Mohon tunggu...
Sofia Grace
Sofia Grace Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang hidup bahagia dengan suami dan dua putrinya. Menggeluti dunia kepenulisan sejak bulan Oktober 2020. Suka menulis untuk mencurahkan isi hati dan pikiran. Berharap semoga tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tiga Ibu Anak Spesial

22 Juli 2022   21:10 Diperbarui: 2 Agustus 2022   07:14 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mona, Ida, dan Anne adalah tiga ibu rumah tangga yang saling mengenal akibat persamaan nasib. Mereka sama-sama mempunyai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Buah hati mereka merupakan penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD) atau yang lebih dikenal dengan sebutan autis.

Ibu-ibu muda ini berkenalan di sebuah lembaga pembinaan ABK. Waktu itu anak-anak spesial mereka menjalani terapi dan pelatihan khusus selama tiga hari dalam seminggu, dengan durasi dua jam setiap sesinya.. Pada mulanya mereka hanya sekedar duduk mengobrol biasa sembari menunggui anak-anaknya diterapi. 

Lambat-laun hubungan tersebut berkembang menjadi kedekatan sebagai sahabat, meskipun putra-putri mereka tidak lagi melanjutkan terapi di tempat itu.

Dua bulan sekali ketiga sahabat ini mengadakan pertemuan rutin tanpa membawa anak-anak. Lokasinya bisa di sebuah kafe high-class dengan alunan live music yang merdu, restoran terkenal di hotel bintang lima, hingga kedai gaul yang sekedar menyajikan menu burger, kentang goreng, dan sejenisnya.

Kali ini mereka bersua di sebuah kedai burger yang terkenal lezat di pusat kota. “Hmmmhhhh…, mantap!” seru Anne seraya melahap burger favoritnya. “Burger ini selalu membuatku kangen mampir ke tempat ini,” tambahnya. Ia menutup kedua matanya, menikmati sepenuh jiwa-raga kelezatan roti bulat berisikan daging, keju, dan sayuran tersebut.

Mona dan Ida tersenyum menyaksikan tingkah karib mereka yang memang seorang penggemar burger. Keduanya juga sibuk menikmati hidangan masing-masing. Ibu-ibu muda berusia pertengahan tiga puluhan ini tampak begitu rileks menyantap makanan dan minuman sambil sesekali bersenda-gurau seolah-olah tidak menanggung beban apapun.

Mona membuka pembicaraan, ”Aku sudah letih mencari-cari sekolah dasar yang sesuai buat Tomy. Kalau nggak ditolak, ya diterima dengan catatan harus didampingi seorang guru khusus atau shadow teacher. Suamiku nggak sanggup membayar gajinya yang bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat dari uang sekolah!”

Shadow teacher adalah sebutan bagi guru yang khusus mendampingi ABK sewaktu menjalani pendidikan di sekolah umum. Guru tambahan ini bisa disediakan oleh pihak sekolah dengan tarif tersendiri atau orang tua dipersilakan untuk mencari sendiri jasa sejenis yang seringkali tarifnya lebih tinggi lagi! 

Hal inilah yang biasanya menjadi beban finansial bagi orang tua ABK yang hendak memasukkan anak spesialnya ke sekolah umum. Namun demi memberikan yang terbaik bagi buah hatinya, tak sedikit ayah-bunda yang rela menguras koceknya demi menggaji seorang shadow teacher guna mendampingi ABK-nya di sekolah setiap hari.

Tomy, putra tunggal Mona, sebenarnya adalah seorang anak yang cerdas dan mampu berkomunikasi dengan baik. Sayangnya bocah tampan berusia enam tahun itu perilakunya sangat usil dan hiperaktif. Hal itu seringkali membuat orang-orang di sekitarnya kelabakan.

Hobinya membuang barang sembarangan. Kunci mobil dibuang ke dalam selokan depan rumah, ponsel mamanya dilemparkan ke halaman rumah tetangga sebelah hingga ditangkap anjing peliharaannya dan dibawa masuk ke dalam kandang! Belum lagi perlengkapan mandi seperti sabun, sampo, sikat, dan pasta gigi yang berkali-kali dibuang Tomy ke dalam kloset sehingga rusak dan terpaksa ganti baru!

Para guru di taman kanak-kanak sekolahnya juga sering merasa kewalahan menghadapi perilakunya yang bandel. Mendorong, memukul, dan merebut barang milik teman seakan-akan sudah menjadi trademark anak laki-laki berkulit putih bersih itu. Komplain pun berdatangan dari wali-wali murid yang merasa tidak terima anaknya diganggu. 

