Agar tidak ada penyesalan, tidak ada salahnya mengeluarkan energi lebih banyak menuju lokasi itu yang konon katanya disebut mirip dengan Tembok Cina. Cus, meluncur. Dan cekrek, satu dua buah poto pun terdokumentasikan dengan latar bukit yang menjulang tinggi.
Mengingat waktu terus berjalan, kami kembali melanjutkan menjajaki Janjang Saribu. Ternyata, ini tanjakan paling tinggi. Tak ada belok kanan kiri lagi yang tajam. Paling hanya lima sampai sepuluh tangga. Taraaaaa, finally we did it!
Sungguh lega sekali, meski awalnya bingung, lantaran tidak ada tangga lagi. Apakah ini sudah sampai atau jebakan batman? Haha
Ternyata, begitu mendapati tulisan "Di sini asal H Agus Salim Pejuang Kemerdekaan RI" pada sebuah dinding merah, maka sampailah di Puncak Janjang Saribu. Dimana wisata ini diresmikan pada 2013 lalu oleh Kemenkominfo Tifatul Sembiring.
Terlihat lengang. Warung bambu penjual makanan dan minuman terlihat tidak terurus dan mulai reot. Hanya, ada seorang yang berjual di warung kayu dan bambu. Sejenak kami berisitirahat di sana dengan niat hati makan mi instan.
"Habis mi nya," kata pak tua itu.
Beruntung air mineral dan rasa-rasa ada di sana. Mengingat perjuangan menuju ke sini, aku pun segera membeli dua botol air mineral. Lalu, mengobrol dengan bapak paruh baya itu.
Menurutnya, sejak pandemi, banyak wisatawan yang tidak mendatangi Janjang Saribu. Bahkan, pernah tutup. Sehingga, saat sudah kembali dibuka, berpengaruh dengan ekonomi sekitar sini, khususnya penjual.
"Mau tidak mau harus buka, demi bisa menghasilkan uang," ujarnya.
Tak dapat dipungkiri, pandemi covid-19 memang efeknya luar biasa dan merambah ke segala sektor. Semoga perekonomian Indonesia pun pulih, meski dihantui resesi 2023.