Mohon tunggu...
Sofia Grace
Sofia Grace Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang hidup bahagia dengan suami dan dua putrinya. Menggeluti dunia kepenulisan sejak bulan Oktober 2020. Suka menulis untuk mencurahkan isi hati dan pikiran. Berharap semoga tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta yang Mengampuni (1)

29 Juli 2022   23:26 Diperbarui: 29 Juli 2022   23:27 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis pusat pendidikan bahasa Mandarin itu menyambut ramah tamunya, seorang ibu setengah baya berambut hitam pendek. Perempuan itu mengenakan gaun terusan selutut bernuansa hitam putih. Lengan pendek gaunnya memperlihatkan sepasang tangan yang kurus dan ringkih.

"Tolong tanya, apakah di sini ada guru yang bernama Lana?"

"Oh, iya ada. Lan Laoshi sedang mengajar privat di dalam kelas sekarang. Jam dua belas nanti selesai dan beliau istirahat makan siang. Apakah Ibu bersedia menunggu?"

Wanita bertubuh kurus itu melirik jam tangan mewah yang dipakainya. Menunggu lima belas menit lagi, gumamnya dalam hati. Tak apalah. Masalah ini harus diselesaikan secepatnya, karena waktuku tak lama lagi...

"Ok, saya tunggu."

Lalu dia bergerak menyusuri dinding ruangan. Terpampang di hadapannya foto-foto para murid dan guru berpose di Tian An Men Square, Forbidden City, Great Wall, dan tempat-tempat bersejarah Tiongkok lainnya. Dilihatnya sosok gadis muda yang sangat dikenalnya. Berkulit kuning langsat, berambut lurus sebahu, dan memiliki dua lesung pipi yang langsung menonjol keluar ketika sedang tersenyum. Lesung pipi yang berhasil menjerat hati suamiku, keluhnya dalam hati.

"Ini Lan Laoshi, kan?" tanyanya pada resepsionis sambil mengarahkan jari telunjuknya tepat pada sosok gadis berlesung pipi di foto itu.

"Benar, Bu. Itu foto Lan Laoshi ketika masih menjadi murid di sini. Beliau mengikuti study tour di Beijing selama seminggu dan kemudian pulang kembali ke Surabaya. Lalu Lan Laoshi mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Beijing dan menamatkan jenjang S1 Sastra Tionghoa di sana."

Ya, aku tahu itu semua. Karena aku turut membiayainya. Beasiswa dari tempat kursus ini hanya berapa puluh persen saja dari total biaya pendidikan di sana. Biaya hidup juga tidak ditanggung. Ah, Lana...sudah lima tahun lebih kita tidak bertemu. Menurut perhitunganku, mestinya sudah setahunan kamu mengajar bahasa Mandarin di tempat ini. Tetapi baru kali ini aku memberanikan diri datang menemuimu. Karena posisiku sudah terdesak..., batinnya penuh kegetiran.

Kriiiinnggg!

Terdengar dering bel berbunyi. Diliriknya jam tangannya lagi, jam dua belas pas. Sebentar lagi kami akan bertemu. Tolong kuatkanlah hatiku ya, Tuhan.

Seorang perempuan berjilbab muncul dari lorong dan berpamitan pada resepsionis. "Saya pulang dulu ya, Mbak. Mau jemput anak-anak pulang sekolah."

"Baik, Bu. Hati-hati di jalan. Lan Laoshi masih ada di kelaskah, Bu?"

"Iya. Beliau sedang merapikan bahan-bahan kursus tadi. Sebentar lagi pasti selesai. Ada perlukah?"

"Ini ada tamu yang sedang menunggu beliau."

Perempuan berbusana muslim itu mengarahkan pandangannya pada tamu yang dimaksud. "Oh, mau les bahasa Mandarin juga?"

Sang tamu mengangguk ringan. Senyuman ramah mengembang di wajahnya yang tirus. "Iya, mau tanya-tanya dulu."

"Lan Laoshi guru yang baik dan sabar. Dia telaten mengajar bahasa Mandarin mulai dari dasar, terutama buat ibu-ibu seperti kita. Meskipun saya seorang pemula, saya bisa mengikuti pelajaran tanpa kesulitan yang berarti. Metode Lan Laoshi yang kreatif benar-benar membuat belajar bahasa Mandarin terasa menyenangkan,"puji ibu itu seraya mengacungkan jempolnya menandakan betapa puasnya dirinya menimba ilmu dengan bimbingan gurunya.

