Gaung kiprah wartawan media konvensional arus utama (mainstream ), terutama surat kabar, majalah, radio dan televisi di perkotaan , terkesan mulai redup, karena mendapat gempuran dan serangan dahsyat dari kalangan generasi yang sangat cekat, cepat dan gesit, yaitu wartawan-wartawan medsos.
Secara usia, wartawan-wartawan medsos umumnya berasal dari kalangan generasi milenial dan Z, yang banyak menjadi crazy rich atau mungkin juga ada yang tergolong generasi strawberry.
Alamiah kiranya, wartawan media konvensional, banyak yang sudah menjelang tua, bahkan bisa jadi telah memasuki usia kategori sepuh. Mereka adalah campuran generasi Baby boomers dan generasi X. Wartawan-wartawan sepuh umumnya bisa jadi sedang atau sudah mengalami degradasi fisik dan psikologis: lebih memikirkan hal-hal yang lebih jauh dan panjang ke masa depan.
Atau sebaliknya mungkin hanyut akan bayangan kejayaan masa lalu. Dinamika penyesuaian emosi dan tindakan-tindakannya pun cenderung semakin lamban.
Kendati demikian, wartawan-wartawan jadul yang terkesan mulai menurun pengaruhnya bahkan mungkin sudah banyak yang tidak dikenal khalayak luas, ternyata masih banyak pula yang masih eksis dan memiliki jaringan kuat dan luas dengan banyak kalangan pengambil keputusan dan kekuasaan, yang menyentuh sektor kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama.
Wartawan media arus utama dianggap umum identik dengan pers, karena secara kelembagaan satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Wartawan itu adalah ujung tombak pelaksana tugas sekaligus representasi aspirasi dan kebijakan perusahaan pers tempat bekerja para wartawannya. Istilah wartawan dan pers meski kerap digunakan campur aduk, tapi tidak menimbulkan salah paham di antara para penggunanya.
Secara normatif yuridis, Undang-undang pers no. 40 tahun 1999 menggariskan dan menegaskan, bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Kalangan terdidik atau akademisi dan bahkan pemimpin-pemimpin negara sering menyebut fungsi wartawan sebagai pendidik, pembina sekaligus pengontrol akan aktivitas masyarakat, bahkan penjaga perilaku kekuasaan hampir di semua tingkatan dan lingkungan.
Ternyata dalam kenyataan pelaksanaannya, pers tidak hanya sekadar lembaga sosial, tapi sudah jauh berkembang menjadi lembaga bisnis yang padat teknologi dan modal juga padat karya dari berbagai kalangan yang begitu heterogen. Terlebih lagi setelah komunikasi massa mutakhir, banyak menggunakan perangkat keras dan lunak teknologi digital.
Pekerjaan wartawan itu menjadi semakin unik. Bukan hanya sekadar mencari data dan informasi, tapi juga merangkai dan menyampaikan semua data yang diperolehnya menjadi informasi yang harus menarik, baik dan benar serta bermanfaat untuk khalayak yang membutuhkan. Selain itu, proses pekerjaannya pun menuntut banyak pertimbangan yang terkait dengan beragam kepentingan dan kebutuhan.
Bukan hanya kepentingan dan kebutuhan hajat hidup orang banyak saja, tapi juga kepentingan dan tuntutan pihak-pihak lain. Termasuk kepentingan para penguasa dan pengusaha di internal dan ekternal industri media.
Termasuk juga kepentingan diri wartawan itu sendiri, terutama kesejahteraan, keamanan dan keselamatan jiwa raganya. Dalam situasi demikian, wartawan tidak jarang berada di persimpangan jalan: antara tuntutan normatif dan realita dinamika kehidupan sosial pada umumnya. Banyak kabar, yang secara politis, dan bisnis atau kepentingan lain jelas-jelas menguntungkan: mau tidak mau atau suka tidak suka harus diviralkan.
Sebaliknya tidak sedikit peristiwa yang baik, benar dan bermaslahat terpaksa harus disimpan di benak dokumen individual atau sosial, karena dipandang merugikan bagi kepentingan tertentu.
Banyak alias.
Perkembangan profesi wartawan itu semakin unik dan rumit hingga julukan, sebutan lain atau alias yang disematkan pun cukup banyak: sepertinya paling banyak dibanding dengan profesi lain. Alias yang bernada pujian, sanjungan, penghargaan, bahkan sebutan yang terkesan berlebihan.
Ada pula alias sekadar ungkapan basa basi, sopan santun tatakrama relasi sosial antar pemangku kepentingan dengan wartawan secara khusus dan pers pada umumnya. Banyaknya alias yang ditujukan kepada wartawan itu pertanda, bahwa profesi wartawan memperoleh perhatian, simpati, apresiasi, disegani bahkan ditakuti dan bisa jadi ada juga yang tidak dipercayai.
Perjuangan mulia akan kebebasan dan tanggung jawab serta peran besar wartawan atau pers dalam kehidupan ekonomi, bisnis dan kemasayarakatan secara umum tidak jarang dikotori oleh perilaku wartawan abal-abal dan atau wartawan bukan sungguhan, hingga sering muncul ungkapan yang bernada mencibir, merendahkan, melecehkan bahkan menghina kemuliaan profesinya.
Menurut almarhum Syamsul Mu'arif, ketika beliau mendapat amanah sebagai Menteri Negera Komunikasi dan Informasi di masa kepemimpinan presiden Megawati Soekarnoputri, pernah mengatakan, bahwa “kasus-kasus penyalahgunaan profesi wartawan merupakan salah asatu ekses negatif dari kebebasan pers itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri, perilaku tersebut telah mencemari kebebasan pers dan kredibilitas profesi wartawan”.
Sadar atau tidak, dan diakui atau tidak, dunia wartawan dan pers bukan dunia hitam putih, yang karyanya cuma menghunjam bagai peluru, jarum suntik atau bayonet ke benak pikiran, emosi dan hati pembaca, pendengar atau pemisranya. Bukan pula dunia hitam putih yang harus obyektif dan subyektif, baik dan buruk, salah dan benar.
Atau sekadar menjadi anjing penjaga ( watchdog) yang hanya menyalak atau menggongong kalau ada pencuri. Apalagi wartawan yang memilih diam seribu basa menyaksikan perkembangan hidup dan kehidupan di sekitarnya yang semakin dinamis dan kompleks. Kecuali wartawan atau pers yang ingin tetap sekadar menjadi salah satu pilar demokrasi, atau tiang saja.
Ruh aktivitas wartawan adalah berbicara dan menulis tentang kebaikan dan kebenaran, karena substansi yang baik dari dan bagi siapa pun belum tentu benar. Begitu juga yang benar belum tentu baik. Alih-alih pesan yang baik dan benar pun belum tentu bermanfaat atau bermaslahat.
Itulah kiranya esensi keterbukaan dan kebebasan yang obyektif dan subyektif bagi kepentingan peningkatan kualitas hidup sesama ummat manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI