Mohon tunggu...
Sofiandy Zakaria
Sofiandy Zakaria Mohon Tunggu... Dosen - Pensiunan PNS Badan Pengembangan SDM Dep. KIMPRASWIL/ Dep. PU. Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP-UMJ 1989-2022. Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta 2007-2022

Menulis ,Olah raga berenang dan jalan kaki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Semarak Ayang-ayang Gung

15 Oktober 2023   09:00 Diperbarui: 19 Oktober 2023   06:15 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semarak  Ayang-ayang gung

“Ayang-ayang gung” adalah salah satu lagu permainan anak-anak tempo dulu khas Jawa Barat. Yang biasa dinyanyikan mereka dengan suka cita ketika cuaca cerah di sore hari. Juga di pagi dan sore hari di pelataran rumah atau di tanah lapang, ketika anak-anak libur sekolah. Lagu tersebut biasa dinyanyikan oleh anak-anak laki-laki dan atau perempuan di perkampungan tatar Sunda.

Lirik lagu bahasa Sunda ini  bermuatan pesan keprihatinan sekaligus kritik sosial politis pada zamannya. Seperti lagu-lagu permainan atau lagu dolanan pada umumnya, lagu  permainan Ayang-ayang gung khas alami anak-anak yang dinyanyikan dalam pergaulan sehari-hari di dunia nyata, nyaris atau bisa jadi sudah tidak ada lagi. Lagu tersebut tergolong  lagu lawas tempo dulu. Sementara jenis lagu permainan anak-anak sekarang sudah  didominasi oleh lagu-lagu mutakhir dalam berbagai jenis genre atau ragam , baik di dunia nyata maupun  jagat maya.

Popularitas lagu dolanan anak-anak masa lalu tersebut, bisa saja sudah sirna, namun makna nilai etika dan budi pekerti luhur  juga filosofi yang melekat dalam jenis lagu demikian itu tetap hidup.  Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak akan berubah. Secara kontekstual tetap langgeng karena ada relevansi dengan perkembangan kehidupan manusia yang tidak pernah lepas dari kepentingan personal dan sosial kapan pun dalam meraih berbagai jabatan dan kekuasaan.

Lagu “Ayang-ayang gung” lebih dikenal sebagai genre lagu satire bernada ceria, yang menggambarkan kedekatan, keeratan dan keikatan hubungan kepentingan seseorang dengan penguasa dalam menempuh berbagai cara agar bisa menjadi  pejabat. Yang dimaksud penguasa yang digambarkan dalam lagu tersebut adalah kompeni. Dalam KBBI pengertian kompeni ialah pemerintah Belanda zaman penjajahan di Nusantara pada pertengahan abad ke-17 sampai dengan awal abad ke-19.

Para pejabat yang diangkat oleh kaum penjajah Belanda ketika itu  dianggap sebagai penguasa yang berpihak dan mau bekerja sama dengan kepentingan penjajah, yang dibenci oleh masyarakat kebanyakan dan  dianggap sebagai penghianat bangsa. Pejabat-pejabat yang dingkat oleh penjajah,  konon umumnya menunjukkan penampilan dan sikap angkuh, pongah, ingin selalu dihormati dan dipuji-puji  oleh masyarakat, serta sangat menjaga jarak, terutama dengan pribumi kalangan bawah. Sebaliknya kepada atasan mereka bersikap sebagai penjilat, sangat hormat dan patuh tanpa reserve atas segala perintah apa pun.

Kalau sudah duduk ?! lupa berdiri.

Kekuasaan beserta kewenangan yang melekat dalam berbagai jabatan, di institusi apa pun pada dasarnya adalah kepentingan sekaligus kebutuhan universal kehidupan manusia lintas budaya. Sejatinya bukan hanya terkait dengan kepentingan dan kebutuhan individual tapi juga sangat banyak sangkut paut dengan kesejahteraan hajat hidup masyarakat di bawah kekuasaannya. Dewasa ini dalam proses upaya untuk  meraih  sesuatu kedudukan dan kekuasaan, biasanya kepentingan dan kebutuhan masyarakat selalu menjadi tema sentral kampanye politik, untuk menarik perhatian calon atau para pendukungnya. Namun kalau sudah berhasil menjadi penguasa, seseorang atau kelompok orang yang terlibat dalam perebutan kedudukan dan kekuasaan seringkali lupa akan janji-janji yang  dikampanyekannya.  Tayangan kocak tag line atau slogan citra ( kamus Istilah Periklanan Indonesia, PT Gramedia Jakarta, Oktober 1996 ) dalam iklan perusahaan furniture lokal, yang sangat terkenal di tahun 90-an menyindir tajam mengenai  fenomena yang terjadi dalam masyarakat: “Kalau sudah duduk ?! lupa berdiri”.

Pesta Demokrasi.

