Termasuk juga kepentingan diri wartawan itu sendiri, terutama kesejahteraan, keamanan dan keselamatan jiwa raganya. Dalam situasi demikian, wartawan tidak jarang berada di persimpangan jalan: antara tuntutan normatif dan realita dinamika kehidupan sosial pada umumnya. Banyak kabar, yang secara politis, dan bisnis atau kepentingan lain jelas-jelas menguntungkan: mau tidak mau atau suka tidak suka harus diviralkan.
Sebaliknya tidak sedikit peristiwa yang baik, benar dan bermaslahat terpaksa harus disimpan di benak dokumen individual atau sosial, karena dipandang merugikan bagi kepentingan tertentu.
Banyak alias.
Perkembangan profesi wartawan itu semakin unik dan rumit hingga julukan, sebutan lain atau alias yang disematkan pun cukup banyak: sepertinya paling banyak dibanding dengan profesi lain. Alias yang bernada pujian, sanjungan, penghargaan, bahkan sebutan yang terkesan berlebihan.
Ada pula alias sekadar ungkapan basa basi, sopan santun tatakrama relasi sosial antar pemangku kepentingan dengan wartawan secara khusus dan pers pada umumnya. Banyaknya alias yang ditujukan kepada wartawan itu pertanda, bahwa profesi wartawan memperoleh perhatian, simpati, apresiasi, disegani bahkan ditakuti dan bisa jadi ada juga yang tidak dipercayai.
Perjuangan mulia akan kebebasan dan tanggung jawab serta peran besar wartawan atau pers dalam kehidupan ekonomi, bisnis dan kemasayarakatan secara umum tidak jarang dikotori oleh perilaku wartawan abal-abal dan atau wartawan bukan sungguhan, hingga sering muncul ungkapan yang bernada mencibir, merendahkan, melecehkan bahkan menghina kemuliaan profesinya.
Menurut almarhum Syamsul Mu'arif, ketika beliau mendapat amanah sebagai Menteri Negera Komunikasi dan Informasi di masa kepemimpinan presiden Megawati Soekarnoputri, pernah mengatakan, bahwa “kasus-kasus penyalahgunaan profesi wartawan merupakan salah asatu ekses negatif dari kebebasan pers itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri, perilaku tersebut telah mencemari kebebasan pers dan kredibilitas profesi wartawan”.
Sadar atau tidak, dan diakui atau tidak, dunia wartawan dan pers bukan dunia hitam putih, yang karyanya cuma menghunjam bagai peluru, jarum suntik atau bayonet ke benak pikiran, emosi dan hati pembaca, pendengar atau pemisranya. Bukan pula dunia hitam putih yang harus obyektif dan subyektif, baik dan buruk, salah dan benar.
Atau sekadar menjadi anjing penjaga ( watchdog) yang hanya menyalak atau menggongong kalau ada pencuri. Apalagi wartawan yang memilih diam seribu basa menyaksikan perkembangan hidup dan kehidupan di sekitarnya yang semakin dinamis dan kompleks. Kecuali wartawan atau pers yang ingin tetap sekadar menjadi salah satu pilar demokrasi, atau tiang saja.
Ruh aktivitas wartawan adalah berbicara dan menulis tentang kebaikan dan kebenaran, karena substansi yang baik dari dan bagi siapa pun belum tentu benar. Begitu juga yang benar belum tentu baik. Alih-alih pesan yang baik dan benar pun belum tentu bermanfaat atau bermaslahat.
Itulah kiranya esensi keterbukaan dan kebebasan yang obyektif dan subyektif bagi kepentingan peningkatan kualitas hidup sesama ummat manusia.