Maaf, dalam kamus bahasa besar bahasa Indonesia (KBBI) ada tiga jenis diantaranya pembebasan seseorang dari hukuman  (tuntutan, denda, dan sebagainya) karena  suatu kesalahan. Kemudian, kata maaf juga berarti ungkapan permintaan ampun ataupun penyesalan lantaran datang terlambat. Selanjutnya, maaf juga menjadi suatu ungkapan izin untuk melakukan sesuatu.
Dari ketiga jenis maaf di atas, dimanakah yang sering kita lakukan dalam sehari-hari? Apakah karena hukuman, penyesalan, atau izin?
Ya, tentunya setiap orang akan mengucap maaf sesuai dengan porsinya masing-masing dan kesadaran dirinya. Mengucap maaf dan memaafkan juga tidak semudah yang dibayangkan seperti teori bahkan usai mendengar ceramah singkat.
Mengucap maaf dan memaafkan dalam agama dianjurkan sekali. Kendati begitu, kata maaf terkadang disalahartikan dengan dalih pembelaan diri seolah tidak bersalah. Seperti kata "kan aku tadi udah minta maaf. Tuhan aja maha memaafkan loh." Seseorang yang mengucap kalimat itu terkadang tanpa melihat kesalahan yang dibuatnya sehingga masih membekas di dalam hati seseorang.
Dalam hidup penuh dengan salah dan khilaf. Itulah yang menjadikan perlunya ungkapan maaf kepada orang yang merasa telah tersakiti. Kendati begitu, bisakah tidak membuat kesalahan setelah diberi kesempatan. Sebab memaafkan pun tak semudah teori, masih ada luka yang menyita ingatan dan membekas di hati.
Mungkin seseorang telah menerima permintaan maaf. Percaya tidak percaya, meskipun telah memaafkan bagaimanapun dan sampai kapanpun kesalahan itu masih melekat pada diri seseorang yang pernah dilukai ataupun di zolimi.
Tema yang diangkat oleh Kompasiana seolah menyadarkan kita sebagai makhluk berakal agar tidak membuat kesalahan baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja. Logikanya, yang tidak disengaja saja pasti diingat apalagi kesalahan yang dibuat secara sengaja. Seolah-olah pelaku memanfaatkan kebaikan korban.
Hidup di jaman sekarang ini, siapapun dituntut untuk memiliki paket lengkap atitud, sopan santun, dan tata krama yang bagus. Itu nomor satu. Sudah melakukan itu saja, kadang masih ada yang julid dengan melontarkan kata "caper, sok iya, dan lainnya."
Siapapun berhak untuk menunda permintaan maaf dari seseorang. Bisa saja, orang tersebut menunda permintaan maaf karena luka yang dialaminya cukup dalam sehingga butuh proses. Bukan, berarti tidak ingin memaafkan hanya saja kesal dengan tingkah laku dan perbuatan pelaku.
Meski tak jarang mendengar "maafkan saja, jadikan pelajaran." Bagiku, tidak semudah itu. Bahkan, ke psikolog pun pasti bakal dibilang, "proses memaafkan setiap orang itu berbeda, butuh waktu."
Berkaca dari sini, meski saya tidak memberi contoh kasus, kiranya mari kita bersama-sama berpikir dahulu sebelum bertindak. Saya bukan ingin menggurui, sebab saya juga masih belajar. Jadi, mari kita belajar bersama dan saling mengingatkan untuk hidup yang lebih baik tanpa menyakiti siapapun termasuk menyakiti diri sendiri.
Kasus menyakiti diri sendiri pun kerap dialami setiap orang. Contohnya, belum bisa menerima luka dan trauma masa kecil entah itu karena bullying dan faktor lainnya yang hingga usianya yang terus bertumbuh belum kunjung sembuh.
Tidak tau mau cerita dengan siapa atau tidak ada tempat curhat dapat membuat pemilik luka dan trauma itu menjadi stress dan depresi. Syukur-syukur jika individu tersebut dapat mengatasi masalahnya sendiri. Yuk, mari miliki satu orang dalam hidup yang bisa diajak bertukar cerita agar luka lama yang masih bersarang di tubuh kita bisa kita maafkan.
Teman-teman sekalian, sekalipun dalam penerimaan proses maaf perlu mengeluarkan air mata, tumpahkanlah. Selagi, dapat menyelesaikan masalah. Terima kasih untuk kamu yang kuat yang sudah bisa memaafkan orang lain dan juga memaafkan diri sendiri. Mari tetap tumbuh dan kuat bersama. Cheers
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H