Pukul 00.30 dini hari kami sampai di pintu masuk pendaftaran Puthuk Gragal. Lalu, kami mengisi buku tamu dan mendaftar dengan biaya 10 rb per orang. Untungnya tidak begitu mengantri, sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa melihat indahnya Puthuk Gragal dengan nyata, seperti yang di ulas oleh para youtuber maupun blogger. Jika tidak ada halangan dua jam bisa sampai ke Pos 4 yang memiliki ketinggian 1.238 MDPL.
Kami pun mulai menyusuri jalan semen yang juga ada aliran air yang terbuat dari semen. Aliran air ini berasal dari air terjun. Lalu, kami pun melewati sungai. Tidak perlu khawatir karena sudah ada jembatan kokoh di sana. Kemudian, perjalanan yang sebenarnya pun dimulai. Kami pun menapaki tanah merah, lalu becek, karena terkena hujan sebelumnya. Namun tak menyurutkan kami, karena gemercik Air Terjun Coban Cakung.di Pos 1 Watu Ceper terdengar lantang di telinga kami. Suasana horor pun tak terasa sama sekali.
Meski begitu, setiap perjalanan tentulah memiliki kisah yang berbeda. Hal itu dirasakan Vivi sebagai pendaki pemula yang mengaku tidak ingin mendaki lagi lantaran melalui banyak hal.
"Udah guys, kalian lanjut aja, biar aku di sini sendiri," ujar Vivi pada kami saat berada di pertengahan jalan menuju Pos 2 setelah berhasil melewati Tanjakan Opo yang bikin merinding lantaran terjal. Kami pun menenangkannya agar tidak patah semangat. Apalagi dia ingin sekali memberi teman-temannya bahwa dia berhasil melakukan pendakian pertama kalinya di Pulau Jawa.
Puncak adalah bonus dan bukanlah tujuan utama, namun bagaimana menghargai proses dan tidak mementingkan ego dalam perjalanan adalah yang terpenting. Ternyata benar, main ke alam khususnya gunung akan membuat kita mengetahui sifat asli seseorang.
Tak lama kompor dan nesting pun dikeluarkan Fauzi lalu merebus air dan membuat minuman hangat. Mengutamakan Vivi terlebih dahulu agar cepat sehat. Hampir satu jam kami berhenti di tempat duduk kayu gelondongan yang sudah beratapkan seng. Sepertinya itu tempat yang dibuat oleh penjaga alam di sana.
Kami pun mengabadikan moment dengan memotret langit dan pendaki yang berseliweran. Langit dini hari benar-benar penuh bintang. Bercahaya. Kamera dari smart phone Tyo pun sangat mendukung untuk mengabadikan. Hasilnya benar-benar bagus. Kami percaya harga tidak membohongi hasil. Bagaimana tidak harga satu telepon genggamnya bisa untuk beli sepeda motor.
"Ayo guys berangkat lagi, aku udah siap," ajak wanita asal Lampung itu secara tiba-tiba kepada kami yang membuat shock, bingung, dan senang. Pokoknya, susah diungkapkan dengan kata-kata. Tanpa menunggu lama kami pun bergegas mengangkat tas dan melanjutkan perjalanan.
Pos dua dan tiga yang dipenuhi dengan vegetasi hutan hujan tropis telah kami lewati. Pipa air pun mulai terlihat. Lantaran tidak terkontrol beberapa bocor dan mengakibatkan becek apalagi jika didukung hujan akan makin parah.
Meski Vivi masih dengan drama yang sama namun ia terlihat lebih baik, bersemangat, dan bertenanga. Beberapa tempat yang memiliki akar-akar besar berhasil kami takhlukkan. Saling tunggu dengan pendaki lain bukanlah masalah, justru itu menjadi tanda kedekatan dan mengenal satu sama lain hingga akhirnya berbagi makanan dan minuman. Tanpa terasa sampailah kami di pos 4 tapat pukul 04.00.