Ramai menjadi perbincangan di media maupun di dunia nyata tentang adanya pakaian adat yang nantinya dikenakan murid di sekolah akhir-akhir ini.
Itu regulasi baru yang diusung oleh Menteri Kebudayaan, Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud) Indonesia, Nadiem Makarim. Kemudian, diturunkan ke pemerintah daerah (pemda) bagaimana penerapannya.
Bagi saya, ini wajar dan saya mendukung. Pakaian adat sudah saya kenakan sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Kalau tidak salah saat kelas 5 SD sekitar tahun 2006. Apakah hanya sekolah di daerahku yang sudah menerapkan?
Peraturan yang menuai pro kontra itu pun harus memiliki titik temu. Mengingat Indonesia sangat beragam suku dan budaya. Belum lagi, ada beberapa provinsi yang memiliki lebih dari satu suku. Salah satunya di Sumatera Utara terdapat suku Batak, Melayu Deli, dan Nias.
Lebih jauh, penggunaan pakain adat yang akan dijadikan seragam sekolah pun harus jelas. Sebab, setiap daerah memiliki ciri khas dan atribut lain. Sebut saja keris.
Nah, apakah atribut itu harus juga dipakai atau bagaimana, mengingat segala sesuatunya benar-benar harus pakem agar tidak menyalahi aturan.
Sebagai informasi, saya tinggal di Riau, di Desa Pasir Luhur, Kecamatan Kunto Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu. Sehingga pakaian adat yang saya kenakan bernama pakaian Melayu.
Pakaian ini akan saya dan teman-teman kenakan di setiap Jumat menggantikan seragam pramuka. Sehingga, seragam pramuka dikenakan di Jumat sore saat ekstrakuler.
Saya masih ingat betul, seragam Melayu saat SD yakni berwarna hijau. Setiap sekolah di Riau akan mengenakan seragam Melayu saat Jumat. Tak hanya siswa, guru pun demikian. Meski begitu, setiap sekolah memiliki warna sendiri yang mencerminkan identitas sekolahnya.
Pakaian adat yang dikenakan saat sekolah menurut saya akan memberi citra positif. Dimana secara tidak langsung mengenalkan pada peserta didik tentang pakaian adat di daerah masing-masing. Sehingga, identitas bangsa pun ditandai dengan pakaian adat.
Lebih jauh, SMP dan SMA saya tinggal di beda kecamatan yakni Ujungbatu namun masih satu kabupaten. Saat SMP, pakaian adat sekolahku yakni berwarna orange. Ya, seperti warna jeruk dan juga kunyit. Motifnya masih sama dengan waktu SD yakni polosan. Sementara dibagian kanan dan kiri pada seragam atas wanita diberi renda berwarna hitam.
Memasuki SMA, hampir seluruh sekolah mengenakan pakaian adat Melayu berwarna putih dan tentunya polos baik untuk siswa laki-laki maupun perempuan. Pakaian adat Melayu ini terkesan simple namun syarat akan makna seperti menjunjung tinggi keislaman sehingga tidak heran jika pakaian ini cenderung panjang dan tertutup.
Meski sama dengan SMA/SMK sederajat, namun untuk membedakannya tidak susah. Sebab, masing-masing sekolah memiliki ciri khas atau style dalam berpakaian maupun saat mengenakan hijab.
Nah, balik lagi tentang pakaian adat yang saat ini digaungkan. Tentunya, ini akan menjadi hal yang luar biasa. Sebab, akan digunakan saat perayaan saat hari besar di tanah air. Wah, keragaman Indonesia benar-benar akan terlihat nyata.
Belum lagi, jika misalnya ada delegasi perwilayah. Ini menjadi daya tarik dan bertukar kisah tentang dibalik pakaian adatnya. Luar biasa bukan?
Nah, saat menjadi mahasiswa baru (maba) pada 2014, pada setiap Jumat kami mencoba menerapkan mengenakan pakaian Melayu atau batik Riau.
Seiring berjalannya waktu, ada yang bertahan ada yang tidak. Namun, di kampusku setiap ujian tengah semester, ujian semester, proposal, dan skripsi untuk yang perempuan wajib mengenakan kebaya sesuai dengan ketentuan fakultas.
Untuk fakultasku yakni Ilmu Komunikasi, mahasiswanya akan mengenakan atasan kebaya putih dan bawahan hijau atau tosca begitu juga dengan jilbabnya.
Sementara, bagi laki-laki hanya mengenakan kemeja putih dan bawahan hitam. Berbeda saat ujian proposal dan sidang skripsi yang ditambah dengan jas hitam.
Sebagai informasi, aturan mengenai baju adat yang dijadikan seragam sekolah tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor 50 tahun 2022. Aturan itu berlaku sejak 7 Sepetember 2022 lalu dimana tertulis bahwa siswa dapat memakai baju adat pada acara adat atau hari tertentu.
Tujuan penggunaan baju adat sebagai seragam diperjelas untuk menanamkan rasa nasionalisme dan menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan peserta didik. Selain itu, untuk meningkatkan kesetaraan siswa dan meningkatkan disiplin maupun tanggung jawab siswa.
Teman kuliahku yang berasal dari Pulau Kijang, Indragiri Hilir, Riau, pun mengatakan, di daerahnya sudah sejak SD mengenakan pakaian adat. Namun, ia tak bisa merasakan layaknya teman-teman sepermainanya.
"SD ku MI Perguruan Hidayatul Mubtadiin sekarang Yayasan Hidayatul Mubtadiin. Dulu liburnya Jumat jadi gapakai baju Melayu," ujar Annafi.
Namun, saat masuk MTS lah ia baru merasakan menggunakan pakaian Melayu. "Warnanya pink," imbuhnya. Sementara, saat SMA setiap angkatan warnanya berbeda.
"Angkatanku pakai warna biru, untuk roknya warna abu-abu," tutup alumni SMAN 1 Reteh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H