Lawan bicaranya kembali tersenyum. "Baik, saya akan pertimbangkan untuk ambil les privat di sini. Terima kasih banyak atas petunjuknya."

Perempuan yang rupanya murid Lana itu menganggukkan kepalanya. Kemudian dia berpamitan sekali lagi dan meninggalkan tempat itu. Tamu asing yang masih setia menunggu itu merasakan kelegaan mengalir di hatinya. Syukurlah, gadis itu berhasil meraih cita-citanya menjadi seorang guru bahasa Mandarin yang bermutu. Aku turut senang usahanya tidak sia-sia.

"Tunggu sebentar ya, Bu. Saya akan menemui Lan Laoshi untuk memberitahukan kedatangan Ibu. Maaf, nama Ibu siapa?"

"Wuri,"jawab perempuan itu asal saja.

Perempuan penerima tamu itu segera beranjak menuju kelas tempat Lana berada. Tak lama kemudian dia kembali ke lobby dan dengan ramah mempersilakan tamu itu mengikutinya untuk menemui Lana.

"Langsung masuk saja, Bu. Lan Laoshi sudah menunggu di dalam."

"Terima kasih."

Perempuan bertubuh tinggi semampai itu lalu meninggalkan tamunya dan menuju kembali ke lobby.

Dengan perasaan campur aduk, wanita yang mengaku bernama Wuri itu membuka perlahan pintu di depannya. Seorang gadis cantik bangkit berdiri dari tempat duduknya. Ekspresi wajahnya tampak luar biasa terkejut melihat kehadiran 'Bu Wuri'.

"Bu Mia!" seru gadis itu lantang.

"Halo, Lana. Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kamu kelihatan semakin cantik dan matang."

"Ada keperluan apa Ibu datang mencari saya? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak saling berhubungan lagi?"

Perempuan yang rupanya bernama Mia itu berjalan mendekati Lana yang tampak tidak nyaman berjumpa kembali dengannya.

"Boleh saya duduk di sini? Ada hal penting yang harus saya ceritakan dan tidak akan memakan waktu lama. Tenanglah, Lana. Kalau tidak dalam keadaan terdesak, saya tidak mungkin datang merepotkanmu."

Lana melihat kesungguhan dari ucapan tamunya itu. Ia mengangguk menyetujui permintaan Bu Mia untuk duduk di salah satu bangku di barisan depan. Ia lalu mengambil kursi dan meletakkannya persis di depan perempuan itu. Kini kedua wanita berbeda generasi itu duduk berhadapan.

"Aku turut senang kamu berhasil meraih impianmu menjadi guru bahasa Mandarin, Lana. Tadi muridmu memuji caramu mengajar yang kreatif dan telaten."

"Maaf, Bu Mia. Bisa minta tolong supaya langsung pada pokok permasalahannya saja? Waktu istirahat saya cuma satu jam. Setelah itu ada murid privat lagi yang harus saya handle. Mohon maaf sebelumnya."

Bu Mia tersenyum. Gadis ini sudah tumbuh menjadi wanita yang matang. Aura ketegasan memancar dari sorot mata, nada bicara, dan gerak-geriknya. Pengalaman hidup yang menyedihkan mungkin telah mengubahnya menjadi karakter yang kokoh seperti sekarang.

Tiba-tiba tangan perempuan itu bergerak menarik rambut pendeknya. Lana terkesiap. Aku tahu bahwa itu rambut palsu. Tapi tak kusangka ternyata digunakan untuk menutupi kepala yang gundul pelontos di dalamnya, gumam Lana dalam hati.

"Aku sakit parah, Lana. Kanker payudara stadium empat. Kedua payudaraku sudah dioperasi, tapi ternyata sel-sel kankernya sudah menyebar kemana-mana. Segala macam pengobatan medis maupun altenatif sudah kujalani. Kemoterapi telah membuat rambutku rontok semua. Menurut dokter, usiaku sudah tidak lama lagi. Bisa bertahan enam bulan ke depan saja sudah bagus...."

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun