Covid-19. Setiap orang pasti memiliki cerita dibalik virus asal wuhan yang masuk ke tanah air pada Maret 2020. Akses udara, darat, dan laut secara perlahan ditutup permamen. Dari awalnya hanya dua minggu sampai tidak diketahui pasti masuk jilid berapa sudah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disetiap daerah yang ada di Indosia.
Terpukul? Pasti. Siapa sangka virus ini ternyata mematikan. Tak sedikitnya yang menjadi korban covid-19. Rumah sakit berjubel pasien, ambulan beriring-iringan mengantar korban yang mirisnya keluarga tak diperbolehkan melihat, pelarangan mudik, work home home (WFH), dan masih banyak lagi.
Dari rentetan kejadian itu, sebagai anak rantau yang bekerja di ibukota Provinsi Riau, yakni Pekanbaru, pun mengalami dampaknya. Seya pikir tidak hanya sendiri, teman-teman di daerah lain pun mengalami hal yang sama tidak bisa berjumpa dengan orang terkasih khsusunya pada ramadan dan hari raya idul fitri 1441 H tahun 2020.
Jika, mendengar ego siapa yang tidak ingin pulang ke kampung halaman tepatnya di Rokan Hulu (Rohul), Riau. Ya, sekitar 5 jam dari Pekanbaru karena kampungku berada di pelosok tepatnya Desa Pasir Luhur, Kecamatan Kunto Darussalam. Beberapa jalan masih ada yang tanah, kadang bisa becek, dan lain sebagainya.
Di rantau hanya sendiri. Puasa terasa hambar apalagi jika sudah memasuki buka puasa dan sahur. Sebagai orang lapangan, kadang, sesekali saya ke kantor untuk bisa buka bersama. Kebetulan kantor menyediakan bukaan. Biasanya saya lakukan saat sedang rindu dengan orang rumah. sehingga mengobrol dengan orang kantor bisa menjadi obat.
Awalnya, saya ingin sekali pulang. Mengingat orangtua sudah sepuh, saya mencoba memberi pengertian dan pemahaman terkait tidak pulangnya saya ke rumah. meski sebenarnya bertolak belakang dengan hati saya. Rasanya, lebaran 2020 cukup mengisahkan kepediahan. Namun, dibalik itu pasti ada hikmahnya.
Dari  lima bersaudara, saya sebagai anak ke-empat berada di Pekanbaru. Abang saya yang kedua dan istrinya berada di Aceh. Beruntung abang pertama, kaka, dan adik berada di kampung yang sama. Sehingga, masih ada yang menemani orangtua di rumah. Meski, abang pertama dan kaka saya sudah menikah, setidaknya saat hari besar ada di samping orangtua.
Hari terus berjalan. Covid-19 pun masih belum juga musnah dari bumi. Bahkan di 2023 ini virus tersebut dikatakan masih ada di planet bumi ini. Tak sedikitnya, saat acara besar harus tetap mematuhi protokol kesehatan bahkan terkadang swab.
Flash back, ke ramadan 2021. Aku pun tak menyangka, jika setelah resign harus merantau ke Jawa karena suatu alasan pendidikan formal yang menghabiskan waktu satu tahunan hingga April 2022. Tentunya, kepergianku ke tanah Jawa pada akhir Februari 2021 menjadikanku tidak bisa menjalani puasa ramadann dan lebaran di rumah.
Cukup teriris hati ini, namun lebih sakit saat 2020. Sebab, masih satu provinsi tapi tidak pulang. Jika 2021, tentunya selain transportasi yang cukup mahal, berbagai persyaratan dan prosedur pun banyak yang harus dijalani.Â
Kasarnya, mau habis berapa banyak uang? Untungnya saya memiliki keluarga yang memiliki pemahaman yang cukup tinggi. Meski, sebenarnya hati kecil mereka juga sedih. Saya bisa merasakan itu. Lagi-lagi anak gadisnya sudah dua kali lebaran tidak di rumah.
Memasuki puasa ramadan 2022, sedikit cemas karena tidak bisa pulang. Teman-teman memintaku untuk tetap tinggal di salah satu daerah di Jawa Timur lebih lama lagi. Tapi, menurutku itu tidak mungkin. Saya katakan dengan jujur, harus pulang dan saya tidak ingin menjadi "Bang Toyib"
"Sorry ya guys, aku gabisa lama-lama. Aku gamau jadi bang toyib. Dipecat pula aku nanti dari KK karena ga pulang-pulang," kataku.
Satu persatu dari teman-teman pun pulang. Menyusul aku yang 14 hari menjelang lebaran 2022 pulang ke kampung halaman setelah melewati proses suntik vaksin, naik travel ke bandara, transit di Jakarta, dan akhirnya sampai di Pekanbaru.
Sesampainya di Pekanbaru, saya memnag tidak langsung pulang ke Rohul. Namun, menginap beberapa hari di Kota Bertuah untuk bertemu dengan sahabat, rekan kerja, dosen, dan lainnya. Bukan, tidak rindu dengan orangtua. Namun, ingin langsung menyelesaikan urusan di Pekanbaru, agar tidak bolak-balik.
Selama kurang lebih sepekan di Pekanbaru, akhirnya saya pun pulang ke rumah yang berada di Rohul. Asli, rindu banget dengan rumah. Melihat senyum orangtua saat menjawab salam seketika runtuh semua rasa lelah di jalan. Berjabat tangan sambil mencium kedua tangan menjadi awal tinggal di rumah sederhana ala masyarakat kampung.
Hari demi hari dilalui dengan senda gurau. Membantu mama masak untuk menyiapkan bukaan dan sahur. Ngabuburit tipis-tipis bareng adek dan ponakan menjadi agenda rutin saat puasa. Hingga kita semua dipertemukan bedug dan gema takbiir malam kemenangan menyambut idul fitri dan saling bermaaf-maafan. Itulah, makna puasa ramadan bagi saya yakni waktu begitu berharga. Disetiap menit, detik, jam nya selalu ada kisah yang terduga dan tak terduga.
Akhirnya kita pun kembali ditemukan pada ramadan 1444 hijriah tahun 2023. Meski saat ini saya masih belum bisa pulang karena kembali bekerja, saya merasakan kehangatan pada tahun ini. Bertemu kembali dengan rekan kerja dan tentunya 2023 saya pikir tidak semencengkam 2020. Kita berharap semua bisa pulang kampung dan bertemu orangtua serta keluarga besar. Tunggu saya di rumah ya ma, pa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H