Rangakaian acara ketika menjelang dan pelaksanaan Pemilu legislatif dan atau eksekutif seringkali dianalogkan dengan suatu pesta demokrasi. Layaknya suatu pesta pada umumnya, peristiwa tersebut diselenggarakan secara meriah untuk menarik perhatian dan menghibur kedatangan para tamu. Pesta pun akan terkesan lebih semarak , jika menggalang keterlibatan dan dukungan  para artis dan kelompok pemusik yang sejalan dengan pikiran dan kondisi emosi segmen masyarakat atau penggemarnya.

Sebelum merebak kelompok musik modern, pesta yang diiringi musik gamelan tradisional  tentu sangat mendominasi berbagai acara pesta masyarakat tempo dulu. Dalam musik tradisional pun, keragaman nada gamelan mencerminkan kondisi-kondisi pada zamannya. Lagu Ayang-ayang gung mencerminkan keadaan masyarakat pada zamannya dan memiliki relevansi nilai-nilai norma etika dan kebenaran dalam perkembangan  masyarakat sekarang atau yang akan datang dimana pun dan kapan pun.

Fungsi gong atau goong dalam istilah Sunda sangat menonjol terutama dalam peran pembukaan dan penutupan lagu-lagu yang diiringi gamelan tradisonal. Sementara menurut catatan sejarah, gong juga digunakan sebagai simbol kekuasaan oleh Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Gong sering ditempatkan di tempat-tempat suci seperti candi, pura maupun keraton. Selain itu gong juga digunakan sebagai alat komunikasi dalam sistem penyebaran informasi di masyarakat pada masa lalu. Suara gong yang khas digunakan untuk mengumumkan berbagai kegiatan penting seperti kegiatan perdagangan, peringatan bencana, dan upacara keagamaan. (https://chord.or.id/Nanang Ali , Juli 10, 2023).

Zaman selalu berganti zaman, fungsi gong pun banyak tergantikan oleh beragam festivalisasi dan dinamisasi berbagai bentuk bunyi-bunyian dan atau suara-suara terutama sejak terjadi dominasi teknologi ultra modern dan kebebasan berekspresi secara liberal, baik ditingkat nasional, regional maupun global.

Seni musik apa pun selalu menjadi bagian integral tidak terpisahkan dari masyarakat pada zamannya. Sebagai seni musik, lagu Ayang-ayang gung adalah hiburan sekaligus pendidikan politik sosial kemasyarakatan, yang mengingatkan kita akan pentingnya norma-norma etika dalam meraih kedudukan dan kekuasaan secara bermartabat. Bukan dengan cara-cara menghalalkan segala cara, yang merusak moral dan  harga diri para penguasa pada khususnya dan bangsa pada umumnya.

Nalar akal sehat kita juga tidak jarang tergiring dan terjebak  oleh pesan-pesan menyesatkan. Sudah banyak yang terkecoh oleh perkataan, tindakan dan perilaku para influencer  yang konon dibayar besar dalam mengelola dan menyebarluaskan beragam pesan tidak jujur dan penuh tipu muslihat.

Berbagai tampilan di media jagat maya yang didukung teknologi digital supra modern berbasis AI, dewasa ini telah banyak menghasilkan seni musik dengan rupa, suara, gerak-gerik, postur dan gentur yang hampir identik dengan karakteristik kehidupan manusia sesungguhnya. Rawan akan penyalahgunaan untuk memengaruhi sasaran lawan dalam berbagai aktivitas relasi sosial, termasuk dalam relasi beracun (toxic relationship ) politik kebangsaan secara umum. Tidak terkecuali dalam tindak tanduk upaya membangun relasi untuk meraih berbagai jenis tingkatan jabatan dan kekuasaan dalam berbagai institusi.

Struktur jabatan dalam suatu institusi apa pun adalah tingkatan status yang secara berjenjang mempunyai kekuasan  spesifik tertentu, sesuai ketentuan regulasi  yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang atau lembaga yang memiliki kewenangan untuk hal tersebut. Dalam segala bentuk dan tingkat kekuasaan yang melekat, secara normatif pada dasarnya  adalah sebagai upaya mengatur , membina, mengawasi dan mengendalikan berbagai sumber daya  bagi kepentingan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, termasuk kepentingan penguasa sendiri.

Namun kekuasaan yang didominasi sangat kuat oleh kepentingan seseorang atau kelompok orang tertentu cenderung akan menghalalkan segala cara, baik dalam proses perolehan maupun ketika menjalankan kekuasaannya. Secara ekstrim  Lord Acton menegaskan: “Power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely” ( Smithsosnian magazine Christoper Shea, Oktober 2012).

Tidaklah mengherankan, kedudukan berbagai jabatan, apalagi jabatan strategis dengan kekuasaan  besar yang melekat didalamnya, potensial menjadi incaran banyak orang dan atau kelompok orang yang memiliki kekuatan besar pula untuk berupaya keras dalam meraih berbagai peluang keuntungan materi dan fasilitas yang disediakan oleh kedudukan dan kekuasaannya, bagi dirinya dan bahkan keluarga serta kroni-kroninya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun