Mohon tunggu...
Sofiah Rohul
Sofiah Rohul Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Holla Before doing something, do something different

Selanjutnya

Tutup

Segar

Berlomba Sajikan Film Religi di Layar Lebar

5 April 2023   21:41 Diperbarui: 5 April 2023   21:58 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film yang mencerminkan kondisi Islam di Indonesia mengarah dalam hal spritualitas, misalnya, Rindu Kami PadaMu (karya Garin Nugroho pada 2004). Ragam dan pendekatannya relatif cukup majemuk. 

Sayangnya terdapat kemiskinan wacana ide serta wacana dalam memahami agama. "Ya, nggak hanya Islam sebenarnya. Kebetulan saja kita tinggal di Indonesia. Jadi saat kita membahas film agama, kita jadi bisa menyimpulkan bahwa ini film Islam. Kalau dilihat menyeluruh, tidak cuma Islam, di semua agama sebenarnya terjadi banalisasi, pendangkalan."

Kemudian lanjutnya -- terkait tema Islam sudah cukup beragam. Radikalisasi sudah dibahas. Pluralitas dalam Islam juga sudah dibahas dalam Mencari Hilal (karya Ismail Basbeth pada 2015). Yang belum ada mungkin drama-drama sederhana tentang keluarga Islam. Keluarga yang apa adanya,tidak terbungkus oleh ideologi, harapan, atau romantisasi.

Sudah banyak film berpotensi, tetapi masih berangkat dari premis yang istimewa. Contohnya, Ibunda karya Teguh Karya (pada 1986). Itu film biasa, tokoh-tokohnya sama sekali nggak luar biasa. Tapi kita dekat. Tantangannya adalah bagaimana membentuk hal yang sebenarnya dekat itu menjadi menarik.

Tema "Islam sempalan" juga belum. Belum ada film yang secara jelas mengangkat bagaimana mereka harus hidup sebagai minoritas. Kemarin Hanung (Bramantyo) dan kawan-kawan sempat menyinggung itu dalam Ayat-ayat Adinda. 

Dalam film, tersirat bahwa kepercayaan yang dimaksud adalah Ahmadiyah. Tapi itu nggak disebut sama sekali. Saya nggak menyalahkan produksinya. Tapi coba bayangkan kalau itu disebut, filmnya bakalan lebih tajam. Kalau film seperti Ayat-ayat Adinda diproduksi pada dekade 80an sih nggak masalah. Sekarang takutlah, ada FPI.

Film-film Hanung memang bicara tentang minoritas-mayoritas, tapi lebih banyak teriaknya. Kesannya filmnya berani karena ada teriaknya, secara harfiah lho ya. Ngomongnya saja teriak-teriak, ucapannya besar, lebay, tapi yang diangkat tidak terlalu dalam. Saya ya jadi seperti provokator. Ayo bikin saja, yang berani saja. Tapi bingung juga kalau nanti sutradaranya diserbu sama FPI.

Hikmat sempat menulis tentang film Islam di majalah Madina. "Mendingan, tulisan-tulisan itu saya kumpulkan terus saya jadikan buku, dengan tema Film Islam di Indonesia tinggal tambah tulisan pengantar, pendahuluan, jadi deh satu buku," tutupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun