"Ada tamu datang mau mencari informasi tentang sekolah TK, Bu Ina," kata Ella, kepala administrasi, memberitahuku. Aku mengangguk sembari mengikutinya berjalan keluar ruangan menuju ke arah lobby.
Seorang ibu muda berusia sekitar pertengahan tiga puluhan tersenyum ramah sembari mengulurkan tangan kanannya kepadaku, "Perkenalkan, nama saya Olga."
Aku menyambut tangan lembutnya dan memperkenalkan diri, "Saya Ina, kepala sekolah dan penitipan anak sini. Ada yang bisa saya bantu, Bu?"
"Saya mempunyai seorang anak perempuan penyandang autis berumur lima tahun. Namanya Sonia. Dia sudah dua tahun bersekolah di kelompok bermain Bina Anak dan kemudian mengulang lagi setahun di kelompok bermain Anak Cemerlang.Â
Lalu sekitar dua minggu ini Sonia melanjutkan sekolahnya di sebuah TK swasta yang disiplin sekali. Ada seorang guru utama dan seorang asisten guru yang mengajar di dalam kelas dengan total murid 15 orang. Anak saya sering menolak mengikuti kegiatan di dalam kelas.Â
Pihak sekolah hampir setiap hari mengeluhkan dirinya yang tidak patuh, suka marah-marah, memukul guru, mendorong teman, dan lain sebagainya, tanpa berusaha memikirkan solusi yang baik untuk menanganinya. Akhirnya saya memutuskan untuk mencarikan sekolah yang lebih sesuai untuk anak saya. Sekolah dengan jumlah murid yang lebih sedikit dan tim pendidik yang bersedia membina dirinya untuk menjadi lebih baik."
Aku terpana mendengarkan penuturan lugas perempuan berambut pendek itu. Mimpi apa diriku semalam, pag-pagi begini bisa kedatangan orang tua yang kebingungan mencarikan sekolah buat anaknya yang autis, tidak patuh, suka marah-marah, dan baru dua minggu bersekolah sudah tidak betah! Pengalaman lebih dari enam tahun mengelola KB-TK plus penitipan anak ini membuatku segera dapat menguasai keadaan.
"Kami KB-TK Malaikat Anak terus terang belum pernah menangani anak berkebutuhan khusus, Bu. Kalau sekedar mengalami keterlambatan berbicara atau agak aktif memang ada beberapa, akan tetapi mereka bisa mengikuti aktivitas sekolah dengan baik.Â
Saya sendiri merupakan lulusan fakultas psikologi. Sebelum dipercaya untuk mengelola tempat ini, saya pernah mengajar selama beberapa tahun sebagai guru di kelompok bermain Anak Cemerlang yang Ibu sebutkan tadi. Disana saya banyak belajar mengenai cara menangani murid-murid berkebutuhan khusus di lingkungan murid-murid reguler."
"Kalau begitu bisakah anak saya mendapatkan kesempatan free trial di sekolah ini? Seandainya nanti dia tidak memenuhi kriteria untuk diterima, tidak apa-apa."
"Bisa, Bu. Kami memberikan free trial tiga hari sekolah bagi calon murid baru. Konsep sekolah kami ini kelas kecil dengan kapasitas maksimal sepuluh orang murid per kelas. Jenjang TK A sekarang baru terisi tiga orang murid, sedangkan TK B terdiri dari tujuh orang murid. Putri Ibu masuk jenjang TK A, kan?"
Bu Olga mengangguk. Kulanjutkan ucapanku, "Cuma saya sampaikan dulu di depan ya, Bu. Seandainya putri Ibu nanti jadi bersekolah di tempat kami, ada kemungkinan di bulan-bulan awal harus memakai jasa seorang guru pendamping yang membantunya untuk mengikuti aktivitas sekolah dengan baik.
Guru tersebut kami latih supaya bisa sinkron dengan guru kelas. Tentunya ada biaya tersendiri setiap bulannya, di luar uang sekolah. Nanti setelah tiga atau empat bulan, kami evaluasi apakah Sonia sudah bisa mandiri dan tidak membutuhkan pendampingan lagi, ataukah masih perlu dilanjutkan. Bagaimana, Bu?"
"Baiklah, saya memahami konsekuesi itu. Jadi kapan Sonia bisa saya ajak kesini untuk menjalani free trial?"
Lalu Ella yang sejak tadi diam saja menyebutkan jadwal free trial untuk putri Bu Olga. Wanita itu tampak lega dan tak lama kemudian berpamitan.
"Saya penasaran seperti apa Sonia itu, Bu. Baru dua minggu masuk sekolah, tapi sudah membuat guru-gurunya kewalahan. Kalau ternyata guru-guru kita juga merasa kesulitan menanganinya bagaimana, Bu?" cetus Ella agak kuatir.
"Bukankah Bu Olga tadi bilang tidak apa-apa kalau akhirnya tidak diterima di sekolah ini? Saya lihat beliau cukup bijak menyikapi kondisi anaknya.yang spesial. Yah, mudah-mudahan kita mampu membantunya," jawabku apa adanya. Ella tersenyum kecut mendengarnya.
***
Parasnya imut menggemaskan, kulitnya putih bersih, perawakannya ramping, dan rambutnya pendek hitam lebat. Kontak matanya cukup bagus, tidak menerawang seperti anak berkebutuhan khusus pada umumnya. Caranya berjalan juga biasa saja, tidak berjinjit ataupun menghentak-hentakkan kaki.
Ia juga tidak meracau seperti kebanyakan anak autis yang pernah kulihat di kelompok bermain tempatku dulu mengajar. Sekilas anak ini tampak normal bagaikan anak-anak lain sebayanya. Tuhan sepertinya sedang bergurau dengan menciptakan anak kecil semenarik ini sebagai seorang penyandang autis!
Setelah memperkenalkan putrinya kepada kami, Bu Olga menanyakan apakah dirinya harus menunggui di luar kelas atau diperbolehkan untuk meninggalkan saja anaknya di sekolah supaya kami lebih leluasa untuk melakukan observasi. Vivi, wali kelas TK A menoleh ke arahku menanti jawaban.Â
Aku berkata dengan sopan,"Seandainya Ibu ada keperluan lain, tidak apa-apa Sonia dititipkan di sini saja sampai pulang sekolah pukul dua belas siang. Kami akan berusaha menanganinya dengan baik."
Kemudian perempuan cantik itu mengucapkan terima kasih dan berpamitan. Sepeninggal ibunya, mulai tampak ketidakpatuhan Sonia. Ketika diarahkan untuk berbaris bersama siswa-siswa lainnya, gadis kecil berkuncir satu itu menolak, berteriak-teriak, mendorong anak yang berbaris di depannya sehingga menubruk anak lain di depannya pula dan seterusnya yang menyebabkan semua anak di barisan itu jatuh tertelungkup!Â
Total ada tiga anak, perempuan semua pula. Isak tangis pun menyeruak. Guru-guru dengan sigap menenangkan bocah-bocah polos tersebut sehingga mereka kembali bernyanyi dengan riang gembira di barisan, menyerukan yel-yel bersama teman-teman lainnya, sementara si pembuat kegaduhan segera kugiring masuk ke dalam kelas.
Anak perempuan berwajah innocent itu langsung berkeliling, tertawa-tawa kegirangan melihat gambar-gambar kartun yang lucu-lucu dan berwarna-warni yang dipajang di segenap penjuru dinding kelas. Sesekali dia melompat-lompat sambil mengepak-ngepakkan kedua tangannya bagaikan seekor burung.Â
Oh, flapping hands, batinku mengenali gejala yang seringkali muncul apabila anak autis sedang tersentuh emosinya, baik saat ia sedang merasa gembira atau bahkan panik. Tampaknya kondisi pertama yang sedang dialami oleh Sonia saat ini.
Tiba-tiba tangan mungilnya mengambil sebuah buku bergambar pelangi dan menyodorkannya kepadaku. "Baca buku,"pintanya dengan kalimat yang terbatas. Kubacakan buku itu dengan nada ceria dan sesekali mengajak Sonia berkomunikasi.
"Dan warna ini adalah...?"
"Melah!"
"Lalu ini warna...?"
"Kuning!"
Demikianlah gadis kecil ini mampu menjawab dengan benar semua pertanyaanku tentang macam-macam warna di buku itu. Disamping itu gambar-gambar seperti orang, rumah, langit, awan, pohon, dan sebagainya mampu dilabelnya dengan gamblang.
 Asalkan jari tanganku menunjuk pada gambar yang kumaksud dan kugunakan kata-kata yang singkat namun jelas, dia mampu menjawab pertanyaanku dengan tepat. Sesekali dielus-elusnya halaman-halaman pada buku itu terutama yang ada gambarnya. Aku mulai bisa meraba, sepertinya anak ini termasuk tipe pembelajar secara visual dan kinestetik, yaitu lebih banyak menggunakan daya penglihatan dan sentuhan motorik.
Tak lama kemudian, murid-murid TK A masuk ke dalam kelas. Mereka diperkenalkan kembali pada Sonia dan diberikan pengertian bahwa insiden jatuh beruntun di barisan tadi tidak sengaja diperbuat oleh si kawan baru ini. "Mari saling memaafkan dan belajar bersama, yuk,"ujar Vivi, sang wali kelas.Â
Bocah-bocah cilik itu pun mengangguk dan tersenyum riang. Mereka berceloteh seperti biasanya dan melupakan kejadian tidak mengenakkan di awal pertemuan tadi. Aku menghela napas panjang dan mulai menjalankan peranku sebagai guru pendamping Sonia, sementara Vivi memimpin aktivitas belajar-mengajar.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H