid.

Ribuan iklan bertema Ramadhan sudah tercipta. Tapi menurut saya iklan dari Pertamina ini yang paling berkesan.

Mengapa?

1. Dari sisi akting pemain dan jalan cerita, menurut saya semuanya bisa berjalan alami. Apa adanya. Tidak terkesan dibuat-buat. Menggambarkan kehidupan riil keluarga kecil yang tinggal di Jakarta.

Di iklan ini ada scene istri dan anaknya Bimo sedang beraktifitas di di dalam rumah.

Kostum istri Bimo seperti Ibu Rumah Tangga Ibukota kebanyakan; pakai kaos dan celana 7/8. Tidak berjilbab. Karena memang sedang di dalam rumah.

Istri Bimo tidak ditampilkan tiba-tiba berbusana islami 'hanya' karena bernuansa Ramadhan.

Imho,tampilan yang masuk dalam kriteria 'tiba-tiba berubah' adalah; saat di dalam rumah pakai kerudung. Tapi rambutnya kelihatan. Jadinya kerudung hanya sebagai aksesoris saja. Nanggung gitu kesannya. Tampilan yang sering saya jumpai di banyak iklan Ramadhan.

Jika sosok wanita ingin ditampilkan sehari-harinya berbusana islami, mending sekalian dicitrakan pakai gamis berhijab. Sehingga kesan alami itu begitu terasa.

Terihat remeh, ya. Tapi menurut saya ini berpengaruh ke jalan cerita yang terlihat apa adanya atau yang diada-adakan.

Di iklan Pertamina versi 'Jika Ini Ramadhan Terakhirku', sang sutradara  tidak menampilkan sosok istri Bimo dengan tampilan yang dibuat-buat. Natural sekali tampilannya.

 2.  Cerita di iklan ini sangat Mengena.

Apa yang terjadi pada Bimo, dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Sehingga kita bisa mengatakan: Bimo adalah kita.

Meski dipublikasikan sejak 7 tahun yang lalu, tapi sampai hari ini  pesan dari iklan ini masih sangat relevan. Karena mengangkat tema yang semua orang mengalaminya, yakni lalai dengan waktu.

Kita sering tanpa sadar larut dalam sibuknya pekerjaan yang tiada henti. Sampai lupa dan melupakan hal-hal yang sangat penting. Misalnya melupakan pentingnya berkabar kepada orang tua. Melupakan betapa pentingnya sebuah apresiasi atas upaya anak meraih prestasi. 

Juga melupakan fakta bahwa Ramadhan datangnya setahun hanya sekali. Dan seringnya kita lalai. Membuatnya berlalu begitu saja tanpa menciptakan kesan yang berarti.

Sholat sunnah tidak bertambah. Al-Quran tetap jarang dibuka. Berbagi pun juga tidak meningkat kuantitas dan kualitasnya.
 
Menurut saya, iklan 'Jika Ini Ramadhan Terakhirku' adalah iklan yang persuasif. Mengajak penonton untuk intropeksi diri. Tidak boleh menyia-nyiakan waktu dan kesempatan.

Saat keluarga masih ada, kita tidak boleh mengabaikannya. Saat bulan Ramadhan telah tiba, kita tidak boleh mangacuhkannya. Karena bisa jadi semua itu tidak akan berulang lagi.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun