"Waduh," katanya sambil bertanya, "Sekarang dimana?"
"Ini di rumah masih siap-siap," balas Dinda lagi sambil menyambar pakaian handbody dan pakaina yang ada. Touch up tipis-tipis. Beruntung saja karena sudah sikat gigi dan cuci muka.
Motor matic nya pun segera dikeluarkan dari ruang tamu. Wanita yang tinggal di rumah subsidi pemerintah itu belum memiliki garasi. Tak butuh waktu lama, untuk mengegas motor yang baru dibelinya beberapa bulan lalu.
"Aiiish," katanya dengan embel-embel, "Pakai acara harus buka dan tutup pintu gerbang segala. Pak kabid pun ada-ada aja kasih taunya dadakan."
Di perjalanan menuju kantor, ia mengingat-ingat adakah yang tertinggal atau adakah pintu atau jendela yang belum terkunci. Lagi-lagi berkhutbah di jalan dilakukan. "Ok, udah semua."
Dinda tak menyangka jika perjalanannya menuju kantor disertai dengan drama jalan macet. Ia pun merasa ingin misuh-misuh namun apadaya memang jam segitu, jam-jam macet.
"Pasti bakal telat ini. Bilang aja nanti macet," begitulah ide yang ada di kepala gadis berkerudung hitam.
Dan benar saja, Dinda pun telat lima menit. Beruntung, masih ditunggu rombongan. Mengingat bos besar belum keluar dari rumah dinasnya. Feeling Dinda tak pernah salah, pasti selalu ada kemoloran keberangkatan. Benar saja pukul 09.10 WIB baru berangkat DLK.
Belum lama bertolak, mobil Patwal melipir ke masjid. "Ada apa?" kata kawan sebelah.
Ternyata bos besar sakit perut. "Mungkin salah makan," ujarku lirih di sebalik masker.
Sekitar menunggu 15 menit, rombongan diarahkan untuk bersiap. Mobil bos pun persis berada di belakang mobil patwal.