Sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi salahsatu target market untuk film-film bergenre religi. Itu tidak bisa dipungkiri. Apalagi Kedekatan antara cerita film dan realita masyarakat di tanah air menjadi faktor penunjang produksi film islami. Begitu juga dengan talkshow, reality show, iklan, dan yang bertajuk islami lainnya.
Film bernuansa religi akan muncul menjelang puasa hingga akhir ramadan. Pengemasannya bisa dalam bentuk film, sinetron, bahkan layar lebar. Tak sampai disitu iklan dan talkshow pun ikut berkecimpung mengambil tema religi. Layaknya berlomba sajikan tayangan religi di layar kaca maupun layar lebar.
Film religi layar lebar muncul di Indonesia pada 28 Februari 2008 yaitu Ayat-ayat Cinta karya Habiburahman El Shirazy. Film ini mengisahkan tentang seorang pria Indonesia di Mesir yang harus memilih cinta di antara empat wanita.Â
Film produksi MD Entertainment dengan garapan sutradara Hanung Bramantyo ini menjadi pelopor kesuksesan komersial film-film islami di bioskop Indonesia, yang membuktikan bahwa pasar untuk film jenis ini memang ada. Tiket bioskop terjual mencapai 3.581.947.
Hadirnya film tersebut, menjadikan industri perfilman semakin giat membuat film layar lebar bengenre islami. Deretan film religi di tanah air diantaranya pada 2009: 1) Ketika Cinta bertasbih, 2), Ketika Cinta Bertasbih (2), 3) Perempuan Berkalung Sorban, 4) Sang Pencerah, dan 5) Emak Ingin Naik Haji. 2010: 1) 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010), dan 2) Sang Pencerah.
2011: 1) Di Bawah Lindungan Ka'bah, 2) Hafalan Surat Delisa, dan 3) ?. 2012: 1) Negri 5 Menara, dan 2) Cinta Suci Zahrana. 2013: 1) Ayat-ayat Cinta, 2) 99 Cahaya di Langit Eropa, dan 3) Sang Kiai. 2014: 1) Assalamualaikum Beijing, 2) 99 Cahaya di Langit Eropa (2), 3) Ku Kejar Cinta ke Negri China, dan 4) Haji Backpacker. 2015: 1) Surga Yang Tak Dirindukan, 2) Ada Surga di Rumahmu, 3) Mencari Hilal, 4) Ayat-ayat Adinda, 5) Alif Lam Mim (3), 6) Hijab, 7) Ayat-ayat Adinda, dan 8) Guru Bangsa: Chokroaminoto.
2016: 1) Bulan Terbelah di Langit Amerika 2, 2) Cinta Laki-laki Biasa, 3) Ketika Mas Gagah Pergi the Movie, 4) Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, 5) Jilbab Traveler Love Spark in Korea, dan 6) Kalam-kalam Langit. 2017: 1) Ayat-ayat Cinta 2, 2) Petualangan Mencari Bintang
2018: Assalamualaikum Calon Imam. Lanjut 2019: 1) Zharfa, 2) Sabyan Menjempu Mimpi, 3) Ajari Aku Islam. Pada 2020: 1) Mudik 2020.
2021: 1) Sisterilah The Movie: Impian, Cinta, dan Keluarga, 2) Layla Majnun, dan 3) Nussa The Movie. Kemudian pada 2022: 1) Mengejar Surga, 2) Merindu Cahaya De Amstel, 3) Film Cinta Subuh, 4) Atas Nama Surga, dan 5) Ranah Tiga Warna. Terkahir pada 2023: Surga di Bawah Langit
***
Program-program religi tersebut pun disiarkan melalui media masa. Sejarah mencatat, pada akhir 1970-an dan awal 1980an, informasi tentang film hanya dari dua media masa yang menonjol yakni harian Kompas dan majalah Tempo.
Kemudian, pada 1980, informasi tentang film mulai banyak dijumpai. Ada dua majalah yang sangat kuat penulisan filmnya, yaitu majalah Zaman dan Jakarta-Jakarta. Dan pada pertengahan 1980an itu pula, ada satu acara di TVRI yang memberi ulasan tentang film.
Di 1990an hadir Matra dan Jakarta Post pada rezim Orde Baru. Dimana pada orde ini cukup ketat mengenai penerbitan. Produksi film pun mulai surut pada 90an. Pada saat yang sama, televisi swasta bermunculan. Ada satu-dua acara yang mengulas film, walau secara umum banyak pekerja film yang pindah ke televisi.
Televisi telah menjadi agama baru bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Televisi telah mampu menggantikan kehadiran ustadz-ustadz, atau bahkan televisi telah menggantikan kebutuhan masyarakat untuk belajar agama secara khusus dan benar. Televisi cenderung hadir dengan kemudahan dan magicnya menjadi pemikat yang luar biasa bagi masyarakat dalam memahami agama.Â
Maraknya bulan ramadan bukan cerminan bahwa televisi telah religious, tapi hanya lebih mendukung ideology pasar yaitu kapitalisme. Maka, selama tayangan tersebut laku, akan terus diproduksi terlepas pakah tayangan tersebut telah jauh melenceng dari kaidah-kaidah agama. Konsep laku akan lebih diutamakan dari konsep mutu sebuah tayangan. Umaimah Wahid --(academia.edu)
Lalu pada 2000an, rubrik film di banyak media diisi oleh orang-orang yang tidak menguasai film. "Film masuk meja hiburan, dan sebagai hiburan, film hanya ditulis ala kadarnya. Tidak ada perhatian sungguh-sungguh. Bahkan untuk data," begitu kata Hikmat Darmawan selaku kritikus / jurnalis / pendiri RumahFilm pada 20 November 2015, saat berdiskusi dengan redaksi Cinema Poetica.
