Mohon tunggu...
Sofia Grace
Sofia Grace Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang hidup bahagia dengan suami dan dua putrinya. Menggeluti dunia kepenulisan sejak bulan Oktober 2020. Suka menulis untuk mencurahkan isi hati dan pikiran. Berharap semoga tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesempatan Buat Sonia (Selesai)

26 Juli 2022   22:16 Diperbarui: 26 Juli 2022   22:18 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berakhir sudah free trial Sonia selama tiga hari berturut-turut di sekolah. Ibunya berinisiatif menghadapku langsung untuk menanyakan hasil observasi kami.

"Hari pertama Sonia tidak mau berbaris dan bahkan mendorong teman di depannya hingga jatuh menyeruduk anak lain di depannya dan seterusnya hingga anak-anak itu akhirnya terjatuh semua, Bu," ujarku memulai laporan hasil observasi dan kulihat wanita di depanku itu tersipu malu.

Kemudian kulanjutkan ucapanku ,"Lalu saya menjadi guru pendamping Sonia di kelas. Ternyata kemampuan akademiknya setara dengan anak-anak lainnya. Hanya memang konsentrasinya mudah teralihkan begitu mendengar suara atau melihat sesuatu yang menarik hatinya. Kepatuhannya juga masih kurang, cenderung semaunya sendiri. 

Kalau bosan mendengarkan guru bercerita, dia langsung berteriak meracau dan memukul-mukul meja. Jika menolak melakukan suatu aktivitas fisik, tantrumnya muncul dan ia menggigit punggung tangannya. Anak-anak lainnya memang merasa heran melihat perilakunya yang berbeda, tapi mereka tidak takut, Bu. Cuma mengeluhkan Sonia agak berisik dan melaporkannya pada guru apabila teman baru mereka ini marah-marah."

Bu Olga diam saja mendengarkan penuturanku. Ia kelihatannya memahami bahwa memang demikian adanya perilaku anak spesialnya.

"Pada hari kedua saya meminta orang lain untuk menjadi pendamping Sonia. Selanjutnya di hari yang ketiga saya mencoba orang yang berbeda, Bu. Mereka adalah guru-guru yang setiap hari bertugas di penitipan anak lantai dua. Akhirnya dari kedua orang itu saya pilihkan kandidat yang paling sesuai dengan karakter Sonia, apabila dia jadi bersekolah di sini. Tentunya guru pendamping itu akan saya latih dan pantau terus sampai bisa mengarahkan Sonia dengan baik."

Bu Olga terkesima. "Jadi anak saya diterima bersekolah di sini, Bu?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Sonia layak diberi kesempatan, Bu. Dia anak yang cerdas dan suka belajar. Setiap kali diberikan lembar kerja, dia tidak pernah menolak dan selalu mengerjakannya sampai selesai. Kalaupun dia tidak mengerti, masih bisa diarahkan pelan-pelan. Yah, sementara ini lembar kerja itu dan guru pendamping yang bisa membuatnya patuh. Selanjutnya kami akan mencari cara bagaimana supaya dia dapat bersosialisasi dengan teman-temannya dan mengikuti peraturan di sekolah secara mandiri."

"Terima kasih, Bu," kata wanita itu terharu. Senyuman penuh kelegaan mengembang di wajahnya yang polos tanpa riasan. "Sebelumnya saya meminta maaf terlebih dahulu kalau anak saya nantinya sering merepotkan. Dan apabila ada masukan-masukan untuk membuat Sonia lebih baik, silakan diberitahukan pada saya tanpa sungkan-sungkan. Nanti saya juga akan menyampaikannya kepada guru-guru les dan terapis-terapis Sonia. Karena perkembangan anak berkebutuhan khusus sangat bergantung pada kerja sama yang baik antara orang tua, guru, dan terapis."

"Baik, Bu Olga. Selamat bergabung di sekolah ini. Semoga Sonia betah di sini dan bisa kami bimbing agar menjadi lebih baik lagi," sahutku sembari mengulurkan tangan mengajak orang tua murid baruku itu bersalaman.

***

Selama sebulan pertama Sonia bersekolah, hampir setiap hari terdengar keributan dari ruang kelasnya. Entah itu teriakan, racauan, tangisan, ataupun suara meja dipukul-pukul. Guru pendampingnya sering merasa kewalahan menghadapi emosi murid spesialnya yang suka meledak-ledak itu.

Syukurlah latar belakang keilmuanku di bidang psikologi dan pengalamanku mengajar anak-anak berkebutuhan khusus dahulu sangat membantuku untuk tetap berkepala dingin. Aku terus memberikan motivasi dan masukan yang berguna bagi para guru supaya dapat menangani Sonia dengan baik. Murid-murid yang lain juga diajari untuk turut menjaga anak itu, memberikan teguran apabila kawannya itu melakukan perbuatan yang tidak semestinya, dan memberikan contoh-contoh yang baik untuk ditirunya.

Pada bulan kedua, Sonia sudah mau berbaris bersama kawan-kawannya dari awal hingga akhir, meskipun belum bisa menirukan nyanyian maupun gerakan yang dipandu oleh gurunya. Ia hanya diam sambil tersenyum-senyum sendiri, namun tetap tenang berdiri di dalam barisan. Di dalam kelas anak itu masih marah-marah sesekali, namun intensitasnya semakin berkurang.

Bulan ketiga, murid spesial ini semakin mandiri dalam menjalankan tugas-tugasnya di dalam kelas. Ia juga mulai mau tersenyum bila disapa teman-teman dan guru-gurunya. Kemampuan berbicaranya masih terbatas untuk ukuran anak seusianya, namun artikulasinya semakin jelas dan bisa secara mandiri mengucapkan empat kata dalam satu kalimat.

Bulan keempat, sudah jarang sekali terdengar keributan dari ruang kelasnya. Meskipun belum bisa bermain bersama teman-temannya, namun dia selalu tampak senang berada di dalam kerumunan murid-murid. Selanjutnya anak istimewa ini berhasil menghafalkan nama-nama wali kelas, guru pendamping, teman-temannya, dan bahkan pegawai cleaning service. Setelah berembug dengan Vivi, wali kelasnya, akhirnya kuputuskan untuk menghentikan pemakaian guru pendamping buat Sonia.

Sang ibu tentu saja merasa kegirangan mendengar berita ini. Biaya terapi dan les yang diperlukan untuk anak berkebutuhan khusus sangatlah besar. Penghentian pemakaian jasa guru pendamping di sekolah benar-benar meringankan beban pengeluaran orang tua.

Pada bulan kelima muncul lagi emosi Sonia yang meledak-ledak. Vivi sampai kewalahan dibuatnya. Rupanya anak itu merasa kehilangan guru pendampingnya. Akhirnya sang guru yang sudah kembali bertugas sepenuhnya di penitipan anak lantai dua, sesekali berinisiatif menengok dan menemani sebentar murid yang dulu didampinginya tersebut. Semula dia menengok seminggu tiga kali, kemudian berkurang menjadi seminggu dua kali, seminggu sekali, hingga akhirnya hanya sekedar lewat menyapa saja.

Pada bulan-bulan selanjutnya Sonia menunjukkan perkembangan yang semakin berarti. Ella berkomentar, "Dulu saya sempat kuatir Sonia akan memberikan pengaruh yang buruk pada anak-anak di sini, Bu. Tapi ternyata kekuatiran saya tidak terbukti. Anak itu kini begitu manis, pintar, dan mandiri. Apa yang membuat Ibu dulu berani menerimanya bersekolah di sini?"

"Dia sudah bersekolah selama tiga tahun di kelompok bermain. Daya kognitif dan kemampuan akademiknya setara dengan anak reguler seusianya. Itu menunjukkan betapa orang tuanya sudah berupaya sangat keras untuk membekalinya dengan berbagai jenis terapi. Tinggal kemampuan bersosialisasi dan mengendalikan emosinya saja yang perlu dibenahi. Dan hati saya terketuk untuk memberikan kesempatan pada anak itu, El. Saya membayangkan seandainya anak saya berada pada posisi Sonia, maka saya sebagai orang tuanya pun akan berusaha memasukkannya ke sekolah umum..., supaya dia bisa meniru perilaku anak-anak reguler."

Ella tercenung, berusaha mencerna baik-baik penuturanku barusan. "Kesempatan buat Sonia..." gumamnya lirih. Aku mengangguk mengiyakan.

***

"Dan yang menjadi juara favorit adalah...Sonia!" seru ketua dewan juri lomba mewarnai, yang disambut riuh tepuk-tangan anak-anak peserta lomba, orang tua, guru-guru, dan pemilik sekolah. Kulihat ekpresi terpana Bu Olga yang sedang menemani buah hatinya duduk di ujung ruangan. Dia sepertinya belum benar-benar percaya bahwa putri tercintanya berhasil meraih gelar juara favorit pada lomba mewarnai yang diadakan untuk memperingati hari ulang tahun KB-TK Malaikat Anak ini.

Vivi bangkit berdiri dan mengajak anak didiknya itu untuk naik ke atas panggung dan berfoto bersama para pemenang lainnya. Sonia tampak tersenyum-senyum sendiri diatas panggung, entah dia mengerti atau tidak dengan pencapaiannya ini. Yang jelas aku bersyukur telah memberikan kesempatan pada anak istimewa titipan Tuhan itu untuk mengenyam pendidikan di sekolah yang kupimpin.

Kesempatan yang akhirnya berbuah manis dengan perilakunya yang semakin baik dan prestasinya meraih salah satu gelar juara pada lomba kali ini. Siapa tahu kelak juga akan menyusul prestasi-prestasi berikutnya. Bagiku setiap anak di dunia ini adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan layak memperoleh kesempatan untuk membuktikan kemampuannya.

Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun