Waktu memang tidak bisa diputar kembali. Namun, kenangan akan selalu melekat di setiap pemiliknya. Termasuk saya yang sangat ini sedang mengenang masa kecil di bulan ramadan. I fell like, it's really hard to describe. I just fell happy enough.
Di sebuah desa terpencil di Provinsi Riau, tepatnya di daerah transmigrasi itulah saya lahir dan besar. Orang-orang menyebutnya Pujakesuma alias Puta-Putri Jawa Keturunan Sumatera. Di desa yang bernama Pasir Luhur itu semasa saya kecil masih jauh dari gemerlap lampu. Jangankan PLN, ada yang memiliki diesel saja sukur. Ya begitulah, kehidupan di kampung. Panjang jika diceritakan.
Kita bahas topik nostalgia ramadan semasa kecil saja dulu sambil spill tentang kelistrikan. AsiikÂ
Hampir di setiap jalur (jalan) di desa itu memiliki musala. Nah, semasa kecil sebelum masuk SD (karena saya ga TK dan belum ada sekolah itu) saya mengaji di musala yang berada di jalur 9 atau jalan rampai. Itu adalah jalur rumahku berada.
Berjalannya waktu, kelas satu atau kelas dua SD gitu, saya pindah tempat mengaji yakni di musala yang berada di jalur 8 sampai saya lulus SD pada 2008. Di situ pulalah, saya melaksanakan tarawih.
Seperti biasa, saya pergi mengaji dan tarawih bersama teman saya yang satu jalur. Nur, namanya, yang kerap dipanggil Indung. Rumahku yang lebih jauh dari rumah Indung untuk menuju musala yang berada di belakang rumahnya. Sehingga, sayalah yang selalu menghampirinya untuk berangkat ngaji dan tarawih bersama.
Kadang kami jalan kaki, kadang pula naik sepeda. Kebiasaan naik sepeda itu kami lakukan saat bulan puasa. Kami sengaja menumpaki sepeda agar bisa ngabuburit bareng teman-teman. Sepeda menjadi teman akrab kami anak desa. Benda yang bisa berfungsi dengan cara dikayuh itu kami gunakan untuk ngabuburit, tarawih, dan kuliah subuh.
Untuk bisa membuat es teh, es sirup, es buah, dan sejenisnya, pada jaman dulu, benar-benar butuh perjuangan. Saya bersama kawan-kawan membuat janji terlebih dahulu untuk memutuskan beli es batu saat kami belajar di kelas. Lalu, sorenya pergi mengayuh sepeda bersama-sama menuju kedai penjual es.
Di kampungku sekitar tahun 2004 itu masih langka sekali yang memiliki kulkas. Bisa dihitung jari. Memasuki tahun 2007 itu lah mulai banyak yang memiliki kulkas. Ya, adalah sepuluhan orang. Kebetulan saat itu listrik sudah mulai masuk meski terkadang ada trouble dari pihak pemilik.
Dilemanya di jaman itu adalah jika beli es batu nya cepat sekitar pukul 17.00 WIB, akan cepat meleleh. Namun, jika beli es batu nya puku 17.30 WIB atau di atas itu jangan harap dapat yang keras. Masa-masa itu telah berlalu. Mungkin sekarang terkesan menyedihkan namun itu adalah kenangan indah yang sulit dilupakan.Â
Bagaimana tidak, saat masih kecil kami begitu riang menjalani kehidupan, ke sana ke mari pergi naik sepeda. Bahkan, saat ujian nasional sekalipun kami pergi mengayuh sepeda sejauh 5 KM ke SD sebelah.
Hal tersebut tidak bisa dibeli dan tidak pula bisa diuangkan. Gembiranyalah kami yang kemana-mana dengan sepeda. Sepeda pun ada kastanya. Jarang sekali yang punya sepeda baru, hanya orang-orang tertentu termasuk Indung. Saya? Jangan ditanya. Sepeda lungsuran haha
Balik lagi ke pembahasan es batu. Biasanya kami per kepala akan membeli es batu sebenyak dua buah atau paling banyak empat. Saat itu masih murah, harganya Rp500 rupiah. Itu sudah ukuran plastik setengah kilo. Kalau sudah mendapatkan es, biasanya kami muter-muter mengelilingi setiap jalur yang ada di desa sambil menunggu adzan maghrib. Kebetulan di kampungku ada 10 jalur kanan dan kiri. Artinya, 20 jalur.