Hikmat melanjutkan, ia bersama teman-temannya tidak puas dengan hal tersebut. Â Sehingga, lebih baik membuat media sendiri. Dari situ lahirlah RumahFilm dan blog-log lainnya.
Kondisi film di Indonesia pada tahun 2000 telah lebih beragam. Genre dakwah, dominan. Dalam kasus ini, menjadikan Islam sebagai subjek dan pokok bahasan. Beraneka ragam ekspresi disampaikan.
Hikmat menyatakan, pada 2000an ini, watak film Islam kita kebanyakan adalah film dakwah yang mendoktrin. Dan, tentunya, film dakwah itu tergantung pada materi dakwah. Bisa dilihat bedanya orang Iran sama Hanum Rais bikin film dakwah. Kalau di Iran, terdapat propoganda untuk menumbangkan kedzaliman. Di Indonesia, film dakwahnya lebih menekankan pada keselamatan pribadi. Dakwah sebagai alasan sukses. Dan ini klop dengan kecenderungan kita terhadap kemakmuran pribadi. (cinemapoetica.com)
Kondisi Islam dalam film Indonesia pun dipaparkan bahwa di Indonesia, ada buku Qiyamul Lail yang berpengaruh pada sukses finansial. Sedekah jadi kaya. Motivasi sedekah agar berlipat-lipat baliknya. Itu kemakmuran pribadi.Â
Bagaimana Qiyamul Lail bisa membentuk kita menjadi lebih peka terhadap ketidakadilan, itu yang nggak ada. Islam yang berkembang dalam film Indonesia lebih sebagai solusi kemiskinan yang bukan untuk membuat orang adil, tetapi lebih membuat individu menjadi kaya. Individualisme dunia-akhirat.
Film yang mencerminkan kondisi Islam di Indonesia mengarah dalam hal spritualitas, misalnya, Rindu Kami PadaMu (karya Garin Nugroho pada 2004). Ragam dan pendekatannya relatif cukup majemuk.Â
Sayangnya terdapat kemiskinan wacana ide serta wacana dalam memahami agama. "Ya, nggak hanya Islam sebenarnya. Kebetulan saja kita tinggal di Indonesia. Jadi saat kita membahas film agama, kita jadi bisa menyimpulkan bahwa ini film Islam. Kalau dilihat menyeluruh, tidak cuma Islam, di semua agama sebenarnya terjadi banalisasi, pendangkalan."
Kemudian lanjutnya -- terkait tema Islam sudah cukup beragam. Radikalisasi sudah dibahas. Pluralitas dalam Islam juga sudah dibahas dalam Mencari Hilal (karya Ismail Basbeth pada 2015). Yang belum ada mungkin drama-drama sederhana tentang keluarga Islam. Keluarga yang apa adanya,tidak terbungkus oleh ideologi, harapan, atau romantisasi.
Sudah banyak film berpotensi, tetapi masih berangkat dari premis yang istimewa. Contohnya, Ibunda karya Teguh Karya (pada 1986). Itu film biasa, tokoh-tokohnya sama sekali nggak luar biasa. Tapi kita dekat. Tantangannya adalah bagaimana membentuk hal yang sebenarnya dekat itu menjadi menarik.
Tema "Islam sempalan" juga belum. Belum ada film yang secara jelas mengangkat bagaimana mereka harus hidup sebagai minoritas. Kemarin Hanung (Bramantyo) dan kawan-kawan sempat menyinggung itu dalam Ayat-ayat Adinda.Â
Dalam film, tersirat bahwa kepercayaan yang dimaksud adalah Ahmadiyah. Tapi itu nggak disebut sama sekali. Saya nggak menyalahkan produksinya. Tapi coba bayangkan kalau itu disebut, filmnya bakalan lebih tajam. Kalau film seperti Ayat-ayat Adinda diproduksi pada dekade 80an sih nggak masalah. Sekarang takutlah, ada FPI.
Film-film Hanung memang bicara tentang minoritas-mayoritas, tapi lebih banyak teriaknya. Kesannya filmnya berani karena ada teriaknya, secara harfiah lho ya. Ngomongnya saja teriak-teriak, ucapannya besar, lebay, tapi yang diangkat tidak terlalu dalam. Saya ya jadi seperti provokator. Ayo bikin saja, yang berani saja. Tapi bingung juga kalau nanti sutradaranya diserbu sama FPI.
Hikmat sempat menulis tentang film Islam di majalah Madina. "Mendingan, tulisan-tulisan itu saya kumpulkan terus saya jadikan buku, dengan tema Film Islam di Indonesia tinggal tambah tulisan pengantar, pendahuluan, jadi deh satu buku," tutupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H