Mohon tunggu...
Sofiah Rohul
Sofiah Rohul Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Holla Before doing something, do something different

Selanjutnya

Tutup

Segar

Berlomba Sajikan Film Religi di Layar Lebar

5 April 2023   21:41 Diperbarui: 5 April 2023   21:58 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Program-program religi tersebut pun disiarkan melalui media masa. Sejarah mencatat, pada akhir 1970-an dan awal 1980an, informasi tentang film hanya dari dua media masa yang menonjol yakni harian Kompas dan majalah Tempo.

Kemudian, pada 1980, informasi tentang film mulai banyak dijumpai. Ada dua majalah yang sangat kuat penulisan filmnya, yaitu majalah Zaman dan Jakarta-Jakarta. Dan pada pertengahan 1980an itu pula, ada satu acara di TVRI yang memberi ulasan tentang film.

Di 1990an hadir Matra dan Jakarta Post pada rezim Orde Baru. Dimana pada orde ini cukup ketat mengenai penerbitan. Produksi film pun mulai surut pada 90an. Pada saat yang sama, televisi swasta bermunculan. Ada satu-dua acara yang mengulas film, walau secara umum banyak pekerja film yang pindah ke televisi.

Televisi telah menjadi agama baru bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Televisi telah mampu menggantikan kehadiran ustadz-ustadz, atau bahkan televisi telah menggantikan kebutuhan masyarakat untuk belajar agama secara khusus dan benar. Televisi cenderung hadir dengan kemudahan dan magicnya menjadi pemikat yang luar biasa bagi masyarakat dalam memahami agama. 

Maraknya bulan ramadan bukan cerminan bahwa televisi telah religious, tapi hanya lebih mendukung ideology pasar yaitu kapitalisme. Maka, selama tayangan tersebut laku, akan terus diproduksi terlepas pakah tayangan tersebut telah jauh melenceng dari kaidah-kaidah agama. Konsep laku akan lebih diutamakan dari konsep mutu sebuah tayangan. Umaimah Wahid --(academia.edu)

Lalu pada 2000an, rubrik film di banyak media diisi oleh orang-orang yang tidak menguasai film. "Film masuk meja hiburan, dan sebagai hiburan, film hanya ditulis ala kadarnya. Tidak ada perhatian sungguh-sungguh. Bahkan untuk data," begitu kata Hikmat Darmawan selaku kritikus / jurnalis / pendiri RumahFilm pada 20 November 2015, saat berdiskusi dengan redaksi Cinema Poetica.

Hikmat melanjutkan, ia bersama teman-temannya tidak puas dengan hal tersebut.  Sehingga, lebih baik membuat media sendiri. Dari situ lahirlah RumahFilm dan blog-log lainnya.

Kondisi film di Indonesia pada tahun 2000 telah lebih beragam. Genre dakwah, dominan. Dalam kasus ini, menjadikan Islam sebagai subjek dan pokok bahasan. Beraneka ragam ekspresi disampaikan.

Hikmat menyatakan, pada 2000an ini, watak film Islam kita kebanyakan adalah film dakwah yang mendoktrin. Dan, tentunya, film dakwah itu tergantung pada materi dakwah. Bisa dilihat bedanya orang Iran sama Hanum Rais bikin film dakwah. Kalau di Iran, terdapat propoganda untuk menumbangkan kedzaliman. Di Indonesia, film dakwahnya lebih menekankan pada keselamatan pribadi. Dakwah sebagai alasan sukses. Dan ini klop dengan kecenderungan kita terhadap kemakmuran pribadi. (cinemapoetica.com)

Kondisi Islam dalam film Indonesia pun dipaparkan bahwa di Indonesia, ada buku Qiyamul Lail yang berpengaruh pada sukses finansial. Sedekah jadi kaya. Motivasi sedekah agar berlipat-lipat baliknya. Itu kemakmuran pribadi. 

Bagaimana Qiyamul Lail bisa membentuk kita menjadi lebih peka terhadap ketidakadilan, itu yang nggak ada. Islam yang berkembang dalam film Indonesia lebih sebagai solusi kemiskinan yang bukan untuk membuat orang adil, tetapi lebih membuat individu menjadi kaya. Individualisme dunia-akhirat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun