Bagaimana tidak, saat masih kecil kami begitu riang menjalani kehidupan, ke sana ke mari pergi naik sepeda. Bahkan, saat ujian nasional sekalipun kami pergi mengayuh sepeda sejauh 5 KM ke SD sebelah.
Hal tersebut tidak bisa dibeli dan tidak pula bisa diuangkan. Gembiranyalah kami yang kemana-mana dengan sepeda. Sepeda pun ada kastanya. Jarang sekali yang punya sepeda baru, hanya orang-orang tertentu termasuk Indung. Saya? Jangan ditanya. Sepeda lungsuran haha
Balik lagi ke pembahasan es batu. Biasanya kami per kepala akan membeli es batu sebenyak dua buah atau paling banyak empat. Saat itu masih murah, harganya Rp500 rupiah. Itu sudah ukuran plastik setengah kilo. Kalau sudah mendapatkan es, biasanya kami muter-muter mengelilingi setiap jalur yang ada di desa sambil menunggu adzan maghrib. Kebetulan di kampungku ada 10 jalur kanan dan kiri. Artinya, 20 jalur.
Sesampainya di rumah, budak (anak) kecil ini heboh dengan menu bukaan. Kalau bebrbuka puasa aku paling sedikit ambil nasi namun lauknya banyak hehe apakah ada yang sama? Nah, kalau menu minuman, favorit keluargaku adalah teh es everything sampai sekarang. Jadi, mau ada jenis es terbaru apapun pasti keluarga ku bilang "terima kasih" dan saya ga harus pusing-pusing buat es wkwk
Kalau sudah berbuka, kami sekeluarga pasti salat berjamaah. Setelah itu, barulah pergi tarawih. Kadang bareng kadang sendiri dengan sepeda masing-masing.
Tempat melaksanakan tarawihku dengan orangtua berbeda. Seperti yang saya katakan tadi, saya mengaji di jalur 8 jadi tarawihnya di sana. Sementara, orangtua di jalur 9 dan beruntungnya saya karena bapak sebagai bilal atau orang yang bertugas memimpin bacaan saat tarawih.
Segera ku berpamitan dan sersalaman smbl mengucap salam lalu bergegas mengayuh sepeda ontel dengan kecepatan normal. Itungan menit, setang kubelokkan ke rumah Indung. Lalu, kusandarkan pada pohon rambutan, lantaran tidak memiliki standar.
"Assalamualaiku..Ndung..Indung," panggilku dari luar.
"Ya..," jawabnya dengan imbuhan,"bentaaaar" atau "masuk dulu."
Tak berapa lama, anak bungsu dari kedua bersaudara itu pun keluar dari rumah. kami pun sama-sama bersalaman dan menguucapkan salam lalu bergegas mengayuh sepeda masing-masing.
Meski jalanan tidak diterangi lampu, kami tak kehabisan akal untuk membawa senter. Terkadang sengaja kami tinggalkan. Seolah mata kami sudah tajam dan tahu dimana lobang yang harus dihindari.