Mohon tunggu...
Sofian Sauri
Sofian Sauri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa STAIA Syubbanul Wathon Magelang prodi Manajemen Pendidikan Islam. "Bacalah untuk hari esok, menulislah untuk keabadian."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemuda yang Terseok-seok

1 Juni 2020   08:09 Diperbarui: 1 Juni 2020   08:33 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
@sofiansauriga | dokpri

Angin berhembus menyapu sisa-sisa kabut malam yang ingin menunjukkan rembulan bersinar sempurna sebelum tergantikan oleh rekah sang fajar, inilah suasana yang dinanti. Pertanda waktu mustajab untuk bermunajat kepada sang Maha Pencipta telah tiba, berbahagialah jiwa manusia andai bisa merasakan nikmat dari kelezatan-kelezatan buah semaian iman sejak pertama kali meyakini adanya Dzat yang Maha suci disaat-saat tersebut.Jiwanya selalu menilai pada setiap ibadah yang dikerjakan, "kali ini buahnya lebih nikmat dari buah sebelumnya, bahkan kenikmatan ini harus dirayakan semeriah mungkin, sebab untuk penanda dari yang lain, supaya tersemat dalam benak dengan sempurna sehingga menjadi tolak ukur ibadah selanjutnya, " ucapnya dalam hati.

Berpijak kesana kemari diatas ambisi ibadah yang mengantarkan ke puncak gunung pujian tertinggi, kini namanya masyhur di pesantren dimana ia belajar agama, tak seorangpun tidak menyertakan nama santri tersebut ketika orang-orang pesantren membicarakan perihal ibadah, balutan nafsu menyelimuti sisi manusianya , sepintas indah dipandang namun ternyata tak lain adalah kesombongan yang terpoles. 

Tibalah malam yang sudah dinanti-nanti, pemuda itu duduk diserambi masjid, kali ini mulai bermunajat lebih awal dari malam-malam yang lain sebab malam jumat punya daya magis tersendiri, sambil menunggu jarum jam menunjukkan pukul 00.00 WIB. Ia keluarkan slepen (tempat tembakau) dari saku baju koko yang dikenakan, membukanya dengan perlahan lalu membuat satu batang rokok hasil racikan sesuai selera, sembari memantik api dengan korek zippo bergambar guratan wajah seorang Kyai dan menyambarkannya ke ujung batang rokok, sebatan pertama keluarlah asap putih melalui celah kedua bibir, membentuk kepulan menyerupai seperti bentuk donat namun tanpa meses diatas, pandangan mengarah ke timur menangkap sebuah bangunan asrama terlihat mengelilingi masjid dengan sepasang matanya,  beberapa lampu kamar  masih menyala terang, sebagian besar sudah padam menunjukkan penghuni kamar tersebut sedang mengistirahatkan tubuhnya.

Seorang lelaki tua berkopiah mendekat kearah pintu gerbang masjid, berhenti sejenak melepas sandal tepat didepan anak tangga serambi yang terdapat tulisan "Batas suci".

"Kau rupanya. Sudah dari tadi?," sapa seorang lelaki tua tersebut.
"Iya Kyai, aku selalu kesini lebih awal dari santri yang ada dipesantren ini, aku tak ingin ada yang mendahului ibadah malamku," tegas seorang santri dengan membanggakan diri .
"Sudah tak heran lagi, karena semua santri-santri  pun akan sependapat dengan ku"

Jarum jam menunjukkan pukul 00.00 WIB, segera membereskan puntung rokonya dan beranjak ke dalam masjid untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah serta munajat hingga menjelang adzan subuh.

Matahari terbit setinggi tombak, seorang perempuan paruh baya datang ke pesantren untuk menjenguk putranya yang mondok di pesantren tersebut, menenteng kantong plastik dikedua tangannya yang berisi kebutuhan untuk membersihkan diri dan beberapa bungkus aneka makanan ringan, menuju kamar putranya melongok kedalam melalui pintu kamar ternyata tidak ada satu pun anak di kamar tersebut, ia ingat bahwa hari jumat adalah hari dimana anak-anak pesantren libur belajar, "anak ku rupanya masih bermain sepak bola dilapangan, seperti yang biasa ia lakukan setiap hari libur kegiatan belajar pesantren" ku tunggu saja disini," ujar perempuan paruh baya. Kemudian perempuan itu meletakkan barang yang ia tenteng, diatas bangku depan kamar putranya, duduk termangu sesekali mengeluarkan gawainya, untuk membuka pesan yang baru masuk melalui aplikasi WhatsAppnya.

Dari kejauhan melihat seorang anak laki-laki mengenakan sarung dan kaos putih lengan panjang ditangannya membawa bola sambil dimainkan dengan ujung jari telunjuk, berkali kali diputar.

"sepertinya itu anakku, Farhan kemarilah nak," Panggil perempuan itu.

"Ya Bu," Jawab Farhan bergegas lari ke arah Ibunya.

"Ibuk sudah lama menunggu Farhan?"

"Baru sekitar lima belas menit yang lalu Farhan"

"Kamu sehat nak?"

"Alhamdulillah, sehat Buk"

"Han, Libur yang akan datang pulang ya nak, setelah tujuh hari kepergiannya kau belum ke makam Bapak mu, ia pasti menanti dan rindu dengan hadiah Fatihah dari atas sana"

"Untuk saat ini aku sedang sibuk dengan tanggungan amalan-amalan ibadahku, nanti aku kabari kalo aku sudah tidak sibuk lagi Buk," Jawab Farhan yang rupanya perkataan itu menyayat hati Ibunya.

"Ayahmu membesarkan kau dengan penuh kasih sayang, namun kau mengunjungi makamnya saja tak pernah, sebentar lagi bulan ramadhan usahakan sesekali sebelum ramadhan tiba kau ziarahi makam Bapak mu."

Farhan tetap kekeh dengan amalan-amalan ibadahnya, ziarah ke makam Bapaknya ia kesampingkan padahal sudah memasuki hari ke sepuluh bulan ramadhan, pada kuliah subuh Kyai pengasuh pesantren menyampaikan kajian tentang Birrulwalidain.
Tepat pada isi materinya yang dituturkan, "bahwasanya ketika seorang anak rajin beribadah namun ia tidak menghormati orang tuanya, maka ia ibarat seperti orang yang terseok-seok", seketika tatapan Farhan kosong, pikirannya tidak karuan, ajakan ibunya untuk ziarah ke makam bapaknya tiba-tiba berubah menjadi suara yang berkali-kali menghampiri telinga, tubuh melemas seperti habis dicambuk dengan sangat keras.
Tetesan air mata yang tak henti-henti membanjiri wajah yang mendadak pucat pasi menambah rasa sakit yang terus berkecamuk. Lisan tak lagi kuasa berkata-kata, semua hanya mampu diutarakan dalam hati yang bergejolak.

"Ya Tuhan aku menyesali semua ibadah-ibadah ku, yang telah aku puji setinggi-tingginya, semua tidaklah berarti dihadapan-Mu, sebab aku tidak menghormati orang tuaku, kini jiwaku terseok-seok tak berdaya"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun