Mohon tunggu...
Sofie Meilinda
Sofie Meilinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Lemahnya Hukum dan Keadilan di Hadapan Uang dan Kekuasaan

26 Desember 2022   15:28 Diperbarui: 26 Desember 2022   16:02 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo terhadap Brigadir Joshua membuat kepercayaan publik menurun kepada aparat penegak hukum terutama Polri. Selama proses penyidikan kasus ini, terungkap pula kasus-kasus kejahatan lain yang dilakukan Ferdy Sambo. Kasus-kasus tersebut antara lain, kasus judi online, narkoba, penggelapan dana, dan masih banyak isu yang ber selewengan di tubuh Polri.

Baru terungkapnya kasus-kasus Sambo setelah kasus pembunuhan ini menggambarkan seperti adanya perlindungan hukum secara khusus kepada aparat pemerintahan. Bagaimana tidak, kasus yang sudah sejak lama dilakukan ini baru terungkap sekarang. Mungkin jika tidak ada kasus pembunuhan yang dilakukan, kasus-kasus kejahatan tersebut tidak akan terungkap. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan Sambo tentunya sangat merugikan publik, tetapi seperti disepelekan oleh penegak hukum.

Keputusan Polri untuk tidak menahan salah satu tersangka dalam kasus pembunuhan ini, yaitu Putri Candrawathi yang merupakan istri dari Ferdy Sambo juga menjadi sorotan publik. Polri mengatakan hal tersebut dilakukan dengan alasan kesehatan, kemanusiaan dan karena masih memiliki balita.

Berbeda nasib dengan Putri Candrawathi, diluar sana terdapat lebih dari 1 kasus dimana seorang ibu tetap ditahan meski mempunyai anak kecil. Salah satunya yaitu kasus yang menimpa Rismaya. Rismaya merupakan tersangka kasus pencurian emas. Hal tersebut nekat ia lakukan karena masalah ekonomi yang dialaminya. Rismaya ditahan bersama bayinya yang berusia 10 bulan lantaran masih membutuhkan ASI.

Dari kedua kasus diatas dapat terlihat bahwa Putri maupun Rismaya sama-sama merupakan seorang ibu yang mempunyai anak kecil. Namun, mereka mendapat perlakuan yang berbeda. Rismaya tetap ditahan meskipun ia mempunyai seorang balita yang menyebabkan balita tersebut harus ikut mendekam di penjara. Sedangkan Putri masih bisa bersama anaknya, dalam suasana yang lebih nyaman. Perbedaan hukuman yang diberikan tersebut secara tidak langsung menggambarkan supremasi hukum yang lemah.

Fenomena tersebut mendapat respons yang negatif dari masyarakat. Banyak yang meminta agar Putri juga ditahan. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, Polri resmi menahan Putri Candrawathi pada Jum'at, 30 September 2022 di rutan Mabes Polri. Penahanan Putri Candrawathi pun banyak diapresiasi oleh masyarakat lantaran sebagai bukti bahwa masih adanya keadilan yang dijunjung dalam proses penegakkan hukum oleh Polri.

Seruan untuk menegakan hukum dan keadilan terdengar dari seluruh penjuru daerah. Namun sepertinya itu masih menjadi sebuah slogan yang tidak kunjung terealisasikan.

Pemerintah terkesan mendengarkan dan dapat menampung aspirasi-aspirasi dari masyarakat, namun pada kenyataannya mereka menutup telinga akan hal itu. Mungkin tidak semua aparat pemerintah yang menutup telinga akan hal ini, tetapi kebanyakan dari mereka melakukannya.

Kekuasaan yang dimiliki membuat mereka bebas melakukan apapun yang dapat memberikan keuntungan untuk pribadi. Tidak memperdulikan soal keadilan, yang terpenting apa yang mereka mau bisa mereka dapatkan. Janji-janji yang sebelumnya mereka tebar, tidak dipenuhi secara utuh. Atau mungkin mereka pura-pura lupa. Pura-pura buta terhadap ketidakadilan yang menyiksa rakyat.

