Selama sebulan pertama Sonia bersekolah, hampir setiap hari terdengar keributan dari ruang kelasnya. Entah itu teriakan, racauan, tangisan, ataupun suara meja dipukul-pukul. Guru pendampingnya sering merasa kewalahan menghadapi emosi murid spesialnya yang suka meledak-ledak itu.
Syukurlah latar belakang keilmuanku di bidang psikologi dan pengalamanku mengajar anak-anak berkebutuhan khusus dahulu sangat membantuku untuk tetap berkepala dingin. Aku terus memberikan motivasi dan masukan yang berguna bagi para guru supaya dapat menangani Sonia dengan baik. Murid-murid yang lain juga diajari untuk turut menjaga anak itu, memberikan teguran apabila kawannya itu melakukan perbuatan yang tidak semestinya, dan memberikan contoh-contoh yang baik untuk ditirunya.
Pada bulan kedua, Sonia sudah mau berbaris bersama kawan-kawannya dari awal hingga akhir, meskipun belum bisa menirukan nyanyian maupun gerakan yang dipandu oleh gurunya. Ia hanya diam sambil tersenyum-senyum sendiri, namun tetap tenang berdiri di dalam barisan. Di dalam kelas anak itu masih marah-marah sesekali, namun intensitasnya semakin berkurang.
Bulan ketiga, murid spesial ini semakin mandiri dalam menjalankan tugas-tugasnya di dalam kelas. Ia juga mulai mau tersenyum bila disapa teman-teman dan guru-gurunya. Kemampuan berbicaranya masih terbatas untuk ukuran anak seusianya, namun artikulasinya semakin jelas dan bisa secara mandiri mengucapkan empat kata dalam satu kalimat.
Bulan keempat, sudah jarang sekali terdengar keributan dari ruang kelasnya. Meskipun belum bisa bermain bersama teman-temannya, namun dia selalu tampak senang berada di dalam kerumunan murid-murid. Selanjutnya anak istimewa ini berhasil menghafalkan nama-nama wali kelas, guru pendamping, teman-temannya, dan bahkan pegawai cleaning service. Setelah berembug dengan Vivi, wali kelasnya, akhirnya kuputuskan untuk menghentikan pemakaian guru pendamping buat Sonia.
Sang ibu tentu saja merasa kegirangan mendengar berita ini. Biaya terapi dan les yang diperlukan untuk anak berkebutuhan khusus sangatlah besar. Penghentian pemakaian jasa guru pendamping di sekolah benar-benar meringankan beban pengeluaran orang tua.
Pada bulan kelima muncul lagi emosi Sonia yang meledak-ledak. Vivi sampai kewalahan dibuatnya. Rupanya anak itu merasa kehilangan guru pendampingnya. Akhirnya sang guru yang sudah kembali bertugas sepenuhnya di penitipan anak lantai dua, sesekali berinisiatif menengok dan menemani sebentar murid yang dulu didampinginya tersebut. Semula dia menengok seminggu tiga kali, kemudian berkurang menjadi seminggu dua kali, seminggu sekali, hingga akhirnya hanya sekedar lewat menyapa saja.
Pada bulan-bulan selanjutnya Sonia menunjukkan perkembangan yang semakin berarti. Ella berkomentar, "Dulu saya sempat kuatir Sonia akan memberikan pengaruh yang buruk pada anak-anak di sini, Bu. Tapi ternyata kekuatiran saya tidak terbukti. Anak itu kini begitu manis, pintar, dan mandiri. Apa yang membuat Ibu dulu berani menerimanya bersekolah di sini?"
"Dia sudah bersekolah selama tiga tahun di kelompok bermain. Daya kognitif dan kemampuan akademiknya setara dengan anak reguler seusianya. Itu menunjukkan betapa orang tuanya sudah berupaya sangat keras untuk membekalinya dengan berbagai jenis terapi. Tinggal kemampuan bersosialisasi dan mengendalikan emosinya saja yang perlu dibenahi. Dan hati saya terketuk untuk memberikan kesempatan pada anak itu, El. Saya membayangkan seandainya anak saya berada pada posisi Sonia, maka saya sebagai orang tuanya pun akan berusaha memasukkannya ke sekolah umum..., supaya dia bisa meniru perilaku anak-anak reguler."
Ella tercenung, berusaha mencerna baik-baik penuturanku barusan. "Kesempatan buat Sonia..." gumamnya lirih. Aku mengangguk mengiyakan.
***