Mohon tunggu...
Sofiah Rohul
Sofiah Rohul Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Holla Before doing something, do something different

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Transmigrasi dan Transparansi Pembangunan Desa

18 Agustus 2023   14:49 Diperbarui: 18 Agustus 2023   14:59 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya pada 12 Februari 1988, warga Kebumen berangkat ke Riau untuk mengikuti program transmigrasi. Ada 99 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa berkisar 500.

Warga yang hendak berangkat, berkumpul terlebih dahulu di daerah Kebumen untuk di data terlebih dahulu. Tujuannya untuk memastikan duduk di bus mana, serta barang bawaannya di mobil truk. "Ada 10 bus, mobilnya lupa wes sue banget soale (mobilnya lupa udah lama sekali soalnya)," ungkapnya lebih lanjut.

Ada anggota keluarga yang pisah bus, dikarenakan kuota bus sudah penuh. "Keluarga Milan," tuturnya.

Bukan perjalanan yang mudah untuk menempuh jarak dari Kebumen ke Riau. Kala itu jalanan belum seperti sekarang. Membutuhkan waktu hingga satu minggu untuk sampai di daeran transmigrasi. Berbeda dengan sekarang, yang bisa tiga hari atau bahkan dalam hitungan jam.

"Rombongan sampai pada 17 hingga 18 Februari 1988, tergantung medan jalannya," tambahnya.

Begitu sampai di Riau di daerah Ujungbatu tepatnya di Simpang Ngaso, arah jalan menuju transmigrasi masih seperti hutan dan jalan belum di aspal "seperti jalan sawah". Lalu, saat di Kotalama, jembatan penyebrangan belum ada. Bus dan truk yang ditumpaki transmigran ini pun harus menyeberangi Sungai Rokan Kiri menggunakan rakit yang di buat dengan kayu-kayu.

Darmin ceritakan, rakit tersebut mirip dengan sampan yang diatasnya papan-papan untuk bus dan truk. Dan dibawahnya untuk orang yang ingin berisitirahat. Namun warga juga tidak harus turun. Rakit tersebut hanya bisa mengangkut dua bus atau truk saja. Itulah yang menyebabkan sampai di kawasan tran tidak sama.

Setelah melewati sungai, rombingan harus melewati medan yang terjal. Dimana kondisi hujan dan jalan yang dasarnya dari tanah merah menyebabkan becek yang tiada terkira. Sehingga kendaraan baik bus dan truk macet. Dan harus di angkat menggunakan kendaraan berat. Itu terjadi di daerah Bukit Juragan, dengan tanjakan yang sangat tinggi kala itu dibanding dengan sekarang.

"Entah kebetulan atau bagaimana, yang jelas sudah ada kendaraan berat saat perjalanan menuju tempat tran," jelasnya.

Akhirnya pada 17 hingga 18 Februari 1988 rombongan sampai di tran, berkumpul di Balai Desa. Rombongan yang sampai pagi hingga siang langsung diberi arahan oleh Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi (KUPT) untuk mencabut undian rumah, sedangkan yang sampai pada sore hingga malam hari harus bermalam di Balai Desa. Sistem cabut undian bersifat umum dan terbuka.

Jadi, sebelum sampai di tran sudah ada petugas, pegawai KUPT dan stafnya, pihak pertanian dan Penyelenggara Keluarga Berencana (PLKB). Selain itu sudah ada warga lokal asal Muara Dilam, Sungai Murai dan Teluksono, disebut rombongan APPDT, dengan jumlah 90 KK. Daerah tran saat itu masih bernama UPT V SKPG Kota Tengah Kabupaten Kampar Riau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun