Sejarah Singkat TPA Talangagung
Sebelum tahun 2008, sistem pengolahan sampah di Indonesia dilakukan secara terbuka atau Open Dumping. Sistem ini sering menimbulkan masalah baru. Munculnya bau yang tidak sedap dan menjadikan TPA sebagai sarang penyakit akhirnya sering menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat disekitar lokasi.
Sampai akhirnya, muncullah UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Dalam UU ini diamanatkan perubahan terkait pengelolaan sampah berwawasan lingkungan yang disebut dengan 3R (reduce, reuse, recycle). Konsep ini berbeda dengan pengelolaan sampah sebelumnya yang ‘hanya’ memakai pendekatan end of pipe atau Kumpul-Angkut-Buang.
Konsep 3R ini berusaha memaksimalkan potensi ekonomi yang dimiliki oleh tumpukan sampah, misalnya diolah menjadi energi alternatif. Selain itu konsep ini juga untuk menyelematkan lingkungan. Karena ternyata gas metana yang ada di tumpukan sampah yang membusuk apabila dilepas ke udara memiliki daya rusak yang luar biasa. Sebagai gambaran, 1 ton gas metana sebanding dengan 21 ton C02 yang dilepas ke udara.
Dari latar belakang ini, akhirnya mendorong Pemerintah Kabupaten Malang untuk melakukan inovasi ‘Waste to Energy’. Secara resmi, TPA ini berdiri tahun 2009 dan berada di area 2.5 hektar. Hingga hari ini, rata-rata TPA ini setiap hari menerima kiriman sampah 125 meter kubik.
Konsep ‘Waste to Energy’ mengusung ide memanfaatkan gas metana yang merupakan hasil residu sampah di TPA sebagai energi alternatif untuk masyarakat sekitar lokasi TPA.
Hasilnya?
Kini, sepanjang jalan menuju lokasi TPA akan dijumpai pipa yang terulur panjang ke rumah-rumah penduduk. Setidaknya ada sekitar 200 KK yang memanfaatkan gas metana dari TPA Talangagung sebagai bahan bakar untuk aktifitas rumah tangga.