"Hal apa yang paling kamu tidak sukai di dunia ini?" tanya seorang presenter talk show di YouTube pada narasumbernya yang seorang influencer ternama tanah air.
Yang ditanya tercenung sejenak sebelum menjawab demikian, "Saya paling tidak suka berdebat dengan orang bodoh atau orang gila."
"Wow," komentar sang presenter takjub. "Makjleb banget jawabannya. Hehehe.... Bisa tolong diuraikan lebih jelas maksudnya?"
Si wanita menjelaskan lebih detil, "Menurut saya berdebat dengan orang bodoh atau orang gila itu tidak ada gunanya. Karena untuk memenangkan perdebatan itu, maka saya harus menjadi lebih bodoh atau lebih gila dari orang tersebut. Saya tidak mau."
"Cakep," cetus presenter di hadapannya sembari bertepuk tangan. "Terus bagaimana sikapmu menghadapi orang seperti itu?"
"Ya diam saja," jawab lawan bicaranya cuek. "Saya tidak mau menjadi bodoh atau gila hanya karena ingin memenangkan perdebatan yang tidak perlu."
Aku setuju seratus persen dengan pendapat influencer muda yang cantik itu. Tak jarang kita kerap terpancing emosi mendengar kata-kata nyelekit yang keluar dari mulut orang lain. Tanpa sadar kita sering memperdebatkan sesuatu yang tidak penting hanya demi memenangkan pendapat kita sendiri.
Aku jadi teringat pada nenekku. Sejak dulu dia suka sekali membanding-bandingkan orang yang satu dengan yang lain. Orang yang ini lebih cantik dan anggun. Yang satunya kalah jauh padahal sebenarnya lebih kaya. "Seharusnya dia bisa merawat kecantikannya karena punya lebih banyak uang," gumam nenekku selalu. "Memang dasar pelit. Uangnya ditimbun terus dan tidak dimanfaatkan untuk dirinya sendiri. Nanti yang enak ya anak-cucunya. Salah sendiri. Bekerja keras tapi tidak mau menikmati hasilnya."
Emosiku terpancing mendengar kata-kata Nenek. Langsung wanita yang melahirkan ibu kandungku itu kutegur. Kukatakan bahwa setiap orang itu punya kegemaran masing-masing yang tidak bisa disamakan dengan orang lain. Ada yang suka berdandan, ada yang tidak. Ada yang suka merawat penampilannya dengan berlebihan, ada pula yang lebih suka berpenampilan apa adanya. Dan kedua hal itu tidak ada yang salah. Semuanya tergantung keputusan tiap-tiap individu dan hal itu harus dihargai.
"Bodoh, kamu anak bau kencur tahu apa!" umpat Nenek marah padaku. Dan biasanya ekspresi wajahku berubah cemberut karena tidak suka dimaki demikian. Ujung-ujungnya Nenek akan menceritakan sikapku yang dianggapnya membangkang tadi pada ibuku. "Anakmu sudah besar sekarang. Pintar membantah orang tua. Tidak sopan sama sekali. Kamu sudah gagal mendidiknya."
Nah, lho. Aku jadi bingung sendiri. Kok malah ibuku yang disalahkan? Selanjutnya aku dinasihati Ibu agar tak lagi menentang ucapan Nenek.
"Ibu tak mau disalahkan setiap kali kamu membantah ucapan Nenek. Mengertilah posisi Ibu yang terjepit, Nindy. Sudahlah, mengalah saja pada Nenek. Umurnya sudah tua. Jangan buat hatinya galau."
Hah?! Aku mendelik mendengar kalimat terakhir Ibu. Aku membuat hati Nenek galau? Apa tidak terbalik? Neneklah yang membuatku galau karena telah mengadu dombaku dengan Ibu!
Demi tak memperpanjang persoalan, kuturuti saja keinginan Ibu. Selanjutnya setiap kali Nenek membanding-bandingkan orang lain di depanku, aku cenderung menyingkir dengan tak kentara demi mencegah terjadinya perdebatan yang tak diinginkan.
Untung saja Nenek tidak tinggal serumah dengan kami. Beliau tinggal di luar kota dengan keluarga kakak laki-laki ibuku. Sekitar dua-tiga bulan sekali Nenek datang berkunjung ke rumah orang tuaku sekadar berganti suasana. Dan beliau selalu membawa oleh-oleh puluhan kisah yang tak menyenangkan hatinya selama tinggal di rumah pamanku. Hehehe....
Biasanya setelah satu-dua minggu menginap di rumahku, Nenek akan lanjut berkunjung ke rumah tanteku di kota lain. Dan aku yakin beliau membawa tak sedikit kisah yang tak berkenan di hatinya selama menginap di rumah kami. Hahaha....
"Memang benar apa kata influencer tadi," kataku pada diri sendiri. "Percuma berdebat dengan orang yang frekuensinya tidak sama dengan kita. Persoalan malah bisa jadi  panjang dan merantak ke mana-mana."
Sejak saat itu aku berusaha memperbaiki sikapku yang mudah terpancing emosi. Kalau ada kata-kata orang lain yang menyakitkan telinga maupun hati, aku berusaha tetap tenang. Kunalar sendiri untung-ruginya bagiku jika menindaklanjuti kata-kata orang itu. Jika kuanggap tak ada gunanya menanggapi omongan receh tersebut, aku cenderung mengambil sikap diam dan tak mempersoalkannya lagi.
Suatu ketika aku memergoki Ibu tengah menangis di rumah. Kudekati beliau, kutanya ada apa. Ibu lalu bercerita bahwa Nenek telah mengadu domba dirinya dengan tanteku. Kuhibur ibuku sembari berkata, "Sudahlah, Bu. Nenek kan sudah tua. Jangan buat hatinya galau. Ibu mengalah saja, ya."
Sontak wanita yang kusayangi itu mendelik. Tangisnya terhenti seketika. Lalu bibirnya tersenyum kecil. "Kamu nyindir Ibu ya, Nin? Itu kan kata-kata Ibu waktu kamu menentang kata-kata Nenek dulu."
Kutepuk-tepuk lembut pundak wanita itu. "Nindy nggak nyindir kok, Bu. Cuma nggak mau Ibu kelamaan sedihnya. Not worth it. Ini kan cuma persoalan sepele, Bu. Kebiasaan Nenek yang suka  nyinyir mulutnya dan membanding-bandingkan orang lain. Jangan sampai kita terpancing emosi demi hal-hal yang nggak penting."
Ibu mengangguk-angguk setuju. "Kamu benar, Nindy. Itu memang sudah menjadi karakter nenekmu. Hatinya sebenarnya baik. Cuma setiap orang pasti punya kekurangan, kan? Kita sebagai keluarga harus berusaha memakluminya."
"Iya, Ma. Nenek kan sudah tua. Sifatnya begitu ya sudahlah. Kita-kita yang lebih muda bersikap lebih bijak aja, deh."
Ibuku tersenyum penuh haru. Dipeluknya aku erat-erat. Seolah-olah berterima kasih atas permaklumanku atas sikap ibu kandungnya. Aku nyengir saja. Yah, mengalah bukan berarti kalah, kan? Ingat, kalau mau menang berdebat melawan orang bodoh atau gila, kita harus lebih bodoh atau gila dari orang itu. Nah, mau tidak?
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H