Defisit ini memiliki dampak yang signifikan, salah satunya adalah potensi gagal bayar kepada fasilitas kesehatan. Kasus semacam ini telah terjadi pada 2018-2019, ketika banyak rumah sakit melaporkan keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS, yang berujung pada kekurangan obat dan fasilitas di beberapa rumah sakit. Jika kondisi ini tidak segera diatasi dan berlanjut hingga 2026, dampaknya akan jauh lebih buruk. Rumah sakit mungkin enggan melayani pasien BPJS, mengakibatkan berkurangnya akses masyarakat terhadap layanan kesehatan.
Selain itu, masyarakat akan dipaksa untuk membayar biaya kesehatan secara mandiri, yang dapat membebani keuangan rumah tangga, terutama bagi kelompok ekonomi lemah. Akhirnya, kondisi ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap program JKN sebagai solusi kesehatan nasional.
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kenaikan iuran berpotensi menjadi beban finansial. Saat ini, peserta mandiri kelas 3 hanya membayar Rp35.000 per bulan, dengan subsidi pemerintah sebesar Rp7.000. Namun, implementasi KRIS kemungkinan akan menaikkan biaya ini, meskipun pemerintah berjanji mempertimbangkan kemampuan masyarakat.
Jika BPJS Kesehatan gagal membayar klaim pada 2026, masyarakat akan menghadapi risiko kehilangan akses ke layanan kesehatan terjangkau. Data menunjukkan bahwa lebih dari 220 juta orang telah terdaftar dalam program ini, yang berarti dampaknya akan dirasakan secara luas.
Dalam skenario terburuk, beban kesehatan akan beralih ke masyarakat. Biaya kesehatan yang mahal dapat memicu peningkatan angka kemiskinan, terutama di kalangan pekerja informal dan kelompok rentan.
Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, beberapa langkah solutif dapat diterapkan. Pemerintah perlu memastikan penyesuaian iuran dilakukan secara adil, dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi peserta. Subsidi harus tetap diberikan kepada peserta mandiri kelas bawah untuk menjaga keterjangkauan layanan.
Selain itu, penguatan sistem manajemen menjadi kunci, dengan fokus pada efisiensi operasional melalui digitalisasi proses klaim dan pemantauan layanan untuk menghindari fraud. Transparansi dalam komunikasi kebijakan juga harus ditingkatkan, sehingga masyarakat dapat memahami alasan kenaikan iuran dan tetap mendukung program ini.
Kerja sama dengan sektor swasta, seperti melalui asuransi tambahan atau investasi bersama, dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan pendanaan. Pemerintah juga perlu mendiversifikasi sumber pendanaan, misalnya dengan mengalokasikan pajak dari sektor tertentu seperti cukai rokok untuk mendukung program ini.
Di sisi lain, upaya preventif dan promotif seperti kampanye hidup sehat dan penguatan layanan kesehatan primer harus diprioritaskan untuk mengurangi beban klaim di masa depan.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 2025 adalah langkah penting untuk memastikan keberlanjutan program JKN. Namun, kebijakan ini harus diimbangi dengan pendekatan yang adil, transparan, dan berbasis data. Dengan kolaborasi yang kuat dari seluruh pihak, tantangan ini dapat diatasi untuk menjaga kualitas layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Â