KENAIKAN IURAN BPJS KESEHATAN, SIAPKAH KITA MENYAMBUTNYA?
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 2025 telah menjadi isu hangat yang memancing berbagai reaksi publik. Di tengah tantangan keberlanjutan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), langkah ini diyakini sebagai solusi untuk mengatasi defisit anggaran. Namun, bagaimana dampaknya pada masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah? Apa konsekuensinya jika defisit terus terjadi? Artikel ini akan membahas secara mendalam fenomena ini beserta rekomendasi solutif.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah tonggak penting dalam upaya pemerintah Indonesia menjamin kesehatan masyarakat. Sejak diluncurkan pada 2014, program ini telah menjadi penyelamat bagi jutaan orang yang membutuhkan layanan kesehatan. Namun, di balik keberhasilannya, BPJS Kesehatan menghadapi tantangan besar dalam hal keberlanjutan finansial.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 mengatur bahwa penyesuaian iuran, manfaat, dan tarif pelayanan BPJS Kesehatan akan dilakukan paling lambat pada Juli 2025. Langkah ini mencakup implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) untuk menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3. Penyesuaian iuran tersebut dipandang sebagai kebutuhan mendesak untuk menjaga keberlanjutan layanan.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan bukan sekadar isu teknis, tetapi merupakan keputusan strategis dengan implikasi luas. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan anggaran BPJS Kesehatan dengan kebutuhan layanan yang terus meningkat. Saat ini, iuran untuk peserta mandiri berkisar antara Rp35.000 hingga Rp150.000 per bulan, tergantung kelas. Namun, dengan implementasi KRIS, struktur ini akan berubah.
IURAN BPJS
Penyesuaian iuran juga mempertimbangkan inflasi di sektor kesehatan serta kebutuhan untuk meningkatkan mutu layanan. Namun, tantangan utamanya adalah memastikan kenaikan ini tidak menjadi beban yang terlalu berat bagi masyarakat. Berikut adalah rangkuman iuran BPJS Kesehatan berdasarkan wacana kenaikan 2025 :
- PBI (Peserta Bantuan Iuran):
- Rp42.000 per orang/bulan.
- Dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah untuk masyarakat miskin dan rentan.
- Peserta Mandiri Kelas 3:
- Rp35.000 (subsidi Rp7.000 oleh pemerintah).
- Akan disesuaikan sesuai implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
- Peserta Mandiri Kelas 2:
- Rp100.000 per orang/bulan.
- Sistem kelas akan digabung dalam KRIS dan disesuaikan lebih lanjut.
- Peserta Mandiri Kelas 1:
- Rp150.000 per orang/bulan.
- Akan mengikuti penyesuaian dalam kebijakan KRIS.
- Peserta PPU (Pekerja Penerima Upah):
- 5% dari gaji, dengan batas maksimum gaji Rp12 juta.
- Komposisi pembayaran: 4% ditanggung pemberi kerja, 1% oleh pekerja. Namun, penyesuaian akan tetap mempertimbangkan batas maksimum gaji.
- Peserta PBPU/BP (Peserta Mandiri Non-Kelas):
- Iuran saat ini bervariasi sesuai kelas.
- Penyesuaian akan mengacu pada kemampuan ekonomi peserta dan kebijakan KRIS.
Salah satu penyebab utama kenaikan iuran adalah defisit anggaran yang terus membayangi BPJS Kesehatan. Menurut data, sejak awal operasinya, BPJS Kesehatan hampir setiap tahun mengalami defisit. Pada 2019, defisit mencapai Rp13 triliun, meskipun subsidi pemerintah dan penyesuaian iuran telah dilakukan.
Beberapa faktor menjadi penyebab utama defisit ini. Pertama, terdapat ketidaksesuaian antara pendapatan dari iuran dan biaya pelayanan kesehatan yang dikeluarkan, di mana pengeluaran BPJS jauh melebihi pendapatannya. Kedua, mayoritas peserta aktif BPJS merupakan kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang iurannya ditanggung oleh pemerintah, sehingga tidak memberikan kontribusi langsung terhadap pendapatan BPJS.
Selain itu, inflasi di sektor kesehatan, seperti kenaikan harga obat-obatan, alat kesehatan, dan biaya operasional rumah sakit, terus menambah beban keuangan BPJS. Manajemen operasional yang belum optimal, termasuk kurangnya pengendalian terhadap klaim berlebih, juga turut memperparah defisit ini.
Defisit ini memiliki dampak yang signifikan, salah satunya adalah potensi gagal bayar kepada fasilitas kesehatan. Kasus semacam ini telah terjadi pada 2018-2019, ketika banyak rumah sakit melaporkan keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS, yang berujung pada kekurangan obat dan fasilitas di beberapa rumah sakit. Jika kondisi ini tidak segera diatasi dan berlanjut hingga 2026, dampaknya akan jauh lebih buruk. Rumah sakit mungkin enggan melayani pasien BPJS, mengakibatkan berkurangnya akses masyarakat terhadap layanan kesehatan.
Selain itu, masyarakat akan dipaksa untuk membayar biaya kesehatan secara mandiri, yang dapat membebani keuangan rumah tangga, terutama bagi kelompok ekonomi lemah. Akhirnya, kondisi ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap program JKN sebagai solusi kesehatan nasional.
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kenaikan iuran berpotensi menjadi beban finansial. Saat ini, peserta mandiri kelas 3 hanya membayar Rp35.000 per bulan, dengan subsidi pemerintah sebesar Rp7.000. Namun, implementasi KRIS kemungkinan akan menaikkan biaya ini, meskipun pemerintah berjanji mempertimbangkan kemampuan masyarakat.
Jika BPJS Kesehatan gagal membayar klaim pada 2026, masyarakat akan menghadapi risiko kehilangan akses ke layanan kesehatan terjangkau. Data menunjukkan bahwa lebih dari 220 juta orang telah terdaftar dalam program ini, yang berarti dampaknya akan dirasakan secara luas.
Dalam skenario terburuk, beban kesehatan akan beralih ke masyarakat. Biaya kesehatan yang mahal dapat memicu peningkatan angka kemiskinan, terutama di kalangan pekerja informal dan kelompok rentan.
Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, beberapa langkah solutif dapat diterapkan. Pemerintah perlu memastikan penyesuaian iuran dilakukan secara adil, dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi peserta. Subsidi harus tetap diberikan kepada peserta mandiri kelas bawah untuk menjaga keterjangkauan layanan.
Selain itu, penguatan sistem manajemen menjadi kunci, dengan fokus pada efisiensi operasional melalui digitalisasi proses klaim dan pemantauan layanan untuk menghindari fraud. Transparansi dalam komunikasi kebijakan juga harus ditingkatkan, sehingga masyarakat dapat memahami alasan kenaikan iuran dan tetap mendukung program ini.
Kerja sama dengan sektor swasta, seperti melalui asuransi tambahan atau investasi bersama, dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan pendanaan. Pemerintah juga perlu mendiversifikasi sumber pendanaan, misalnya dengan mengalokasikan pajak dari sektor tertentu seperti cukai rokok untuk mendukung program ini.
Di sisi lain, upaya preventif dan promotif seperti kampanye hidup sehat dan penguatan layanan kesehatan primer harus diprioritaskan untuk mengurangi beban klaim di masa depan.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 2025 adalah langkah penting untuk memastikan keberlanjutan program JKN. Namun, kebijakan ini harus diimbangi dengan pendekatan yang adil, transparan, dan berbasis data. Dengan kolaborasi yang kuat dari seluruh pihak, tantangan ini dapat diatasi untuk menjaga kualitas layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H