Nobody realizes that some people expend tremendous energy merely to be normal. –albert camus
Pernahkah anda menonton film 'inception' karya Christopher Nolan? Dalam film tersebut terdapat seorang tokoh wanita bernama Mal Cobb. Ia dan suaminya seringkali pergi ke alam mimpi hingga pada akhirnya ia tidak dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang mimpi. Ia merasa bahwa ia tinggal dalam alam mimpi dan merasa lingkungan sekitarnya tidak nyata.
Film tersebut memanglah sebuah film fiksi, namun tahukah anda, ternyata di dunia ini memang ada gangguan mental serupa? Â Gangguan mental tersebut biasa dikenal dengan nama depersonalization disorder atau gangguan depersonalisasi. Lalu, apa sebenarnya depersonalization disorder itu? Apa penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya? Penasaran? Mari kita simak jawabannya berikut ini!
Apa itu depersonalization disorder?
Menurut World Health Organization (WHO) depersonalization disorder (DPD) atau gangguan depersonalisasi di mana penderita mengeluh bahwa aktivitas mental, tubuh, dan / atau lingkungannya berubah dalam kualitasnya, sehingga menjadi tidak nyata, jauh, atau terotomatisasi. Hal tersebut terjadi pada diri sendiri (depersonalisasi) dan lingkungan (derealization).
Penderita gangguan ini kerap merasa mampu mengamati diri sendiri dari luar tubuh atau merasa bahwa lingkungan sekitar tidaklah nyata, atau bahkan keduanya. Menurut penelitian, gangguan ini biasanya dimulai pada rentang usia 15-30 tahun dan jarang ditemukan pada usia di atas 40 tahun.Â
Gangguan ini juga berpotensi lebih besar terjadi pada orang yang memiliki pengalaman traumatis atau setelah mengalami stress berat, seperti kecelakaan atau situasi yang berbahaya.
Apa penyebab dari DPD?
Sangat disayangkan, penyebab utama depersonalization disorder belum bisa ditentukan. Seperti gangguan disosiatif lainnya, gangguan depersonalisasi sering dipicu oleh stres hebat atau peristiwa traumatis yang dialami atau disaksikan oleh orang tersebut.
Misalnya, perang, pelecehan, kecelakaan, bencana, atau kekerasan ekstrem . Selain itu, gangguan ini juga dapat dihubungkan dengan ketidakseimbangan pembawa pesan kimia otak tertentu (neurotransmitter).
Dalam beberapa kasus lainnya, gangguan ini muncul dengan sendiriya tanpa sebab yang jelas, meskipun terkadang dipicu oleh rasa takut akan depersonalisasi. Sedangkan pada kasus depersonalisasi sementara yang terjadi pada individu sehat, psikiater ternama, Noyes dan Keltti, menyebutkan bahwa hal tersebut dapat terjadi jika seseorang kelelahan, selama atau setelah keracunan alkohol atau obat-obatan, dan dalam situasi bahaya serius.
Kenali Gejala DPD
"....saya ingin konsultasi mengenai permasalahan yang saya hadapi yang sudah bertahun tahun saya alami, dari sejak saya kelas 1 sma, sampai saya mengalami gangguan depersonalisasi, dimana gejala yang paling saya rasakan adalah saya seperti tidak bisa mengatur bicara atau kata atau kalimat saya, perasaan saya datar, saya seperti tidak punya kepribadian apapun, saya miskin ide, prestasi saya menurun, susah konsentrasi, dan semenjak saya terkena depersonalisasi ini saya banyak menghindar dari sahabat dan teman saya, setiap ada teman yang chat saya saya tidakpernah atau jarang membalasnya. Bukannya saya sombong, karena ketika saya berbicara dengan sesorang saya merasa tidak terhubung..."
Kutipan curhatan di atas adalah nyata dari seorang pengidap DPD. Bukan hanya merasa dapat mengamati diri sendiri dari luar tubuh, namun pengidap DPD juga mengalami mati rasa dalam menanggapi respon, sehingga merasa hidup dalam mimpi atau film.
Lalu, biasanya mereka memiliki sensasi bahwa tidak dapat mengendalikan tindakan, termasuk berbicara. Menurut mereka, kesadaran hanyalah perasaan, bukan realitas.
Apakah DPD bisa diobati?
Anda mungkin berpikir gangguan ini sangat mengerikan dan bertanya-tanya apakah ada terapi atau pengobatannya?
Faktanya, kebanyakan orang dengan gangguan depersonalisasi merasa tidak sadar bahwa mereka mengalami gangguan tersebut. Sehingga, gejala DPD akan hilang dengan sendirinya.
Namun, pengobatan diperlukan jika gangguan ini berlangsung lama, berulang, dan mengganggu aktivitas sosial. Beberapa pengobatan gangguan depersonalisasi –dilansir dari situs pusat edukasi medis di Minnesota, Mayo Clinic – antara lain:
- Psikoterapi. Pengobatan ini menggunakan teknik psikologis yang dirancang untuk membantu seseorang mengenali dan mengomunikasikan pikiran dan perasaan mereka dengan lebih baik
- Penggunaan obat-obatan juga dapat dijadikan alternatif pengobatan., meskipun sangat jarang digunakan. Obat-obatan yang digunakan biasanya obat antidepresan dan antipsikotik yang dikenal ampuh membantu pemikiran dan persepsi yang kacau terkait dengan depersonalisasi
- Terapi keluarga dapat diaplikasikan sebagai pengobatan dengan cara memberitahu tentang gangguan dan penyebab gangguan, serta membantu anggota keluarga mengenali gejala-gejala kekambuhan.
- Terapi kreatif juga menjadi pilihan pengobatan. Terapi ini memungkinkan pengidap untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan cara yang aman dan kreatif, lho!
Sedikit tips agar terhindar dari DPD, yaitu sebaiknya setiap kita mengalami stress berat segera menanganinya, semisal berkonsultasi dengan psikolog atau hal lainnya yang mampu meringankan beban kita.
Nah, seperti itu kira-kira gambaran mengenai depersonalization disorder. Mari jaga kesehatan mental kita! Semoga bermanfaat:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H