Mona sudah kebal rasanya menerima peringatan dari pihak sekolah dan cibiran sinis para wali murid. Dirinya hanya tertunduk malu, meminta maaf, dan berjanji akan mendidik anaknya lebih baik lagi.

“Lalu apa rencanamu selanjutnya?” tanya Ida penasaran.

“Rasanya tahun ajaran ini Tomy kutunda dulu masuk SD. Fokus terapi dulu aja buat meningkatkan kepatuhan dan menekan perilaku hiperaktifnya. Mudah-mudahan di tahun ajaran berikutnya dia sudah siap masuk SD umum tanpa shadow teacher.”

“Kalau sementara nggak sekolah, lalu gimana sosialisasinya dengan anak-anak reguler? Di tempat terapi kan isinya anak-anak spesial semua. Gimana bisa berkembang dengan baik kalau nggak ada interaksi dengan anak-anak reguler?” cetus Ida mengutarakan pendapatnya.

“Rencananya seminggu dua kali anakku kumasukkan ke tempat penitipan anak reguler. Setidaknya aturan-aturan yang berlaku di sana nggak seketat sekolah umum.”

Kedua karibnya manggut-manggut tanda setuju. Setidaknya bocah itu tidak kehilangan kehidupan sosial dengan anak-anak sebayanya yang non ABK.

“So, gimana kabar Ferly dan Ovy ?” giliran Mona bertanya tentang buah hati istimewa kawan-kawan baiknya.

Ferly, anak semata wayang Ida, mengalami gangguan berbicara dan suka menyakiti dirinya sendiri apabila kehendaknya tidak dituruti. Tak terhitung sudah berapa kali kepalanya memar akibat dibentur-benturkan ke tembok atau dagunya membiru karena dipukul-pukuli sendiri sebagai bentuk protesnya jika tidak mau mematuhi instruksi orang tua, terapis, maupun gurunya di sekolah.

Syukurlah serangkaian terapi yang rutin dijalani anak laki-laki berwajah bulat lucu dan berlesung pipi itu semenjak masih berumur dua tahun mulai membuahkan hasil. Di usianya yang kini menginjak 5 tahun, anak kesayangan Ida itu mulai mau mematuhi aturan-aturan yang berlaku di rumah maupun sekolah, demikian juga kebiasaan buruknya menyakiti diri sendiri semakin berkurang.

Namun karena terlalu berkonsentrasi pada terapi, kedua orang tuanya terlambat memasukkannya ke sekolah umum. Saat ini Ferly masih masuk di kelas playgroup A.

“Anakku akan naik ke kelas playgroup B. Nanti waktu mau naik TK, akan kupindahkan ke sekolah yang lain agar dia belajar berbaur di lingkungan yang berbeda,” jelas Ida.

Mona mengangguk tanda setuju dengan rencana Ida. Sembari menyeruput minuman bersodanya, ibu rumah tangga yang hobi membuat kue itu menatap Anne dan bertanya, ”Ovy gimana?”

Anne yang sedang asyik mengunyah kentang goreng kesukaannya menyahut, ”Ovy lanjut ke TK B. Sekolahnya saat ini menurutku paling cocok buatnya dibanding sekolah-sekolahnya terdahulu. Sekolah kecil, sekelas cuma terdiri dari empat murid, non ABK semua.

Kepala sekolah dan guru-gurunya mampu memberikan edukasi yang baik pada murid-murid lainnya dan para orang tua mengenai kondisi Ovy yang berkebutuhan khusus. Jadi mereka semua memahami sikap dan perilaku Ovy yang berbeda. Bahkan teman-temannya ikut menjaga anakku supaya nggak berlaku aneh-aneh dan menasihatinya kalau dia berulah.”

“Wah, sekolah idaman itu!” seru Mona dan Ida bersamaan.

“Betul. Sayangnya TK ini mau tutup karena kalah pamor dengan sekolah-sekolah lain di sekitarnya yang lebih besar dan fasilitasnya lebih lengkap. Jadi tinggal menyelesaikan TK untuk angkatan Ovy aja. Selanjutnya hanya akan dibuka kelas baby dan plagroup karena lebih banyak peminatnya.”

“Terus Ovy mau kamu masukkan ke SD mana?” cecar Ida penasaran. Ia benar-benar ingin tahu untuk referensi anaknya kelak melanjutkan pendidikan.

“Aku mengincar dua SD, karena kuota untuk siswa ABK terbatas. Setiap tahun ajaran baru hanya menerima dua murid berkebutuhan khusus, itupun harus memakai jasa shadow teacher yang disediakan pihak sekolah. Dan seperti yang Mona bilang tadi, gajinya bisa lebih besar dua hingga tiga kali lipat dari uang sekolah.”

“Mahal, Ne…,” ucap Mona lirih.

“Yah, mau gimana lagi, demi anak…,” ujar Anne sambil menghela napas panjang. “Aku menabung sedikit demi sedikit mulai sekarang. Biaya-biaya yang kurang perlu sebisa mungkin kupangkas. Terapi-terapi dan les-les Ovy di luar rumah kuberhentikan. Kuganti dengan terapi dan les sejenis yang gurunya mau datang ke rumah, jadi aku bisa menghemat biaya transportasi dan jajan.

Aku juga jadi punya lebih banyak waktu untuk membersihkan rumah, menonton TV, dan beristirahat tidur siang sesekali. Emosiku juga jauh lebih terkendali jika Ovy kumat perilaku tantrumnya. Nora, adik Ovy, juga jadi punya lebih banyak waktu untuk bermain. Nggak seperti dulu, hampir setiap hari kelelahan bersamaku mengantar dan menunggui kakaknya terapi dan les di luar.”

Mona dan Ida menatap Anne dengan takjub. Wanita berambut pendek yang dulunya seorang wanita karir itu mempunyai dua orang putri yang usianya hanya terpaut dua tahun. Ovy, si sulung yang kini berumur 6 tahun, mengalami gangguan keterlambatan bicara, pola tidur yang kacau, dan emosi yang meledak-ledak jika keadaan di sekelilingnya tidak sesuai dengan keinginannya.

Di masa kanak-kanaknya, anak perempuan bertubuh tinggi langsing ini sering tantrum, yaitu marah-marah, histeris, dan berlarian kesana-kemari, hingga akhirnya bergulung-gulung di lantai hanya karena persoalan-persoalan sepele seperti saluran TV yang diputar tidak sesuai dengan kemauannya, mainan kesayangannya hilang, jenuh akibat sepanjang hari berada di rumah, dan lain sebagainya.

Untungnya anak istimewanya ini dikaruniai semangat belajar yang tinggi. Setiap hari Senin sampai Jumat, ia disibukkan dengan serangkaian aktivitas sekolah, terapi, dan les yang selain dapat mengembangkan kemampuannya, juga menghindarkan dirinya dari godaan tidur siang. 

Dengan demikian selambatnya pukul 10 malam anak berhidung mancung ini bisa segera terlelap di peraduan. Seandainya tidak digenjot dengan berbagai kegiatan, Ovy akan merasa jenuh, mudah marah, tertidur di siang bolong, dan sore harinya terjaga segar-bugar hingga subuh!

Belajar dari pengalaman begadang selama bertahun-tahun, akhirnya Anne memperhatikan kegiatan-kegiatan apa saja yang disukai putri spesialnya ini. Lambat-laun ia menemukan guru-guru yang kompeten mengajari Ovy hal-hal yang digemarinya, seperti menggambar, menyanyi, bermain piano, calistung, dan bahasa Inggris. Karena bidang-bidang itu disukainya, anak perempuan berparas imut itu mau mengikuti pengajaran dengan patuh.

Nora, adik Ovy yang lincah dan cerdas mampu menjadi asisten yang baik bagi Anne untuk sesekali menjaga sang kakak ketika mama mereka sedang menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Nora yang sejatinya lebih kecil namun pemahamannya jauh lebih berkembang itu akhirnya berperan sebagai seorang kakak bagi Ovy. 

Si cilik yang kenes itu suka memberikan pengarahan dan teguran apabila saudara tuanya itu berperilaku tidak pada tempatnya.

Melihat perkembangan kemampuan dan perilaku Ovy serta keharmonisan hubungan persaudaraannya dengan si adik, sungguh melegakan hati sang bunda. Keikhlasannya melepaskan karir impian terasa sangat sepadan dengan hasil yang dituainya kini. Kedua buah hatinya, baik yang reguler maupun spesial, tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai harapannya.

“Aku salut sama kamu, Ne. Begitu banyak les yang dijalani anakmu tapi dia sangat menikmatinya. Gimana caramu menentukan les apa yang sesuai? Aku sampai sekarang belum tahu Ferly mesti ikut les apa, belum kelihatan bakat dan minatnya,” komentar Ida. Perempuan berambut panjang yang membuka usaha travel itu tampak cemas memikirkan masa depan putra tercintanya.

“Waktu Ovy berumur tiga setengah tahun dan hampir setiap hari berteriak-teriak lalu menangis histeris tanpa kutahu sebab-musababnya, aku hampir kehilangan akal sehat saking frustasinya. 

Nora pun sering menangis ketakutan melihat gangguan emosi kakaknya. Akhirnya aku berlutut sambil memeluk kedua anakku, menangis dan berdoa kepada Tuhan seperti ini: Tuhan, aku menerima dengan ikhlas diberi anak seperti ini. Tapi tolong…, berikan petunjuk padaku bagaimana cara yang tepat untuk menanganinya. Beri aku hikmat agar mampu memahami petunjukMu.…”

“Lalu sejak saat itu kamu mulai trial-error mengikutkan anakmu terapi dan les ini-itu?” sergah Ida penasaran.

“Betul. Sejak aku berdoa dengan pasrah begitu, jalan menuju kepulihan Ovy seolah-olah dibukakan Tuhan lebar-lebar di depanku. Info-info tentang terapi biomedis, neuro senso, sensory integrasi, perilaku, wicara, dan les ini-itu kuperoleh dengan mudahnya tanpa hambatan dan kuputuskan untuk dijalani anakku secara konsisten. 

Kalaupun hasilnya nggak sesuai dengan harapan, ya kuganti gurunya, terapisnya, ataupun jenis terapi dan lesnya, sampai akhirnya menemukan yang benar-benar cocok. Aku jadi punya keberanian yang lebih besar untuk menjalankan ide-ide baru, walaupun kadang nggak masuk akal. 

Seperti waktu kuikutkan Ovy les vokal, padahal dia belum lancar berbicara. Tapi karena dibimbing oleh guru yang berpengalaman menangani ABK, anakku jadi lebih percaya diri untuk berbicara dengan kata-kata yang lebih panjang, meskipun artikulasinya belum jelas.

Lirik-lirik dalam lagu-lagu yang diajarkan gurunya membuat Ovy mengenal kata-kata baru yang belum diajarkan terapis wicaranya.

Lambat-laun dia mulai berinisiatif mengungkapkan sendiri kemauannya sehingga kami sudah nggak perlu mengira-ngira lagi seperti dulu.. Dia juga semakin bisa berinteraksi dengan orang lain dan terapisnya lebih mudah mengajarkan program-program lanjutannya. 

Sekarang Ovy sudah bisa makan sendiri menggunakan sendok dan garpu, memakai sendiri pakaian, kaos kaki, dan sepatunya, serta mengikuti kegiatan akademik reguler di sekolahnya.”

Teman-teman Anne termenung mendengarkan ulasan panjang-lebarnya. Seakan-akan timbul secercah harapan di hati mereka mengetahui kemajuan Ovy yang sepantaran dengan anak-anak mereka.

“Dan…,”lanjut Anne,”…kalau ada kesempatan, alangkah baiknya jika sesekali memberikan bantuan pada anak-anak spesial yang membutuhkan, entah berupa materi, suplemen, maupun info-info yang berguna. 

Karena sekeras apapun upaya kita sebagai orang tua, hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang mampu secara mutlak memulihkan anak-anak seperti Ovy, Ferly, dan Tomy. Dengan menabur banyak kebaikan buat anak-anak istimewa lainnya, niscaya hati Tuhan akan luluh dan menganugerahkan yang terbaik bagi anak-anak kita.”

Kedua kawan senasib-seperjuangan Anne terdiam sejenak, berusaha mencerna dalam-dalam ucapan-ucapan bermakna karib mereka tersebut . “Lalu…, apalagi yang harus kita lakukan untuk anak-anak ini?” gumam Mona lirih.

Dengan mata berbinar-binar, Ida tersenyum dan berkata,”Yah, lanjutkan aja apa yang sudah kita lakukan selama ini. Ditambah dengan membantu anak-anak spesial sebanyak-banyaknya…, sampai akhir hayat kita….”

“Cheers!” seru Anne sembari mengangkat gelas minumannya, yang disambut gelas-gelas lain di hadapannya sehingga menghasilkan dentingan ringan. 

Seringan hati mereka bertiga setiap kali pergi bersantap bersama dan bertukar pikiran seperti ini. Lalu pulang kembali ke hunian masing-masing demi menjalani tugas mulia membina sang buah hati istimewa agar kelak menjadi manusia yang berguna.

Selesai

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun