Fungsi gong atau goong dalam istilah Sunda sangat menonjol terutama dalam peran pembukaan dan penutupan lagu-lagu yang diiringi gamelan tradisonal. Sementara menurut catatan sejarah, gong juga digunakan sebagai simbol kekuasaan oleh Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Gong sering ditempatkan di tempat-tempat suci seperti candi, pura maupun keraton. Selain itu gong juga digunakan sebagai alat komunikasi dalam sistem penyebaran informasi di masyarakat pada masa lalu. Suara gong yang khas digunakan untuk mengumumkan berbagai kegiatan penting seperti kegiatan perdagangan, peringatan bencana, dan upacara keagamaan. (https://chord.or.id/Nanang Ali , Juli 10, 2023).
Zaman selalu berganti zaman, fungsi gong pun banyak tergantikan oleh beragam festivalisasi dan dinamisasi berbagai bentuk bunyi-bunyian dan atau suara-suara terutama sejak terjadi dominasi teknologi ultra modern dan kebebasan berekspresi secara liberal, baik ditingkat nasional, regional maupun global.
Seni musik apa pun selalu menjadi bagian integral tidak terpisahkan dari masyarakat pada zamannya. Sebagai seni musik, lagu Ayang-ayang gung adalah hiburan sekaligus pendidikan politik sosial kemasyarakatan, yang mengingatkan kita akan pentingnya norma-norma etika dalam meraih kedudukan dan kekuasaan secara bermartabat. Bukan dengan cara-cara menghalalkan segala cara, yang merusak moral dan harga diri para penguasa pada khususnya dan bangsa pada umumnya.
Nalar akal sehat kita juga tidak jarang tergiring dan terjebak oleh pesan-pesan menyesatkan. Sudah banyak yang terkecoh oleh perkataan, tindakan dan perilaku para influencer yang konon dibayar besar dalam mengelola dan menyebarluaskan beragam pesan tidak jujur dan penuh tipu muslihat.
Berbagai tampilan di media jagat maya yang didukung teknologi digital supra modern berbasis AI, dewasa ini telah banyak menghasilkan seni musik dengan rupa, suara, gerak-gerik, postur dan gentur yang hampir identik dengan karakteristik kehidupan manusia sesungguhnya. Rawan akan penyalahgunaan untuk memengaruhi sasaran lawan dalam berbagai aktivitas relasi sosial, termasuk dalam relasi beracun (toxic relationship ) politik kebangsaan secara umum. Tidak terkecuali dalam tindak tanduk upaya membangun relasi untuk meraih berbagai jenis tingkatan jabatan dan kekuasaan dalam berbagai institusi.
Struktur jabatan dalam suatu institusi apa pun adalah tingkatan status yang secara berjenjang mempunyai kekuasan spesifik tertentu, sesuai ketentuan regulasi yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang atau lembaga yang memiliki kewenangan untuk hal tersebut. Dalam segala bentuk dan tingkat kekuasaan yang melekat, secara normatif pada dasarnya adalah sebagai upaya mengatur , membina, mengawasi dan mengendalikan berbagai sumber daya bagi kepentingan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, termasuk kepentingan penguasa sendiri.
Namun kekuasaan yang didominasi sangat kuat oleh kepentingan seseorang atau kelompok orang tertentu cenderung akan menghalalkan segala cara, baik dalam proses perolehan maupun ketika menjalankan kekuasaannya. Secara ekstrim Lord Acton menegaskan: “Power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely” ( Smithsosnian magazine Christoper Shea, Oktober 2012).
Tidaklah mengherankan, kedudukan berbagai jabatan, apalagi jabatan strategis dengan kekuasaan besar yang melekat didalamnya, potensial menjadi incaran banyak orang dan atau kelompok orang yang memiliki kekuatan besar pula untuk berupaya keras dalam meraih berbagai peluang keuntungan materi dan fasilitas yang disediakan oleh kedudukan dan kekuasaannya, bagi dirinya dan bahkan keluarga serta kroni-kroninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H