Sesampainya di rumah, budak (anak) kecil ini heboh dengan menu bukaan. Kalau bebrbuka puasa aku paling sedikit ambil nasi namun lauknya banyak hehe apakah ada yang sama? Nah, kalau menu minuman, favorit keluargaku adalah teh es everything sampai sekarang. Jadi, mau ada jenis es terbaru apapun pasti keluarga ku bilang "terima kasih" dan saya ga harus pusing-pusing buat es wkwk
Kalau sudah berbuka, kami sekeluarga pasti salat berjamaah. Setelah itu, barulah pergi tarawih. Kadang bareng kadang sendiri dengan sepeda masing-masing.
Tempat melaksanakan tarawihku dengan orangtua berbeda. Seperti yang saya katakan tadi, saya mengaji di jalur 8 jadi tarawihnya di sana. Sementara, orangtua di jalur 9 dan beruntungnya saya karena bapak sebagai bilal atau orang yang bertugas memimpin bacaan saat tarawih.
Segera ku berpamitan dan sersalaman smbl mengucap salam lalu bergegas mengayuh sepeda ontel dengan kecepatan normal. Itungan menit, setang kubelokkan ke rumah Indung. Lalu, kusandarkan pada pohon rambutan, lantaran tidak memiliki standar.
"Assalamualaiku..Ndung..Indung," panggilku dari luar.
"Ya..," jawabnya dengan imbuhan,"bentaaaar" atau "masuk dulu."
Tak berapa lama, anak bungsu dari kedua bersaudara itu pun keluar dari rumah. kami pun sama-sama bersalaman dan menguucapkan salam lalu bergegas mengayuh sepeda masing-masing.
Meski jalanan tidak diterangi lampu, kami tak kehabisan akal untuk membawa senter. Terkadang sengaja kami tinggalkan. Seolah mata kami sudah tajam dan tahu dimana lobang yang harus dihindari.
Selain itu, kami juga membawa kembang api dan lilin. Ya, ala-ala bocil SD di perkampungan. Lilin, itu akan kami nyalakan sebelum dan sesudah tarawih. Kadang berpikir, apalah fungsinya haha itulah bedanya anak jaman dulu yang tinggal di kampung.
Menariknya, hampir anak-anak seusian kami pada jamannya pasti memiliki segala bentuk jenis lilin, dari yang paling kecil, sedang, dan tinggi. Kalau bisa semua warna ada. Belum lagi, jenis-jenis kembang api. Salah satu yang favorit saat kecil adalah kembang api yang seperti pelangi. Gila si itu gada tandingannya.
Sementara, untuk kami para cewe-cewe agak terhalang dengan petasan. Berbeda dengan laki-laki yang bisa beli petasan jenis apapun. Untuk kami para cewe, paling banter petasan korek yang isinya 10 atau petasan banting. Cupu banget ya haha
Jiduran (tradisi memukul bedug dengan irama yang berbeda-beda) adalah favorit kami. Dimanna para pemukul dengan cekatan memainkan kentong ke kulit lembu serta sisi bulatan dan kayu pada bedug. Seru sekali sambil menunggu pacitan (jajan dan minum) yang dibawa oleh para jamaah untuk dinikmati.
Kami juga dituntut oleh guru ngaji untuk ikut tadarus. Ya meskipun tidak lama, namun setidaknya ikut dan mendapat giliran. Setelah itu barulah pulang. Setelah sahur dan imsak, kami anak-anak yang sudah kelas 3 SD pun mendapat tugas untuk mengisi nuku amaliah ramadan. Caranya dengan ikut kuliah subuh. Di sana akan, ada ustadz yang berceramah. Pengisian amaliah ramadan di kampungku saat itu, hanya ada saat puasa ramadan. Berbeda dengan saat ini yang sudah mulai ada ceramah agama usai tarawih.
Di hari akhir ramadan, kami pun merayakan hari kemenangan dengan melangsungkan takbir keliling. Setelah itu kami bakal lek-lekan (begadang) di musala atau masjid sampai selesai subuh. Setelah itu pulang ke rumah masing-masing dengan muka bantal. Kemudian, melanjutkan salat idul fitri dan lebaran. Yeeeay
Benar-benar merindukan masa-masa itu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H