Wewenang yang diberikan justru kebanyakan salah digunakan. Yang seharusnya selalu diingat oleh pemerintah adalah kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, bukan di tangan mereka. Mereka hanyalah wakil-wakil rakyat yang seharusnya menyejahterakan rakyatnya bukan malah menyengsarakan rakyatnya dengan ketidakadilan. Hukum-hukum yang dibuat harusnya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh rakyat dan melindungi hak-hak seluruh warga negara. Bukan hanya hak-hak aparat yang dilindungi.

Keberpihakan hukum ternyata juga hanya dapat dirasakan oleh mereka yang ternyata bukan aparat pemerintahan, tetapi mempunyai harta yang berlimpah. Sejumlah uang yang diberikan ternyata cukup ampuh untuk menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang dilakukan.

Keadilan itu milik semua manusia. Tidak peduli kaya atau miskin, berkuasa atau tidak, hitam atau putih, Jawa, Sunda, Batak, Ambon, atau suku apapun yang dimiliki. Tidak peduli darimana dia berasal, Islam, Kristen ,Katolik, Budha, Hindu, atau Khong Hu Cu kah agamanya. Tidak peduli seberapa tinggi jabatannya, bagaimana latar belakang pendidikannya. Tidak peduli siapa orang tuanya. Tidak peduli apa jenis kelamin dan pekerjaanya.

Sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa hukum lebih tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas itu jelas adanya. Sanksi-sanksi berat hukum hanya ditujukan untuk masyarakat kecil . Hukum bersifat memaksa itu seharusnya berlaku untuk seluruh warga negara. Tetapi pada kenyataannya, hal itu hanyalah berlaku untuk mereka yang tidak berdaya untuk melawannya. Sementara mereka yang berdaya bisa dengan leluasa untuk melakukan apapun untuk melawan hukum.

Kurangnya transparansi hukum yang ada, membuat publik bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya? Apakah ada tujuan tertentu yang ingin dicapai? Karena seperti sedang ada misi khusus yang dijalankan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian menimbulkan adanya persepsi-persepsi buruk publik kepada pemerintah. Persepsi buruk tersebut mungkin saja akan menimbulkan konflik antara publik dan pemerintah yang dapat merugikan keduanya.

Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di tahun 2019 dan digelar di berbagai daerah di Indonesia merupakan salah satu bentuk unjuk rasa yang dilakukan oleh para mahasiswa. Demo tersebut dilakukan karena pada saat itu pemerintah dan DPR secara tiba-tiba ingin mengesahkan RKUHP yang pembahasannya dilakukan secara tidak terbuka. Pembahasan dilakukan tanpa melibatkan publik di dalamnya. Selain itu, terdapat

pasal-pasal bermasalah yang kemudian memancing protes masyarakat. Aksi ini merupakan salah satu dampak yang timbul dari kurangnya transparansi pemerintah kepada masyarakat.

Aksi demo yang dilakukan mahasiswa berujung ricuh dengan aparat keamanan yang menimbulkan banyak sekali kerugian. Melihat kondisi tersebut, Presiden Joko Widodo pada saat itu akhirnya meminta DPR untuk melakukan penundaan pengesahan RKUHP. DPR pun menyetujuinya. Selain karena permintaan presiden, hal tersebut juga dilakukan untuk merevisi pasal-pasal yang kontroversial dan dianggap bermasalah oleh publik.

Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga dilakukan secara mendadak yaitu dalam rapat paripurna DPR tanggal 5 Oktober 2020. Padahal RUU Cipta Kerja ini mendapatkan berbagai respon penolakan dari masyarakat, namun tetap saja di sah kan. Tidak jauh seperti RKUHP, pada RUU Cipta Kerja ini terdapat pasal-pasal yang merugikan masyarakat, terutama bagi para buruh atau pekerja dan menguntungkan bagi para investor. Akibatnya, aksi-aksi mogok kerja pun sempat terjadi pada saat itu.

