Mohon tunggu...
Sofia Grace
Sofia Grace Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang hidup bahagia dengan suami dan dua putrinya. Menggeluti dunia kepenulisan sejak bulan Oktober 2020. Suka menulis untuk mencurahkan isi hati dan pikiran. Berharap semoga tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Petuah Eyang (3)

29 Juli 2022   12:47 Diperbarui: 29 Juli 2022   12:52 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selama ini aku selalu mengalah padamu. Engkau selalu merebut perhatian Ibu dalam segala hal. Aku tidak mempersoalkannya karena kita bersaudara kandung. Tapi rupanya kamu mempunyai hati yang culas. Suamiku pun tega kamu manfaatkan demi mempunyai keturunan! Dasar perempuan serakah, tidak punya hati nurani!" seru Mama dengan suara bergetar hebat. 

Lalu pecahlah tangisnya yang begitu memilukan. Tubuhnya sampai berguncang-guncang saking terpukulnya. Suasana tegang langsung mencair. Eyang, Papa, Tante Karin, dan Om Guntur terdiam melihat adegan yang sangat menyedihkan itu. Biasanya Mama adalah orang yang tegar dan jarang sekali menitikkan air mata. Kini sedu-sedannya benar-benar menunjukkan betapa hatinya sangat terluka.

Kuhampiri wanita yang sangat kusayangi itu. Kupeluk erat-erat tubuhnya yang ramping dan kami berdua menangis bersama.

***

Setelah Om Guntur dan Tante Karin pergi dari rumahku, Papa dan Mama mengurung diri lama sekali di dalam kamar tidur mereka. Sesekali kudengar isak tangis Mama dan suara Papa yang berulang-kali memohon ampun atas kesalahannya. Sedangkan Eyang dengan bersimbah air mata hanya bisa duduk di sofa sambil memandangi foto almarhum Eyang Kakung. Dibelai-belainya foto itu dan ditumpahkannya seluruh isi hatinya seolah-olah suami tercintanya yang telah berpulang belasan tahun yang lalu itu dapat mendengarkan curahan hatinya.

Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Kuceritakan peristiwa tadi kepada Martha melalui pesan WA di ponsel dan adikku itu membalas pesanku dengan berita yang lebih menyedihkan lagi. Orang tuanya sepakat untuk bercerai. Tante Karin mengajaknya untuk meninggalkan rumah dan pindah ke apartemen mereka yang lokasinya cukup jauh dari rumah.

Martha dengan sedih menceritakan bahwa ayahnya tadi masih memeluknya dan berkata bahwa sampai kapanpun juga dirinya tetap menganggap Martha sebagai anak kandungnya. Tak ada yang akan berubah dengan hubungan mereka. Hanya saja ayahnya merasa sudah tidak sanggup lagi melanjutkan mahligai perkawinannya dengan ibunya. Dia juga meminta maaf kepada Martha atas perselingkuhannya dengan perempuan lain. Om Guntur beralasan bahwa selama ini dia merasa sangat tertekan dengan sikap Tante Karin yang kerap merendahkannya karena penghasilannya jauh dibawah istrinya itu.

Aku merenungi semua kejadian tragis dalam keluarga kami dan menyadari bahwa semua pihak yang terlibat benar-benar mendapatkan karmanya masing-masing. Tante Karin telah mengkhianati suaminya dan akhirnya tibalah giliran Om Guntur mengkhianatinya dengan perempuan lain. Pernikahan mereka yang telah dibangun selama hampir dua puluh lima tahun itu akhirnya kandas dengan sangat menyakitkan. Om Guntur juga ternyata dibohongi oleh kekasihnya mengenai kehamilannya. Dalam sekejap mata ia kehilangan istri, anak, dan kekasih gelapnya sekaligus.

Lalu Papa...pupus sudah perasaan hormatku kepadanya. Menantu kebanggaan Eyang yang dianggapnya memenuhi kriteria bibit, bebet, dan bobot yang baik itu ternyata telah memecah-belah anak-anak Eyang sendiri. Sikap Eyang yang selama ini terlalu pilih kasih terhadap Tante Karin justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Putri yang selalu dibangga-banggakannya itu justru menorehkan aib dan luka yang paling menyakitkan bagi Eyang di sepanjang hidupnya.

Lalu bagaimana dengan Mama? Apakah karmanya? Aku tidak tahu. Selama ini aku menganggapnya sebagai wanita paling berbudi yang pernah kukenal. Kepatuhannya terhadap ibunda dan suaminya seringkali membuatku merasa gemas karena seakan-akan Mama tidak mempunyai pendirian. Mungkinkah ini karmanya karena bersikap tidak tegas dalam menentukan jalan hidupnya? Entahlah.

Lalu bagaimana dengan diriku dan Martha? Sebenarnya gadis itu adalah korban yang paling patut dikasihani dari peristiwa ini. Aku memang kehilangan kepercayaan terhadap ayahku, tetapi Martha kehilangan kepercayaan atas keberadaan dirinya di muka bumi ini!

Ya Tuhan, kumohon tunjukkanlah jalan yang terbaik bagi keluarga kami. Aku sudah pasrah dengan apapun keputusan Mama di balik pintu kamarnya. Aku hanya ingin berbaring diatas tempat tidurku...memejamkan mata, terlelap dalam tidur yang panjang, dan ketika terbangun...abakadabra!!! Duniaku kembali indah seperti dahulu kala dengan Martha sebagai adik sepupuku dan tak pernah ada aib apapun antara Tante Karin dengan ayahku.

***

Akhirnya Mama mengambil keputusan untuk berpisah dengan Papa. Keesokan harinya ia mengajak Eyang tinggal di hotel untuk sementara waktu sembari mencari sebuah rumah kontrakan yang layak buat dihuni. Aku diberi pilihan bebas untuk ikut bersama mereka atau tetap tinggal bersama Papa. Kupilih alternatif yang pertama karena aku ingin mendampingi Mama melewati masa-masa sulit ini.

Papa tak henti-hentinya meminta maaf kepadaku dan bersujud memohon ampunan Eyang. Nenekku itu tidak berkata apa-apa, hanya menatap ayahku dengan ekspresi sedih dan kecewa. Aku hanya bisa berkata supaya Papa baik-baik tinggal sendirian di rumah, aku akan berusaha sesering mungkin mengunjunginya.

Papa mengangguk terharu dan kemudian menyuruhku membawa satu dari dua mobil yang kami miliki. Kupilih mobil yang paling sering kukendarai dan berangkatlah diriku, Mama, beserta Eyang menuju ke hotel terdekat untuk bernanung sementara waktu. Di perjalanan kuterima pesan WA dari Papa yang memperlihatkan foto bukti transfer sejumlah besar uang dari mobile banking miliknya ke rekeningku . Aku sungguh merasa terharu. Papa benar-benar masih berusaha menjadi kepala rumah tangga yang baik dengan mencukupi kebutuhan finansial kami.

Beberapa hari kemudian kami berhasil menemukan rumah kontrakan yang memadai dan Mama mengajukan gugatan cerai ke pengadilan negeri. Aku masih tetap melanjutkan kuliahku seperti biasa, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Bulan demi bulan berlalu dan akhirnya palu hakim diketokkan menandai putusnya secara hukum hubungan suami-istri antara kedua orang tuaku. Mama mendapatkan hak atas mobil yang sudah menemani kami selama ini dan tunjangan bulanan dari Papa. Rumah lama kami masih ditempati Papa dan kelak akan diwariskan seutuhnya kepadaku sebagai anak tunggal.

Sebenarnya secara agama Katolik yang kami anut, gereja tidak memperkenankan terjadinya perceraian apapun alasannya, selama kedua belah pihak masih hidup. Akan tetapi Mama tidak mempedulikan hal itu. Dirinya sudah merasa puas bisa resmi berpisah dengan Papa secara hukum negara. Adapun mengenai hukum agama, beliau berkata,"Biarlah hal itu menjadi pertanggungjawabanku secara pribadi dengan Tuhan."

"Apakah Mama belum memaafkan Papa?"

 Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun