Lina berusaha menjadi figur orang tua yang baik dengan memberikan perhatian yang seimbang pada Eddy, Â kakak Luki. Bocah berambut hitam ikal seperti dirinya itu sering diajaknya berbincang-bincang dan dibelainya dengan lembut, sehingga tidak merasa dirinya pilih kasih terhadap sang adik. Keinginan Eddy untuk ikut les robotic dan menggambar pun diturutinya. Dan syukurlah putra sulungnya itu tidak merasakan keanehan pada perilaku hiperaktif adiknya. Hanya dia merasa Luki terlalu nakal sehingga membuat ibu mereka sering marah-marah.
"Luki itu merasa tidak enak badan kalau diam duduk manis saja, Kak," kata sang ibunda menjelaskan. "Jadi tolong Kakak temani Luki bermain, ya. Main mobil-mobilan atau robot-robotan, merangkai puzzle atau lego, menggambar dan mewarnai, atau yang lainnya asalkan masih di dalam rumah ya, Kak. Kalau mau bermain di luar rumah, tunggu Ayah datang, supaya bisa mengawasi kalian berdua," pesan ibundanya selalu.
Eddy kerap mematuhi nasihat ibunya. Ia tahu sebagai anak yang lebih tua, dirinya berkewajiban melindungi adiknya. Namun ada kalanya dia merasa kesal terhadap keusilan saudara yang hanya setahun lebih muda darinya itu. Berkali-kali Luki merebut dan merusakkan mainan-mainannya sehingga ia terpaksa memarahi sang adik. Yang dimarahi hanya tertawa nyengir dan bahkan sengaja menjatuhkan mainan lainnya ke lantai. Eddy tidak terima dan mulailah terjadi perkelahian.
Lina yang mendengar adanya kegaduhan biasanya langsung muncul dan berteriak-teriak memarahi anak-anaknya. Kadangkala ia memukuli keduanya dengan tangan kosong atau kemoceng, hingga drama itu berakhir dengan ratap tangis kedua bocah yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak itu. Pada saat kondisi sudah tenang, sang ibunda dengan penuh penyesalan memeluk erat kedua jagoannya dan membisikkan kata maaf di telinga mereka. Tak lupa dia menjelaskan kenapa tadi terpaksa bersikap keras terhadap dua buah hatiya tersebut.
Si sulung biasanya menghambur ke dalam dekapan hangat ibunya. Sebaliknya si bungsu tak bereaksi. Dia memang tidak begitu bisa mengekspresikan kasih sayang terhadap orang-orang di sekitarnya. Mungkin dikarenakan gangguan perkembangan saraf yang dialaminya sebagai anak berkebutuhan khusus. Ia sebenarnya sangat gemar berbicara. Pelafalannya sangat jelas. Akan tetapi susunan kalimat dan intonasinya seringkali kurang tepat, serta konsentrasinya masih pendek. Misalnya ketika merasa lapar, ia inisiatif berteriak,"Ibu! Luki lapar."
Sang ibu segera menyiapkan makanan di meja makan dan ia meminta Luki datang menghampirinya. Anak kecil berkulit kuning langsat itupun bergerak lincah menuju kea rah meja makan. Namun jika ia melihat ada suatu benda yang menarik perhatiannya, ia akan berpaling mendekati benda itu, mengamati, memegangnya, lalu mengutak-utiknya sehingga tidak jadi makan.
Ketika makan pun bocah itu tidak bisa duduk tenang. Seringkali ia mengacak-acak sayuran dan lauk-pauk yang terhidang di piringnya ataupun yang masih terletak di dalam tudung saji. Kotak berbentuk vertikal tempat menyimpan sendok-garpu dibukanya. Sendok-sendok dan garpu-garpu bersih dikeluarkan dan saling dihantamkan seolah-olah peralatan makan itu sedang bertarung. Merasa kepalanya pening melihat perilaku anaknya, Lina kemudian mengosongkan meja makannya dari benda apapun untuk seterusnya. Saat waktu makan tiba, ia hanya menghidangkan makanan bagi anak-anaknya sesuai takaran saja. Jika ada orang dewasa mau makan, bisa mengambilnya sendiri di dapur.
Pada saat mandi, entah berapa kali sampo dan sabun cair ditumpahkan isinya sebanyak mungkin ke dalam closet oleh Luki dan disiram pelan-pelan memakai shower. Hatinya gembira sekali melihat gelembung-gelembung yang muncul, seolah-olah ia telah melakukan penemuan yang luar biasa.
Itulah sebabnya hingga saat ini bocah berambut lurus yang berparas mirip ayahnya itu masih belum dilepas oleh ibunya untuk mandi seorang diri. Lina masih mengawasinya mandi atau meminta Eddy untuk mandi bersama adiknya.
Pernah pada suatu siang Luki menemukan kunci mobil ibunya dan menekan tombol alarm berkali-kali hingga berbunyi tanpa henti dan sangat memekakkan telinga. Lina yang mendengarnya segera beranjak menuju ke teras dan ia berteriak-teriak histeris ketika melihat putra bungsunya yang ternyata berulah. Bocah yang menginjak kelas TK A itu berlari ketakutan dan secara spontan melemparkan kunci mobil sembarangan dan...blup! Kunci itu masuk ke dalam selokan depan rumah.
Sang ibunda semakin gusar. Dengan penuh amarah diseretnya bocah yang ketakutan itu masuk ke dalam rumah dan ditamparnya wajahnya berkali-kali. Luki menangis luar biasa. Lina baru berhenti setelah Eddy berteriak menangis meminta ibunya berhenti memukuli sang adik. Wanita berusia tiga puluhan itu tersadar.Â
Ia berdiri terpaku. Lalu isak tangisnya pecah melihat kedua pipi Luki lebam akibat tamparan-tamparannya. Diambilnya waslap dan dimasukkannya beberapa butir es batu ke dalamnya. Diberikannya pada Eddy untuk mengompres kedua pipi adiknya. Ia sendiri menelepon security perumahan untuk membantunya mencaril kunci mobil yang jatuh ke dalam selokan.
Akibat peristiwa menyedihkan itu, perempuan yang dulunya suka tampil modis namun kini kelihatan kurang terawat itu mulai berkonsultasi dengan seorang psikolog. Ia didiagnosis mengalami gejala depresi. Mungkin dikarenakan selama ini ia melakukan hampir segalanya seorang diri. Psikolog menganjurkannya menyediakan me time, yaitu waktu khusus untuk dirinya sendiri dengan melakukan hobi yang digemarinya.
Lina menurutinya dengan melampiaskan gejolak pikiran dan perasaannya dalam bentuk tulisan fiksi. Kerajinannya menulis setiap malam setelah anak-anaknya tertidur pulas membuahkan cerpen-cerpen yang kemudian dikirimkannya ke redaksi majalah-majalah wanita ibukota. Lambat-laun karya-karyanya diterbitkan dan membuahkan penghasilan sedikit demi sedikit. Perasaan bahagia karena karyanya dihargai membuat batinnya menjadi tenang dan pelan tapi pasti dirinya sembuh dari gejala depresi yang dideritanya.Â
Tiap hari dirinya berdoa semoga Tuhan memberikan pekerjaan yang baik pada suaminya di Surabaya saja. Jadi tidak tinggal berjauhan seperti bertahun-tahun ini dijalaninya. Eddy dan Luki membutuhkan figur seorang ayah yang menemani mereka setiap hari. Dirinya pun membutuhkan kehadiran pasangan secara utuh dalam membina rumah tangga yang harmonis.
Wanita yang sebenarnya berhati lembut itu tekun bergelut dalam doa-doanya dan mengimani bahwa semua akan indah pada waktuNya. Dan setelah dua tahun berlalu, kini tiba-tiba suaminya akan bekerja dari rumah saja karena pandemi corona!
"Benar-benar indah pada waktuNya," gumamnya pelan. Ia benar-benar bahagia Tuhan akhirnya menunjukkan kuasaNya. Senyum lebar tersungging dari bibirnya yang merah merekah. Lucu, di saat istri-istri lainnya berkeluh-kesah tentang suami mereka yang dipotong gajinya akibat pandemi, justru dirinya merasa luar biasa bersyukur suami tercintanya di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Diambilnya ponsel dan login ke mobile banking pribadinya. Diperiksanya saldo tabungan. "Cukup untuk biaya kebutuhan keluarga setahun, termasuk suplemen dan terapi Luki"batinnya diliputi kelegaan. Selama ini dirinya selalu berusaha menyisihkan sedikit uang belanja rumah tangga untuk ditabung setiap bulan. Ditambah penghasilannya sebagai penulis cerpen, mereka masih bisa hidup layak setidaknya setahun ke depan. Biarlah uang pesangon suaminya dipakai sebagai modal kerja di rumah. Dan keberadaan pasangan hidupnya itu di rumah setiap hari bisa membuat dirinya semakin produktif lagi menghasilkan cerita-cerita yang bermutu.
Sepasang mata Lina berkaca-kaca penuh haru. Ia bergumam lirih, "Semua benar-benar indah pada waktuMu, Tuhan. Terima kasih."
***
Kini setiap pagi Lina dan Bayu bergantian mendampingi Luki mengikuti pelajaran sekolah melalui daring. Bayu menjadi semakin memahami betapa Luki membutuhkan perhatian lebih. Jauh di dalam lubuk hatinya terbersit rasa penyesalan agak menelantarkan anak-anaknya selama ini.
Setiap sore sehabis merampungkan pekerjaannya, ia menemani kedua anak laki-lakinya bermain bola basket di halaman rumah atau sesekali bersepeda keliling komplek dengan menggunakan masker. Lina biasanya menyiapkan teh hangat dan makanan ringan yang seringkali ludes tak tersisa begitu dihidangkan.
Malamnya, pria berbadan tegap itu membantu Eddy dan Luki membuat pekerjaan rumah yang ditugaskan guru mereka. "Kau telah membina anak-anak dengan baik, Lin. Maafkan aku dulu jarang ikut serta membimbing mereka. Sekarang aku menyadari betapa beratnya bebanmu mengurus mereka berdua sendirian," kata Bayu menyesal seraya memeluk istrinya mesra. Lina tersenyum bahagia dan berkata dalam hati, "Terima kasih, Tuhan."
Tuhan telah memberikannya lebih dari apa yang ia pinta.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H