Pemerintah yang terkesan seperti sedang kejar tayang untuk melakukan pengesahaan RUU Hak Cipta Kerja juga menimbulkan sebuah tanda tanya besar bagi publik. 2020 merupakan tahun dimana kita sedang terpuruk akibat adanya wabah Covid-19 yang menimpa Indonesia. Namun, bukannya fokus terhadap kasus Covid-19, pemerintah terkesan malah sibuk mengesahkan RUU Cipta Kerja tersebut. Apakah itu sengaja dilakukan karena merasa fokus publik saat itu adalah terhadap Covid-19 sehingga dapat menjadi celah yang bagus bagi pemerintah?

Aksi demonstrasi yang terjadi pada tahun 2019 mengenai penolakan sahnya RKUHP menjadi UU kembali terulang di tahun ini. Hal tersebut karena DPR mengatakan bahwa RKUHP akan ditargetkan sah sebelum masa reses, yaitu 15 Desember 2022. Rupanya pengesahan dilakukan lebih cepat dari tanggal yang ditentukan. Pada hari selasa, 6 November 2022, DPR mengetok palu sebagai simbol sahnya RKUHP sebagai bagian dari UU.

Apakah penundaan pengesahan RKUHP selama kurang lebih 3 tahun ternyata benar-benar bertujuan untuk mengkaji kembali isi RKUHP atau hanya sebatas peredam konflik pada saat itu saja? Karena sampai saat ini setelah disahkan, draft final kitab tersebut masih disembunyikan dan belum di publikasi kan. Lalu Bagaimana rakyat bisa setuju, isi final dari kitab tersebut pun apa rakyat tidak tahu.

Pasal-pasal kontroversial di dalam RKUHP juga tidak tahu bagaimana statusnya setelah disahkan. Apakah kemudian diperbaiki sesuai aspirasi rakyat atau tetap dipertahankan karena mengejar sebuah keuntungan. Ini juga yang akhirnya menyebabkan masih terjadinya perdebatan antara rakyat dengan pemerintahan hingga saat ini.

Pasal-pasal yang dianggap kontroversial salah satunya adalah Pasal 218 RKUHP, tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden akan dikenai hukum pidana, minimal 3 tahun dan maksimal 6 tahun. Sama seperti pasal sebelumnya, selanjutnya adalah hukum pidana bagi orang yang menghina lembaga Negara seperti DPR, Kejaksaan, Polri, dan sebagainya. Pasal ini seperti sengaja dibentuk untuk melindungi dan memperluas ruang gerak lembaga negara sehingga mereka bebas melakukan, menetapkan apapun sesuai kepentingan mereka.

Pasal bermasalah selanjutnya adalah hukuman pidana bagi setiap orang yang melakukan demo tanpa pemberitahuan. Aturan ini dibuat seperti untuk membatasi atau bahkan membungkam kebebasan berpendapat. Sangat lucu bukan, ketika negara kita yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, tetapi pada kenyataannya menetapkan aturan yang membatasi kebebasan berpendapat.

Selanjutnya adalah pasal tentang seks di luar nikah dan melarang kohabitasi atau hidup bersama diluar nikah. Diketahui kedua pasal tersebut merupakan perluasan dari pasal perzinahan. Namun, rasanya itu tidak perlu karena untuk negara, itu terlalu bersifat pribadi. Hukum pidana seharusnya fokus terhadap masalah-masalah yang dapat merugikan publik, bukan pribadi.

Yang berikutnya, pasal yang tidak kalah kontroversial dalam RKUHP adalah pasal tentang korupsi. Sanksi-sanksi yang diberikan pada permasalahan korupsi dan suap menyuap mengalami penurunan dibandingkan dengan sanksi di Undang-Undang sebelumnya. Pasal tersebut juga berdampak pada melemahnya KPK dalam memberantas korupsi.

Alih-alih bertujuan untuk melakukan dekolonisasi, beberapa pasal-pasal baru di RKUHP justru dianggap lebih kolonial dan menyiksa rakyat. Pemerintah tidak harus mengabulkan seluruh aspirasi rakyat karena itu memang sulit untuk dilakukan melihat adanya keberagaman di negeri ini.

Hal yang mungkin bisa dilakukan pemerintah adalah selalu melakukan keterbukaan terhadap publik mengenai segala jenis hal yang akan diputuskan. Publik berhak tahu dan mengoreksi kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Baik masyarakat maupun pemerintahan sama-sama memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun