Mohon tunggu...
Sofia Grace
Sofia Grace Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang hidup bahagia dengan suami dan dua putrinya. Menggeluti dunia kepenulisan sejak bulan Oktober 2020. Suka menulis untuk mencurahkan isi hati dan pikiran. Berharap semoga tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petuah Eyang (1)

28 Juli 2022   20:15 Diperbarui: 28 Juli 2022   20:24 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Carilah pasangan hidup yang mempunyai bibit, bebet, dan bobot yang baik. Bibit itu latar belakang keluarga, sedangkan bebet itu penampilan. Selanjutnya bobot adalah karakter dan perilaku dari orang itu sendiri. Jadi pasangan hidup yang ideal itu hendaknya memiliki latar belakang keluarga yang baik, demi menjaga reputasi keluarga kita. Lalu bisa berpenampilan dengan layak dan pantas sehingga tidak menjadi gunjingan orang lain. Terakhir harus seiman, sopan, dan bertanggung jawab mengayomi keluarga lahir-batin. Seandainya ketiga kriteria itu dipenuhi , niscaya rumah tangga yang dibina akan sempurna."

Demikianlah petuah Eyang selalu kepada cucu-cucunya, yaitu aku dan Martha, adik sepupuku. Martha adalah putri kandung Tante Karin, yakni kakak kandung ibuku dan putri sulung Eyang. Meskipun hanya bersaudara sepupu, namun wajah dan perawakan kami berdua sangat mirip sehingga banyak orang yang mengira kami berdua adalah saudara kandung. Ditambah lagi namaku sendiri adalah Maria, yang dalam kisah di kitab suci agama Katolik merupakan saudara kandung Martha.

"Contoh yang sempurna adalah ayah-ayah kandung kalian sendiri," ujar Eyang melanjutkan nasihatnya. Beliau menatap Martha dengan sorot mata penuh kasih sayang dan berkata,"Ibumu menjalin kasih dengan ayahmu yang memenuhi kriteria bibit, bebet, dan bobot yang baik, Martha. Akhirnya mereka menikah dan hidup berbahagia hingga saat ini."

Kemudian perempuan berusia hampir enam puluh tahun yang masih tampak awet muda itu berpaling kepadaku dan meneruskan ucapannya,"Ibumu dulu adalah seorang gadis yang pemalu. Ia tidak pernah berpacaran seumur hidupnya. Akhirnya Eyang menjodohkannya dengan putra teman baik Eyang, yang kemudian menjadi ayahmu. Bukankah mereka hidup rukun dan harmonis sampai sekarang?"

Aku dan Martha hanya mengangguk-angguk saja demi menyenangkan hati nenek tercinta. Maklum, pada waktu itu diriku masih seorang gadis remaja berusia tiga belas tahun, sedangkan Martha baru menginjak usia sebelas tahun. Hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan masih jauh di luar pemikiran kami.

Semenjak suaminya meninggal dunia akibat serangan jantung, nenek kami hidup berpindah-pindah diantara rumah Tante Karin dan rumahku. Rumahnya sendiri sudah dijual dan uang hasil penjualannya disimpan Eyang untuk kebutuhan hari tua.

Sejak kecil aku sudah dapat merasakan sikap pilih kasih Eyang terhadap Martha. Gadis lincah berlesung pipi itu selalu dipuji pintar, cantik, dan mandiri. Dia tidak pernah ditegur sekalipun melakukan kesalahan. Sedangkan diriku bila berbuat keliru sedikit saja sering dimaki 'bodoh, goblok'. Apabila aku menangis karena merasa sakit hati dengan cemoohannya, Eyang justru mengata-ngataiku,"Dasar cengeng! Martha lho, tidak pernah menangis."

Karena itu kehadiran Eyang seringkali membuatku merasa tidak nyaman. Walaupun beliau datang dengan membawa makanan-makanan enak maupun tambahan uang saku buatku, namun diriku kerap merasa tertekan karena harus selalu berbuat baik dan benar di hadapannya. Eyang juga suka mengadukan kesalahanku pada Mama. Sayangnya ibuku tidak pernah membelaku sedikitpun, bahkan ia menasihatiku untuk mengalah saja pada Eyang yang sudah sepuh.

Terkadang aku mencoba untuk merenungkan kenapa nenekku lebih menyayangi Martha daripada diriku. Pernah kucoba menanyakannya pada Mama, namun jawabannya hanya membuatku semakin kecewa. "Eyang menyayangimu sama seperti Martha, Nak. Jangan berpikir yang bukan-bukan, ya."

Aku hanya mendengus kesal mendengarnya. Seiring berjalannya waktu, akhirnya kuputuskan untuk tidak menggubris perkataan-perkataan Eyang yang tidak mengenakkan. Toh, beliau lebih sering tinggal bersama Tante Karin dan keluarganya daripada bersama keluargaku. Dari lubuk hatiku yang paling dalam pun sama sekali tidak timbul perasaan iri hati terhadap Martha. Statusku dan dirinya yang sama-sama anak tunggal membuat hubungan kami berdua sangat dekat, layaknya saudara kandung. Ditambah lagi jarak rumah kami juga tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit saja dengan naik mobil. Seminggu sekali kami bergantian mengunjungi rumah masing-masing untuk bermain bersama.

Tahun demi tahun berlalu. Aku tumbuh menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh tahun. Nalar dan kedewasaanku pun berkembang seiring berjalannya waktu. Lama-kelamaan kusadari kenapa Mama tidak sanggup membela diriku jika dimarahi ibunya. Karena ternyata dirinya juga memperoleh perlakuan yang sama. Eyang selalu membangga-banggakan Tante Karin sebagai seorang wanita karir yang sukses dan ibu rumah tangga yang jempolan.

Keahliannya memasak dan membuat kue seringkali diunggah di dunia maya seperti Instagram maupun YouTube, dan memperoleh apresiasi yang luar biasa dari para netizen. Teman-temannya banyak yang berasal dari kalangan orang kaya-raya dan kerap mengadakan arisan maupun persekutuan doa bergiliran di rumah-rumah mereka. Lambat-laun status Tante Karin terangkat menjadi salah seorang sosialita yang cukup berpengaruh di kota ini.

Kondisi tanteku yang glamor sungguh berbanding terbalik dengan ibuku yang pendiam dan sederhana. Sebenarnya Mama lebih cantik dan lembut, namun beliau jenis orang yang tidak suka menonjolkan diri. Teman-temannya tidak banyak, hanya sebatas kawan-kawan baik di masa sekolah dulu dan tetangga-tetangga dekat. Bahkan dahulu ketika aku masih kecil dan diantarnya setiap hari berangkat ke sekolah, ibuku jarang sekali bergosip-ria dengan ibu-ibu lainnya yang menunggu di sekolah. Wanita berambut lurus dan berwarna hitam legam itu lebih suka langsung pulang kembali ke rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga sembari menunggu waktu untuk menjemputku kembali.

Mama dapat membuat masakan maupun jajanan rumahan alakadarnya. Aku dan Papa sudah merasa cukup puas menikmati hasil kreasinya. Namun beberapa kali kudengar Eyang menyindir bahwa hasil karya Tante Karin lebih lezat dan sedap dipandang mata. Mama selalu diam saja setiap kali ibu kandungnya itu berkata demikian.

Ah, bagaimana mungkin aku bisa mengharapkan pembelaan dari ibuku kalau dia sendiri bahkan tidak mampu membela dirinya di hadapan Eyang? keluhku dalam hati. Benar-benar tidak ada jalan lain kecuali menebalkan telinga dan menabahkan hati demi menjaga keharmonisan keluarga.

Hingga pada suatu siang, Martha tiba-tiba datang menjemputku di rumah dan mengajak pergi ke suatu tempat untuk berbicara. Wajahnya tampak kuyu dan matanya sembab seperti habis menangis sepanjang siang dan malam. Tiba-tiba adik sepupuku itu menghentikan mobilnya di samping taman umum komplek perumahanku. "Orang tuaku akan bercerai...," ujarnya lirih. Sorot mata gadis itu tampak sendu dan berkaca-kaca.

Aku luar biasa terkejut. Selama ini keluarga mereka terlihat rukun dan harmonis. Foto-foto keluarga yang mesra seringkali diunggah di akun media sosial tanteku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun