Mohon tunggu...
Sofia Grace
Sofia Grace Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang hidup bahagia dengan suami dan dua putrinya. Menggeluti dunia kepenulisan sejak bulan Oktober 2020. Suka menulis untuk mencurahkan isi hati dan pikiran. Berharap semoga tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Mengampuni (3)

30 Juli 2022   10:07 Diperbarui: 30 Juli 2022   10:07 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dan...salahku sendiri akhirnya menyetujui permintaannya, batin Lana sedih. Salahku sendiri akhirnya menghilang begitu saja dari kehidupan Mas Budi. Kuputuskan hubungan kami hanya melalui percakapan singkat di telepon. Aku berkata sudah tidak tahan lagi menunggu proses perceraiannya yang berbelit-belit dan menolerir ketidaktegasannya untuk meninggalkan perkawinannya begitu saja untuk lari bersamaku. Dan yang paling parah, aku berbohong telah melakukan aborsi. Aku ingin bebas, tidak lagi terikat oleh hubungan percintaan tanpa masa depan yang jelas.

"Sudahlah, Bu Mia. Semuanya sudah berlalu. Saya juga turut bersalah karena terlalu gegabah mengambil keputusan menghilang begitu saja dari kehidupan Pak Budiman, menyepi keluar kota, lalu melahirkan anak dan menyerahkannya pada Ibu. Setidaknya Ibu sudah menepati janji untuk merawat anak saya dengan baik dan membiayai pendidikan saya di Beijing. Bisa dibilang ini win-win solution, tidak ada yang perlu disesali lagi. Maaf, waktu istirahat saya sudah hampir selesai. Saya harus segera mengajar lagi."

"Baiklah, Lana. Aku tahu kamu banyak pekerjaan. Cuma ada satu hal penting yang harus kuberitahukan kepadamu...."

Lalu wanita itu mengatakan beberapa hal yang membuat Lana cuma bisa termangu mendengarnya. Kemudian dia mengeluarkan selembar kartu nama berwarna kuning keemasan dan memberikannya kepada Lana yang masih merasa bagaikan bermimpi, tidak mempercayai apa yang barusan didengarnya.

 

"Nomor ponsel pada kartu itu adalah nomor pribadiku yang hanya kuberikan kepada orang-orang tertentu saja. Silakan menghubungiku kalau kamu sudah siap bertemu dengan Amelia. Terima kasih banyak atas waktunya, Lana. Selamat siang."

Bu Mia membalikkan badannya meninggalkan Lana dan berjalan perlahan menuju pintu keluar. Begitu tubuh kurusnya menghilang di balik pintu, isak tangis Lana pun pecah. Tubuhnya sampai terguncang-guncang tidak sanggup menahan kepedihan luar biasa yang sangat menggores hatinya.

***

"Akhirnya kita bertemu lagi, Mas Budi," ujar Lana lirih. Dirinya sekarang berdua saja dengan kekasihnya di masa lalu. Dia bisa bebas memanggilnya dengan sebutan Mas Budi seperti dahulu kala. Masa-masa yang indah. Meskipun hanya berlangsung singkat, namun masih menggetarkan hatiku sampai sekarang. Sampai-sampai diriku sulit membuka hati untuk laki-laki lain..., batinnya nelangsa.

Lana sedang berada di depan pusara Pak Budiman. Bu Mia sengaja menunggu di dalam mobil yang diparkir tak jauh dari sana. Ia memberikan kesempatan pada gadis itu berduaan saja dengan mendiang kekasih hatinya. Biarlah dia mencurahkan segenap isi hatinya selama ini setelah berpisah begitu lama dengan Budi, batin janda Pak Budiman itu berbesar hati.

Budi, akhirnya aku bisa membawa Lana menjengukmu. Aku tahu selama ini dirimu tak pernah berhenti memikirkan gadis itu. Kehadiran Amelia-lah yang membuat hidup perkawinan kita lebih berwarna. Aku mengatakan telah mengambilnya dari panti asuhan demi meluluskan permintaanmu untuk mengadopsi anak. Dirimu mempercayainya begitu saja dan lambat-laun rumah tangga kita harmonis kembali. Bahkan ketika akhirnya di saat-saat kritisku aku mengungkapkan bahwa Amelia sebenarnya adalah buah cintamu bersama Lana dan betapa aku telah dengan kejam memisahkan kalian...dirimu tidak sedikitipun menyalahkanku. Kamu benar-benar seorang pria yang budiman, sesuai dengan namamu...

Bu Mia menangis dalam hati. Dia terkenang akan ucapan suaminya saat dia mengakui semua perbuatannya yang tidak terpuji. Ketika itu dia sedang merasa kesakitan sekali akibat kanker yang menggerogoti tubuhnya.

"Semuanya sudah takdir, Mia. Lupakanlah masa lalu. Aku bersyukur dirimu selama ini menyayangi Amelia bagaikan anak kandungmu sendiri. Kamu menerima kondisinya apa adanya. Aku sungguh berterima kasih...."

Suaminya lalu memeluk dan menciuminya penuh kasih sayang. Itulah momen paling membahagiakan dalam hidup Bu Mia. Ia memperoleh pengampunan yang tulus dari laki-laki yang dicintainya atas dosa-dosanya di masa lalu.

"Saya sudah selesai, Bu. Mari kita berangkat menemui Amelia."

Ucapan lirih Lana sontak membuyarkan lamunannya. Rupanya gadis itu sudah masuk kembali ke dalam mobil. Bu Mia lalu meminta sopir menjalankan mobil dan meninggalkan komplek pemakaman elit itu.

***

Akhirnya sampailah mobil Mercedes-Benz keluaran terbaru itu di halaman sebuah rumah mewah yang sangat luas, terdiri dari tiga lantai, dan bergaya klasik Eropa. Lana pernah beberapa kali ke rumah ini dulu ketika masih menjadi sekretaris Pak Budiman dan bosnya itu masih serumah dengan Bu Mia. Tak disangka beberapa waktu kemudian lelaki yang umurnya belasan tahun lebih tua darinya namun masih tampak sangat gagah itu meninggalkan rumah ini dengan membawa semua barang pribadinya.

Lana turut membantu mengepak berkas-berkas kerja bosnya itu dan memindahkannya ke tempat tinggalnya yang baru, sebuah apartemen diatas mal yang tidak jauh letaknya dari kantor tempat mereka bekerja. Apartemen yang selanjutnya menjadi saksi bisu kisah kasih mereka berdua yang akhirnya membuahkan seorang anak perempuan tak berdosa yang kini hendak ditemuinya, Amelia....

"Mamaaaa...!"

Kedua perempuan yang baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah itu menoleh ke arah suara nyaring tersebut. Jantung Lana berdegup kencang. Dilihatnya seorang perempuan muda yang mengenakan seragam baby sitter sedang berjalan mendekatinya dan Bu Mia sambil mendorong sebuah kursi roda yang diduduki seorang gadis kecil berusia sekitar lima tahunan. Anak gadis itu kelihatan gembira sekali menyambut kedatangan Bu Mia. Wajahnya tampak berseri-seri, persis seperti dalam foto yang ditunjukkan Bu Mia kepadanya. Amelia anakku...,batin Lana sedih melihat kondisi putri kandungnya. Lalu terngiang di telinganya kata-kata Bu Mia saat menemuinya di tempat kerjanya beberapa hari yang lalu.

Amelia menderita cacat bawaan pada saraf tulang belakangnya. Dokter mendiagnosisnya tidak akan mampu berdiri dan berjalan seumur hidupnya. Aku sudah berusaha mengobati dan menerapikannya kemana-mana tetapi belum berhasil. Ayah kandungnya telah meninggal dunia dan tak lama lagi giliranku. Tak seorangpun dari sanak-saudaraku yang bisa kupercaya untuk mengasuh dan mencarikan jalan kesembuhan baginya. Mereka semua hanya menginginkan hartaku belaka. Hanya dirimu, Lana...yang bisa kupercaya dengan sepenuh hatiku...akan mengerahkan segenap kemampuan yang kamu miliki demi kesembuhan Amelia. Atau...setidaknya bisa mendidiknya dengan baik agar menjadi anak yang mandiri."

"Tante namanya siapa? Namaku Amelia."

Lana terkejut. Ia merasa sangat terharu dan tak sanggup berkata-kata. Bu Mia segera mengambil-alih percakapan.

"Namanya Lana, Sayang. Tapi jangan panggil Tante, ya. Panggil saja Bunda Lana."

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun